1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

180211 Libyen Proteste Tote

18 Februari 2011

Di seluruh pelosok negeri terjadi aksi demonstrasi menentang rezim pemerintah pimpinan Muammar Ghaddafi. Pasukan keamanan membubarkan aksi protes di Libya ini dengan kekerasan.

https://p.dw.com/p/10JSu
Demonstran pendukung Muammar GhaddafiFoto: picture alliance/dpa

Human Rights Watch mencatat lebih dari 20 orang tewas, sementara pihak oposisi menyatakan lebih dari 40 orang terbunuh dalam aksi yang mereka sebut sebagai "Hari Kemarahan", Kamis (17/02).

Di lima kota, Kamis (17/02), warga Libya turun ke jalan. Aparat keamanan menembaki para demonstran. Jumlah korban luka di rumah-rumah sakit dilaporkan melewati kapasistas perawatan. Benghasi, yang merupakan kota terbesar ke dua di negeri itu, menjadi pusat aksi unjuk rasa. Di kota ini terjadi pertempuran sengit antara pendukung dan anti pemimpin revolusi Muammar Ghaddafi. Pasukan keamanan diturunkan dalam jumlah besar untuk melawan penentang rezim. Jika pendukung Ghaddafi muncul, mereka dijaga agar tetap berada di luar.

Seorang wartawan Atif Al-Atrash menceritakan dalam sebuah wawancara dengan teelvisi Al Jazeera, "Ketika saya datang ke tempat itu, warga sipil sudah dipersenjatai dengan Kalaschikovs. Mereka menembak ke udara, untuk membubarkan kerumunan orang. Saya tak tahu, bagaimana posisi pasukan keamanan terhadap orang-orang ini dan kenapa warga sipil memegang senjata."

Polisi menahan sejumlah orang di Benghasi, tambah Al-Atrash. Di Kota Baida, baik sinyal telefon genggam maupun internet untuk sementara tak berfungsi. Sebuah surat kabar milik oposisi memberitakan, arak-arakan pemakanan bagi dua korban tewas yang tertembak semalam, memicu aksi protes spontan terhadap rezim yang berkuasa. Upaya sebuah organisasi kepemudaan negara untuk mengorganisir demonstrasi tandingan gagal.

Para pengunjuk rasa menuntut lebih banyak kebebasan dan diakhirinya rezim Ghaddafi. Dalam sebuah video di situs internet Youtube, para pemuda menyerukan warga sipil, untuk berjuang bersama. "Sudah cukup! Kami ményerukan ibu-ibu kami, anak-anak perempuan dan laki-laki untuk turun ke jalan dan menyuarakan opini mereka, tanpa kekerasan. Kami sudah 42 tahun mengalami tekanan, hidup dalam ketakutan dan kebencian diantara satu sama lain," demikian bunyi pesan video tersebut.

Penyelenggara demontrasi menyebut diri mereka sebagai a-politis. Mereka tidak mengeluhkan situasi ekonomi, melainkan kurangnya kebebasan. Semenjak pemimpin tertinggi Ghaddafi melakukan kudeta pada tahun 1969, ekspor minyak dan gas bumi di negara itu terus mendatangkan devisa bagi kas negara. Namun rakyat tetap tidak puas. Mereka tidak memiliki kebebasan berpendapat, sementara pelanggaran hak asasi manusia terus terjadi. Mereka juga telah muak dengan pengkerdilan rakyat dan korupsi di tubuh pemerintahan.

Ayu Purwaningsih

Editor: Agus Setiawan