1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aksi Protes di Libya Meluas

21 Februari 2011

Sikap keras Muammar Gaddafi menghadapi aksi protes malah bisa membuat situasi lebih genting. Eropa dan Amerika Serikat harus lebih tegas mendukung gerakan demokrasi.

https://p.dw.com/p/10LF6
Aksi protes di Benghazi, LibyaFoto: dapd

Mengenai aksi protes di Libya, harian konservatif Italia Corriere della Sera menulis:

Tidak ada yang pernah membayangkan sebelumnya, apa yang terjadi di Libya sekarang. Bermula di Benghazi, kemudian menjalar ke seluruh Libya, kita sedang menyaksikan reaksi keras sebuah rezim, yang siap menggunakan segala cara, untuk menindas tuntutan legitim rakyatnya. Untuk pertama kalinya, rakyat Libya mengangkat suara, setelah 40 tahun pemerintahan diktatur. Sekalipun ada larangan menggunakan internet, ada sensor untuk semua perangkat komunikasi, dan ada larangan masuk bagi jurnalis asing, kejadian sebenarnya mulai diketahui dunia luar. Libya sedang bergolak, seluruh Libya.

Harian Italia lainnya, La Repubblica berkomentar:

Aksi-aksi di jalan dan di lapangan sedang berusaha meruntuhkan rezim Libya. Sementara rezim berpendapat, protes damai bisa dihentikan dengan aksi berdarah. Rezim di bawah pimpinan Muammar Gaddafi lalu memerintahkan penembakan terhadap para demonstran yang ingin ia mengakhiri kekuasaaan. Tapi sekalipun senjata pelempar granat digunakan menghadapi para demonstran, rezim ini bisa bernasib sama seperti Mubarak di Mesir dan Ben Ali di Tunisia. Ini akan berdampak bagi Eropa. Pimpinan Libya Gaddafi mengancam akan menghentikan segala bentuk kerjasama dengan Uni Eropa dalam bidang pengungsi dan imigrasi, kalau Uni Eropa mendukung pihak oposisi. Jika rezim tua di Afrika Utara ini juga tumbang diterjang angin demokrasi, maka arus pengungsi dari kawasan ini akan menjadi salah satu dari banyak masalah, yang dihadapi negara-negara Barat.

Harian liberal kanan Spanyol El Mundo membandingkan situasi di Libya saat ini dengan aksi pembantaian di lapangan Tiananmenh di Cina tahun 1989:

Setelah memutus semua saluran informasi, aparat keamanan di Libya melakukan aksi pembantaian. Pemerintah Libya tidak bersedia melakukan kompromi sedikitpun dengan gerakan demokrasi. Pimpinan Libya Muammar Gaddafi tidak mau menengok ke Mesir atau ke Bahrain. Ia mengambil inspirasi dari penindasan brutal terhadap aksi protes di lapangan Tiannanmen di Beijing pada tahun 1989. Bersamaan dengan itu, Gaddafi mengancam akan menghentikan kerjasama dengan barat dalam upaya meredam arus pendatang ilegal dari Afrika Utara. Ia cukup berhasil. Perdana Menteri Italia Berlusconi menolak untuk mengecam aksi pembantaian di Libya. Penguasa seperti Gaddafi memang tidak peduli, kalau namanya dicatat sejarah sebagai seorang penguasa yang kejam.

Mengenai reaksi keras pemerintah Libya, harian Jerman Neue Osnabrücker Zeitung menulis:

Diktator Gaddafi memerintahkan penembakan terhadap para demonstran. Dunia tidak boleh membiarkan kejahatan ini begitu saja. Uni Eropa harus berhenti menjamu para diktator dengan permadani merah. Ini bukan waktunya membuat perjanjian tentang gas dan minyak. Ini adalah saatnya menunjukkan solidaritas. Uni Eropa dan Amerika Serikat harus secara tegas berpihak pada para demonstran di Libya. Dewan Keamanan PBB perlu mengeluarkan resolusi dan mengirim sinyal tegas pada penguasa Libya. Jika tentara Gaddafi terus menembaki para mahasiswa, ia bisa dihadapkan ke mahkamah pidana internasional di Den Haag.

Hendra Pasuhuk
Editor: Nangoy