1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Akankah Kagame Terpilih Kembali Sebagai Presiden Rwanda?

6 Agustus 2010

Presiden Paul Kagame adalah favorit pemilihan umum di Rwanda. Ia dikatakan berhasil membangun kembali negara kecil itu. Namun kini semakin nampak sisi gelap dari keberhasilan ini semua.

https://p.dw.com/p/Oe7R
Presiden Rwanda Paul KagameFoto: AP

Diprediksi, bahwa Paul Kagame akan memenangkan pemilihan presiden Rwanda yang akan digelar 9 Agustus. Ia lebih unggul daripada kandidat lainnya. Tanpa sungkan-sungkan media pemerintah menurunkan berita yang mendukung presiden. Secara terbuka mereka melancarkan kampanye bagi Kagame. Seperti koran milik pemerintah "The Times“ menulis di situs internetnya: "Pilihlah Kagame! Ia tidak akan meninggalkan kalian.“

Sejumlah pemilih masih senang mengingat, bagaimana Kagame, yang sebelumnya hidup di pengasingan di Uganda, kembali ke Rwanda dan bersama partainya Front Patriot Rwanda (RPF) berhasil mengambil alih kekuasaan pada tahun 1994.

Pada rentang waktu antara April sampai Juni 1994 dan dalam waktu hanya 100 hari, milisi Hutu memburu dan membantai sekitar 800.000 warga minoritas Tutsi dan Hutu moderat. Awalnya pasukan perdamaian hanya dikerahkan untuk menjaga agar aksi protes dan pertemuan lainnya berjalan dengan baik dan aman. Namun, ketika penumpasan etnik Tutsi sudah tidak dapat disangkal lagi, tentara perdamaian melakukan intervensi. Tetapi, yang dikatakan adalah bahwa RPF yang mengakhiri genosida.

Ketika Kagame yang kini berusia 52 tahun mengambil alih kekuasaan, keadaan negaranya ibarat sebuah kuburan massal dengan sejumlah warga yang trauma dan ratusan ribu anak yatim.

Kini Rwanda menjadi negara yang patut dicontoh di benua hitam Afrika. Dalam waktu hanya 16 tahun negara itu berhasil menjadikan ekonominya sebagai yang paling stabil di Afrika. Kalangan investor menghargai tingginya disiplin, tepat waktu dan keandalan pengusaha Rwanda. Dibandingkan dengan negara Afrika lainnya, korupsi dan angka kriminalitas di Rwanda cukup rendah. Negara itu kini melaju ke keberhasilan.

Pembantaian di tahun 90an merupakan bagian dalam sejarah Rwanda. Bagi yang menyangkalnya akan dikenai hukuman. Warga etnik Tutsi maupun Hutu, semuanya adalah warga Rwanda. Namun, negara itu juga mempunyai sisi gelap yang semakin nampak. Organisasi hak asasi manusia menuduh pemerintah Rwanda dan aparat keamanannya melakukan pemburuan dan intimidasi terhadap oposisi.

Belakangan ini sejumlah koran dicabut izinnya, dengan alasan beritanya 'menyinggung' pemerintah. Atau misalnya awal tahun ini oposan Victoire Ingabire ditahan lagi. Ia kembali ke Rwanda dari pengasingannya di Belanda. Aparat keamanan menuduhnya bekerja sama dengan pemberontak Hutu radikal yang terlibat dalam pembantaian. Begitu juga dengan kelompok militan Hutu FDLR yang sampai sekarang melancarkan aksi teror terhadap masyarakat Kongo Timur.

Beberapa pekan lalu, wakil ketua Partai Hijau, André Kagwa, dibunuh secara misterius. Polisi melaporkan Kagwa terbunuh dalam perampokan dan menahan mitra usahanya sebagai tersangka. Organisasi kemanusiaan Human Right Watch menuntut pengusutan kasus oleh pihak independen.

Sejumlah rekan lama Kagame dari militer dan politik juga diburu. Seperti duta besar Rwanda di India, Jenderal Kayumba Nyamwasa, yang kini hidup di pengasingan di Afrika Selatan. Ketika diwawancara, ia memperingatkan bahwa rezim Rwanda beralih menjadi pemerintah diktatur. Bila ada pihak mempunyai pendapat yang berbeda, maka ia adalah musuh negara. Hal itu dialami oleh duta besar Rwanda itu.

Andriani Nangoy/dpa/rtr

Editor: Ayu Purwaningsih