1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hari Kebebasan Pers

ap/hp2 Mei 2016

3 Mei merupakan tanggal penting untuk berefleksi, apakah media sudah memenuhi perannya dalam melayani kebutuhan informasi bagi masyarakat.

https://p.dw.com/p/1IfDH
Medienfreiheit
Foto: Imago/Martin Bäuml Fotodesign

Salam #DWNesia

Hari Kebebasan Pers Internasional yang diperingati tiap tanggal 3 Mei menjadi momentum bernilai dalam merenungkan kembali praktik kebebasan pers di negara demokratis.

Di tanggal ini, para pegiat media, wartawan dan pemilik media, pemerintahan, penegak hukum serta publik diingatkan kembali akan pentingnya peran media dalam kehidupan bermasyarakat.

Media berperan penting dalam proses pembentukan masyarakat yang lebih dewasa dan modern. Bernard Cohen mengingatkan, pers lebih daripada sekadar penyuplai informasi dan opini. Pers mungkin saja kurang berhasil mendorong orang untuk memikirkan sesuatu, akan tetapi berhasil dalam mendorong masyarakat untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan. Oleh sebab itu amat penting bagi media memberikan informasi berkualitas yang mendorong demokrasi.

Masyarakat di Indonesia kini dimanjakan dengan berbagai format layanan media, mulai dari media cetak, televisi hingga online. Masing-masing memiliki kelebihannya. Dengan berkembanganya era teknologi, media elektronik kini menjadi andalan masyarakat untuk mengetahui apa yang terjadi di sekitar mereka dan berbagai belahan dunia. Dalam ulasannya, jurnalis senior Heru Hendratmoko menyentil soal kualitas media online yang kini menjadi andalan publikalam memperoleh informasi cepat.

Selain menjadi refleksi kebebasan pers, tanggal 3 Mei juga dimaksudkan untuk memberi penghargaan kepada para jurnalis yang sudah mempertaruhkan keselamatannya saat menjalankan profesi. Tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Internasional atau World Press Freedom Day(WPFD) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai pernyataan sikap terhadap Deklarasi Windhoek, prinsip dasar kebebasan pers yang diusung para wartawan Afrika tahun 1991. Lewat opininya dengan gamblang Verlyana Hitipeuw mengritik bagaimana pemilik media bahkan memberangus kebebasan pers itu sendiri. Dalam opininya, ia menjelaskan arti pentingnya hari kebebasan pers, bukan hanya bagi pelaku media, melainkan juga bagi masyarakat.

Topik lain yang juga hadir kali ini adalah sejauh mana keseriusan pemerintah Indonesia dalam pengungkapan kasus-kasus Hak Asasi Manusia di tanah air. Salah satu kasus HAM yang perlu dicermati adalah pengungkapan kasus pembunuhan tokoh HAM Munir Said Thalib.

12 tahun lamanya, pemerintah belum mau membuka secara transparan hasil penyelidikan tim pencari fakta kasus Munir. Kita menolak lupa, kita melawan lupa. Istri mendiang Munir, Suciwati, dalam ulasannya mengingatkan kembali, bahwa kasus Munir belum terselesaikan.

Sementara, dalam opininya, jurnalis DW Hendra Pasuhuk mengingatkan bahwa kasus pembunuhan Munir bisa menjadi kunci pembuka dalam pengungkapan kasus-kasus HAM lainnya. Dari sekian banyak kasus HAM di tanah air, dapat dikatakan, kasus Munir adalah salah satu yang paling baik dan lengekap terdokumentasi. Sehingga seharusnya tak sulit bagi pemerintah maupun penegak hukum menyelesaikan kasus ini.

Wafatnya KH. Ali Musthafa Ya'kub juga menjadi salah satu tema utama pekan ini, dimana penulis Sumanto al Qurtuby mengingatkan kembali warisan pemikirannya yang berharga.

Kami tunggu tanggapan Anda di Facebook DW Indonesia dan twitter @dw_indonesia. Seperti biasa, sertakan tagar #DWNesia dalam mengajukan pendapatmu.

Salam #DWNesia