1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

60 Tahun Berdirinya Israel

11 Mei 2008

Tanggal 14 Mei 1948. Di musium kota Tel Aviv, yang saat itu baru berusia 39 tahun para pimpinan Jischuv, penduduk Palestina warga Yahudi berkumpul untuk mewujudkan suatu impian, pembentukan negara Yahudi.

https://p.dw.com/p/Dy9W
Seorang tentara memandang Potret PM pertama Israel David Ben GurionFoto: AP

Hanya beberapa jam sebelum berakhirnya mandat Inggris terhadap Palestina, dan Komisaris Tinggi Inggris meninggalkan negara itu David Ben Gurion menyerukan terbentuknya negara Israel. Dikatakan Gurion warga Israel harus cepat mengakui, bahwa perwujudan impian mereka dalam banyak segi merupakan pergantian dari satu mimpi buruk ke mimpi buruk lainnya. Mulai dari pengejaran dan pembunuhan di Eropa, hingga kondisi perang yang laten dan ancaman eksisten secara terang-terangan oleh dunia Timur Tengah, yang setidaknya puluhan tahun tidak menginginkan eksistensi dan hak eksistensi Israel serta sampai sekarang menilai “Hari Kemerdekaan Israel” sebagai “Naqba” yang berarti bencana.

Sorak sorai kegembiraan akan negara sendiri, dalam beberapa jam berlangsung di bawah serangan bom dan granat. Israel harus melalui perang pertamanya. Negara-negara yang sebelumnya baru tergabung dalam Liga Arab berharap dapat menghapus negara Israel, yang menurut pandangan mereka digembongi Barat. Inggris dengan Deklarasi Balfour tahun 1917 yang mendukung warga Yahudi dalam membentuk tempat tinggal nasionalnya sendiri, PBB dengan keputusan pembagian Palestina tahun 1947 dan terutama Amerika Serikat dengan dukungan aktifnya untuk pembentukan negara Israel.

Washington yang pertama-tama mengakui Israel, setelah Presiden Harry Truman tidak mempedulikan peringatan dari menteri luar negeri AS saat itu

"Semua yang disebut para pakar mengatakan kepada saya, jika hal ini dilakukan, seluruh Timur Tengah akan terlibat perang.”

Rencana Liga Arab menyingkirkan negara Israel, gagal. Sebaliknya Kawasan negara semakin luas melampaui batas keputusan pembagian dan tigaperempat juta warga Palestina harus meninggalkan kampung halamannya. Untuk menyelamatkan diri atau karena diusir. 60 tahun kemudian jumlahnya menjadi 4 juta orang, ini tetap menjadi masalah utama konflik.

Kekalahan pada tahun 1948 mendekatkan negara-negara Arab dan meningkatkan rasa solidaritas dengan dunia muslim. Orang tidak ingin menerima hasil tersebut dan bersumpah untuk balas dendam. Dan karena tidak bersedia menerima kekalahan terhadap negara kecil Yahudi, Barat menjadi kambing hitam. Lahirlah sebuah legenda yang sampai saat ini mencekoki kelompok radikal dan para populis. Isarel adalah pos sementara Barat yang anti Arab dan anti Islam di kawasan itu. Seperti yang dulu terjadi saat perang salib.

Pembenaran teori itu selalu ditemukan oleh musuh Israel. Seperti tahun 1956 ketika Israel melakukan kerja sama dengan Perancis dan Inggris. Bagi negara Eropa hal itu menyangkut Terusan Swiss, sementara bagi Israel menyangkut keamanan di perbatasan selatan dengan Mesir. Di depan sidang PBB, Menteri luar negeri Israel saat itu Abba Eban

“Tujuan operasi ini adalah meniadakan base-base darimana satuan Mesir di bawah pimpinan panglima Nasser menyerbu kawasan Israel untuk melakukan pembunuhan dan sabotase dan menimbulkan bahaya berkepanjangan bagi kehidupan yang damai.”

Pengaruh Blok Timur Barat di Timur Tengah

Negara-negara Timur Tengah juga terpengaruh adanya konflik Timur dan Barat. Mesir, Suriah dan Irak bermitra dengan Moskow, hal ini mempererat jalinan hubungan antara Israel dengan Amerika Serikat serta di kalangan negara Arab yang konservatif.

Perubahan terpenting terjadi Juni 1967 ketika Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser tanpa mengindahkan peringatan Israel, tetap menutup kawasan perairan di sekitar Tiran. Dan dengan demikian memberi alasan bagi Israel untuk menyerang

"Warga Yahudi mengancam dengan perang. Kami mengatakan, Silakan kami bersedia untuk perang"

Tapi Mesir kalah. Dan bantuan dukungan Yordania dan Suriah juga tidak membantu Kairo. Hanya dalam waktu enam hari, Israel menguasai seluruh Tanjung Sinai, Jalur Gaza, Tepi Barat Yordan serta dataran tinggi Golan. Sejak itu Israel mengawasi seluruh kawasan Palestina dan pihak Israel berharap datangnya isyarat dari Amman atau Kairo, yang menawarkan perdamaian sebagai timbal balik kawasan yang dikuasai tersebut. Sinyal yang tidak pernah berbunyi. Bahkan di Khartum, Liga Arab memutuskan tidak mengakui, tidak mengadakan perundingan dan tidak berdamai dengan Israel.

Dalam perang tahun 1973, Suriah dan Mesir berhasil memukul Israel. Tapi tidak ada pihak yang betul-betul menang. Konstelasi ini memungkinkan Barat untuk mengubah sikap Presiden Mesir Anwar Sadat membuka inisiatif perdamaian. Yang akhirnya ditandatangani di Camp David tahun 1979 dengan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter sebagai perantara. Perdamaian yang dengan dukungan dunia Arab ditolak Palestina. Baru ketika tahun 1993 Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina PLO di bawah pimpinannya Yasser Arafat menetapkan agenda perdamaian yang meliputi penarikan Israel dari kawasan yang dikuasainya dan pembentukan negara Palestina, kelompok terpenting Palestina bersedia menerima keputusan pembagian yang ditetapkan PBB.

Sementara penolakan di pihak Israel datang dari Partai Likud di bawah Benjamin Netanjahu, yang menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap tanah air. Perdana Menteri Jitzhak Rabin yang menandatangani perjanjian itu di Oslo terbunuh. Sesudah Netanjahu terpilih sebagai perdana menteri, Israel semakin sering melakukan sabotase kesepakatan Oslo. Dari krisis politik dalam negeri Israel semakin besar ketidakpuasan di antara Palestina. Tahun 2000 muncul pemberontakan Al Aqsa Intifada kedua yang menghancurkan hampir semua hal-hal positif yang lahir di kawasan Palestina sejak perjanjian Oslo. Dari kawasan otonomi kembali menjadi daerah kekuasaan Israel, dan di bawah Perdana Menteri Ariel Sharon Israel mulai memisahkan diri dengan tembok dan pagar pembatas. Setelah kematian Arafat Hanya, hanya dengan susah payah perundingan dilakukan kembali, namun tanpa hasil. Penentang pendekatan kembali memenangkan pengaruh. Tahun 2006 kelompok Islam Hamas memenangkan pemilu. Mereka menolak Israel dan perundingan Oslo. Palestina kembali mengalami isolasi terutama oleh Barat. Israel menemukan dalih untuk tidak memberi persetujuan. Terutama di kawasan yang dibersihkan Israel Jalur Gaza, semakin sering berlangsung perang terbuka.(dk)