1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

25 Tahun Lalu Pecah Intifada Palestina

Kersten Knipp7 Desember 2012

Di kawasan otonomi Palestina terjadi perlawanan Intifada 25 tahun lalu. Sejak itu, Palestina mencapai beberapa keberhasilan politik. Namun masalah-masalah besar tidak terselesaikan sampai sekarang.

https://p.dw.com/p/16xtU
Anak Sekolah Palestina di Kota Gaza
Anak Sekolah Palestina di Kota GazaFoto: picture-alliance / dpa

Pada 8 Desember 1987, sebuah truk Israel menabrak mobil yang dikendarai empat warga Palestina, di tempat penampungan pengungsi Jabaliya di utara Jalur Gaza. Warga Palestina memandang penabrakan itu sebagai aksi balas dendam, karena sehari sebelumnya, seorang warga Israel terbunuh di Jalur Gaza. Secara spontan terjadi aksi jalanan sebagai protes atas pendudukan Israel. Aksi protes ini kemudian meluas ke Tepi Barat Yordan dan Yerusalem Timur. Warga Palestina, kebanyakan kaum mudanya terlibat pertempuran jalan dengan tentara Israel. Mereka melempari tentara dengan batu. Inilah awal masa perlawanan yang disebut Intifada. Kata Intifada berarti ”gerakan” atau ”guncangan”, yang juga bisa diartikan sebagai ”kebangkitan” dan ”perlawanan”. Selama bertahun-tahun aksi Intifada berlangsung secara tidak seimbang. Anak muda Palestina melempari serdadu Israel dengan batu dan belakangan dengan bom molotov, tentara Israel menghadapi mereka dengan persenjataan modern. Karena itu, Intifada sering juga disebut ”perang batu”. Intifada yang pertama, berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Oslo di Washington September 1993 oleh PM Israel saat itu Yitzak Rabin, dan pimpinan Palestina Yasser Arafat.

Perang Enam Hari dan Dampaknya

Para pengamat Israel dan Palestina kini sepakat, kondisi buruk di penampungan pengungsi hanya salah satu penyebab munculnya aksi kekerasan. ”Alasan utamanya adalah pendudukan Palestina sejak tahun 1967,” papar ahli sejarah Israel Moshe Maoz dari Hebrew University di Yerusalem. Waktu itu, selama 20 tahun warga Palestina hidup di bawah pendudukan. ”Sekalipun mungkin penguasa pendudukan agak terbuka dibanding yang lain, ini tetap saja aksi pendudukan. Orang tidak bisa bergerak bebas, terjadi pengekangan dan penindasan.” Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya Intifada. Hal ini tidak dibantah oleh Efraim Inbar. Direktur ”Begin-Sadat Center for Strategic Studies” ini beranggapan, perang enam hari memang berakhir dengan pendudukan. ”Ketika itu terjadi serangan terhadap Israel. Lalu sebagai reaksi, kami menduduki kawasan itu. Dari sanalah muncul aksi agresi.”

Polisi Palestina mencegah seorang anak melempar batu
Intifada pertama sering disebut "perang batu"Foto: AP

Kekerasan dan Kematian

Selama masa pendudukan, warga Palestina mengalami banyak penderitaan, demikian tutur ahli politik Mahdi Abdul Hadi dari 'Palestinian Academic Society for the Study Internasional Affairs'. Karena itu, dengan Intifada warga Palestina ingin menyampaikan satu pesan pada warga Israel: ”Kami tidak bermaksud memusnahkan kalian. Kita bisa hidup berdampingan satu dengan yang lain. Kami hanya menuntut, hargailah martabat, hak-hak dan masa depan kami di kawasan yang diduduki di Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem Timur.” Pada awal Intifada, memang tidak dilakukan perundingan. Yang terjadi adalah aksi kekerasan. Menurut organisasi HAM Israel B'tselem, di akhir Intifada pertama tercatat ada 1550 korban tewas di pihak Palestina dan 420 di pihak Israel.

