1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

130411 Libyen Al Kaida

15 April 2011

Belakangan beredar laporan bahwa militan Islam dari Irak atau Afghanistan ikut di pihak oposisi Libya melawan pasukan Gaddafi. Laporan ini memicu kekuatiran bahwa Libya dapat menjadi tempat pembiakan teroris Islam.

https://p.dw.com/p/10tvD
Pasukan pemberontak dengan bendera LibyaFoto: dapd

Pertempuran antara pasukan diktator Libya Muammar Gaddafi dan oposisi sudah berlangsung berminggu-minggu. Negara-negara tetangga mengamati situasi dengan kekuatiran besar. Bukan hanya karena konflik berdarah tapi juga karena militan Islam dari Irak dan Afghanistan ikut bertempur di pihak oposisi Libya melawan tentara Gaddafi.

Media juga memberitakan, bulan Maret Al Qaida berhasil merampas senjata dari gudang-gudang militer Libya. Mereka datang dengan iring-iringan mobil dari Mali, di mana mereka memiliki markas, dan mengangkut senjata itu ke wilayah selatan Libya yang dikuasai jaringan teror Al Qaida.

Asiem El Difraoui, pakar tentang Islam dari Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Politik di Berlin, melihat aktivitas Al Qaida di Libya tidak sebagai bahaya besar. "Saya pikir, Al Qaida di Libya adalah fenomena kecil. Ada, tapi tidak menunjukkan ancaman nyata bagi LIbya. Tentu bukan fenomena yang tidak menggangu dan bukan tidak berbahaya bagi situasi umum Libya. Itu menyangkut hal lain."

Misalnya perang propaganda rejim Gaddafi yang dilancarkan bersamaan dengan perang di Libya. Demikian menurut Mohammed Al Zarief, professor di Universitas Casablanca di Marokko dan seorang peneliti Islam terkemuka. "Rejim Libya menggunakan Al Qaida untuk menakut-nakuti, untuk menekan dunia internasional agar mereka menghentikan dukungan bagi pemberontak. Namun tuduhan Gaddafi bahwa semua pemberontak adalah anggota Al Qaida tidak tersebar luas.“

Di Libya ini lebih menyangkut anggota apa yang disebut 'Perhimpunan Pejuang Islam', sebuah kelompok yang melancarkan kudeta terhadap Gaddafi tahun 1990 dan gagal. Rejim melarang kelompok itu dan memenjarakan sejumlah besar anggotanya. Dua dekade kemudian, Gaddafi berdamai dengan kelompok tersebut dan memberi amnesti umum. Namun sejak pecahnya perlawanan rakyat di Libya, kelompok ini berjuang di pihak opsisi melawan pasukan yang setia pada Gaddafi.

Karena itu Al Zarief menduga ada alasan lain bagi propaganda Gaddafi yang melebih-lebihkan bahaya Al Qaida. "Pemimpin pasukan tempur Islam Libya merevisi ideologi kelompoknya dan menjauhi kekerasan. Karena itu saya yakin ada alasan lain mengapa kehadiran Al Qaida di Libya digembar-gemborkan, yaitu untuk menyudutkan pemberontak dan mengerakkan Brat agar berkompromi dengan rejim."

Sebuah gerakan teroris dapat bekerja maksimal dalam bayang-bayang, tidak terang-terangan, dan dalam situasi politik dunia saat ini tidak bisa menguasai sebuah negara yang merdeka. Peneliti terorisme dari Maroko, Mohammed Al Zarief, menerangkan mengapa, "Aturan permainannya sudah berubah. Al Qaida tahun 2001 tidak sama dengan Al Qaida 2011. Banyak kelompok yang menganut ideologi jihad radikal, kini merevisi dasar ideologinya dan itu bukan hanya di Libya. Sementara ini Perhimpunan Pejuang Islam sadar bahwa mitra Al Qaida tidak sanggup memerintah sebuah negara secara langsung dan dalam waktu lama."

Yasser Abumuailek/Renata Permadi

Editor: Yuniman Farid