1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

061210 Afrika Wirtschaft Studie

21 Desember 2010

Cina sejak lama mengetahui peluang ekonomi di Afrika, tetapi Eropa beraksi lamban. Perusahaan konsultan McKinsey telah melakukan studi tentang sejauh mana sebenarnya investasi di Afrika menarik bagi penanam modal.

https://p.dw.com/p/znv3
Kontraktor bangunan lengkap dengan pekerja asal Cina kini juga sudah banyak terlihat di AfrikaFoto: AP

Yang diteliti dalam studi McKinsey adalah statistik mengenai konsumen, perkiraan pertumbuhan ekonomi dan keuntungan yang mungkin tercapai. Namun, meskipun prediksi cukup cerah, pebisnis Jerman masih tetap tidak begitu antusias menanam modal di benua Afrika. Bagi banyak pebisnis Jerman, Afrika sebagai tempat menanam modal punya reputasi yang kurang baik.

Veye Tatah dari organisasi Africa Positive menyebut alasannya, "Gambaran Afrika di masyarakat Jerman adalah benua miskin. Misalnya, slogan "Berikanlah sumbangan!" Di mana-mana, di setiap jalan digantungkan poster besar dengan tulisan "Sumbanglah untuk Afrika!" Lalu Anda mengatakan kepada seorang pebisnis: Pergilah dan tanamlah modal di Afrika! Tapi si pebisnis tidak mengetahui peluang dan kemungkinan yang tersembunyi di belakang tawaran itu. Yang diketahui hanyalah, Afrika perlu bantuan.“

Potensi dan peluang inilah yang hendak diangkat perusahaan konsultan internasional McKensey melalui kajiannya mengenai kemungkinan investasi di Afrika. "Lions on the Move" atau "Singa yang sedang bergerak", demikian nama studi tersebut. Michael Kloss, pemimpin McKinsey bagi Afrika sub-Sahara, yaitu negara-negara di selatan gurun pasir Sahara, memuji-muji benua itu sebagai wilayah ekonomi.

"Karena potensi perdagangan di Afrika besar sekali, dan karena perekonomiannya sekarang berkembang. Banyak konsumen, kaya sumber alam, dan pembangunan infrastruktur yang menunggu ditangani. Ini adalah tema-tema peluang. Dan juga pertanian sebagai tema masa depan yang potensial," dikatakan Michael Kloss.

Pertanian adalah tema masa depan yang potensial, karena saat ini, 60 persen dari lahan pertanian di dunia yang masih belum digarap terdapat di Afrika. Cina dan Arab sudah sejak lama melihat sumber pendapatan yang besar sekali di benua itu.

Seorang Eropa yang sudah sejak bertahun-tahun melakukan bisnis pertanian di Afrika adalah warga Italia bernama Cesare Aspes. Di Kenya, ia memproduksi tumbuhan herbal yang dikeringkan dan kemudian diekspor ke Eropa. Bisnis ini menguntungkan. Aspes memberi dorongan kepada pengusaha Eropa untuk menanam modal di Afrika. Tetapi ia juga tahu masalah-masalah yang ada, "Korupsi adalah sebuah hambatan. Tetapi orang Eropa harus menemukan keseimbangan antara pandangan etisnya dan keadaan di negeri terkait."

Aspes memang memegang teguh pandangan etisnya. Ia tidak mau diperas oleh aparat Kenya. Ia sudah berulang kali dipenjara untuk beberapa jam akibat menolak membayar uang suap kepada polisi. "Kita harus menghadapi masalah ini. Prinsip kami adalah tidak korupsi. Tetapi bila itu menyangkut kehidupan pegawai perusahaan kami, saya bersedia melakukan kompromi dalam skala yang terendah," papar Cesare Aspes.

Bagi Aspes ini berarti selalu harus menyiapkan uang suap sekitar 50 sampai 100 Euro untuk membantu pegawainya. Ini adalah kompromi dengan keadaan di Kenya, negara yang punya reputasi sangat korupsi. Michael Kloss dari McKinsey juga mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi pebisnis Eropa di Afrika. Tetapi dia optimis, "Di Afrika terdapat masalah keamanan, korupsi dan campur tangan politik. Tetapi itu adalah tema-tema yang membaik, benar-benar membaik secara obyektif."

Namun, Afrika mana yang dimaksudkan Michael Kloss itu? Pertanyaan ini juga diajukan oleh konsultan Liberia, William N. Appleton, "Saya benar-benar tidak yakin, ia berbicara tentang apa. Ia mengatakan "AFRIKA", dan Afrika itu besar. Ia seharusnya berbicara lebih tepat dan mengatakan, negara mana yang dimaksudkan."

Memang terdapat perbedaan besar antara korupsi di Kenya dengan korupsi di Nigeria atau di Rwanda yang dianggap sebagai negeri Afrika yang paling tidak korup.

Christine Harjes/Christa Saloh-Foerster

Editor: Luky Setyarini