Perlawanan Kreatif

Tidak semua warga Palestina memilih aksi kekerasan sebagai bentuk perlawanan. Ada juga cara perlawanan damai. Mereka misalnya hanya membuka toko untuk beberapa jam saja. Ini adalah suasana yang mengganggu bagi Israel. Mereka juga menolak membayar pajak dan tidak membeli produk-produk Israel. Mereka selalu berkumpul dan melakukan pawai protes. Abdul Hadi menerangkan, dengan demonstrasi ini, warga Palestina ingin menunjukkan kepada Israel, bahwa mereka akan bertahan. ”Kalian tidak bisa memusnahkan atau mendeportasi kami. Kalian bisa memasukkan kami ke penjara. Tapi dengan begitu kalian bergerak menuju sistem apartheid.” Warga Palestina menyebut politik pembangunan pemukiman sebagai politik apartheid. Sekalipun ada Perjanjian Oslo tahun 1993 dan 1995, Israel tetap melanjutkan pembangunan pemukiman. Berdasarkan Perjanjian Oslo, pihak Palestina berhak menjalankan pemerintahan otonomi: Tapi sampai sekarang, tidak ada perjanjian tentang perbatasan antara Israel dan Palestina. Dengan membangun pemukiman di daerah Palestina, Israel ingin menciptakan fakta untuk kawasan perbatasan, demikian tuduhan Palestina.

Panser Israel beraga di Tepi Barat
Banyak pihak khawatir akan terjadi Intifada ketigaFoto: APImages

Berdasarkan Kitab Suci

Efraim Inbar menerangkan, pembangunan pemukiman Yahudi bagi sebagian orang punya latar belakang agama. Mereka bersandar pada kitab sucinya yang menjanjikan tanah itu sebagai miliknya. Karena agama Yahudi adalah agama nasional Israel, motivasi agama dan sikap nasionalis bercampur aduk. Tapi mana mungkin menjadikan sentimen agama dan sejarah masa lalu sebagai dasar untuk menarik garis perbatasan modern? Ahli politik Palestina Abdul Hadi melihat pembangunan pemukiman sebagai hambatan utama dalam upaya penyelesaian damai konflik Israel-Palestina. ”Hal ini menunjukkan pada kami, bahwa Israel punya satu pesan: Mereka tidak akan meninggalkan Tepi Barat Yordan. Sementara Galur Jaza berada di bawah pengaruh Mesir. Dan Yerusalaem akan menjadi sebuah kota Israel.”

Kawasan Bebas Yahudi?

Sebaliknya, Efraim Inbar menuduh Palestina ingin mengisolasi diri. Kalau negara Palestina terbentuk, ia khawatir warga Yahudi tidak boleh tinggal di negara itu. Tapi organisasi-organisasi sekuler Palestina menolak argumen itu. Mereka berulangkali menegaskan, bahwa mereka tidak anti agama Yahudi. Yang mereka tolak adalah politik pemerintah Israel di kawasan otonomi. Sebab politik pemerintah Israel adalah politik pendudukan dan tidak menunjukkan kehidupan yang multi agama, demikian Abdul Hadi. Argumen lain yang dikemukakan pemerintah Israel adalah, pemukiman di kawasan Palestina menjamin keamanan Israel. Tapi sebagian warga Israel sendiri menolak argumen itu. ”Sama sekali tidak benar”, kata Moshe Maoz. ”Yang terjadi adalah sebaliknya. Tentara Israel terpaksa melindungi para pemukim. Mereka harus melindungi setiap anak yang pergi ke pemukiman atau ke kota lain. Jadi tidak ada hubungannya dengan keamanan Israel.”

Sejak Intifada pertama pecah, sudah lewat 25 tahun. Pada tahun 2000, kembali pecah Intifada kedua. Namun konflik utama masih tetap belum terselesaikan. Setelah bentrokan terakhir antara Israel dan Palestina, banyak pihak yang sekarang khawatir akan terjadi lagi ”perang batu” yang ketiga.