1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mampukah Cina dan Rusia Patahkan Dominasi Militer AS?

16 Februari 2018

Cina terus bangun kekuatan militernya, sementara kebijakan luar negeri Rusia semakin agresif. Dalam wawancara dengan DW, pakar think thank IISS Bastian Giegerich berbicara tentang perubahan dominasi global AS.

https://p.dw.com/p/2snTT
China J-10 Militärjet
Foto: Picture alliance/Photoshot/Y. Pan

DW: Dalam laporan IISS Military Balance 2018, Anda mengatakan bahwa Cina memperkuat armada angkatan udaranya. Apakah Beijing kini bisa dibilang setara dengan Washington dalam dominasi di udara?

Bastian Giegerich: Cina belum setara dengan Amerika Serikat. Tapi dalam beberapa hal, Cina mengejar dengan cepat. Tahun ini Cina menambah rudal yang jika ditembakkan dari jet tempur bisa mencapai sasaran udara dari jarak yang sangat jauh. 2020, Chengdu J-20, jet tempur siluman, siap dikerahkan. Dominasi udara Amerika dan sekutunya di Barat sudah berakhir.

Begitu juga dengan armada lautnya?

Ya. Dalam empat tahun terakhir, Cina membangun kapal dan bobot total kurang lebih sama banyaknya dengan keseluruhan kapal yang dimiliki angkatan laut Inggris, dan lebih banyak dari kapal dan kapal selam AL Perancis.

Großbritannien Bastian Giegerich International Institute for Strategic Studies
Bastian Giegerich, pakar militer IISSFoto: James Clements

Apa yang ingin dicapai Cina?

Cina ingin bisa menggunakan kekuatan militernya dalam jarak yang jauh. Beijing sangat sistematis dan membuat kemajuan besar. Tahun lalu, kapal perusak baru mulai beroperasi. Sekarang dibangun kapal induk pertama yang dikembangkan sendiri. Hal yang juga penting adalah keputusan mendirikan pangkalan angkatan laut di Djibouti, Afrika. Semua ini membantu Cina memperluas kekuatannya melalui laut.

Analisa Anda tentang Rusia sama sekali berbeda: Moskow bermasalah dalam memodernisasi angkatan bersenjatanya?

Rusia memiliki tujuan ambisius. Namun, kesulitan ekonomi membatasi program modernisasi militer. Setelah pemotongan anggaran dalam dua tahun terakhir, Moskow kini berusaha untuk menstabilkan pengeluarannya di bidang pertahanan. Tapi tidak seperti Cina, Rusia menggunakan angkatan bersenjata dalam konflik, di Suriah, di Ukraina. Moskow mendapatkan banyak pengalaman dengan teknologi yang baru dikembangkan. Ini sangat strategis. Dalam hal ini, baik Cina mau pun Rusia menantang dominasi militer Barat dan Amerika Serikat.

Salah satu jawaban Trump untuk tantangan ini adalah mendesak orang-orang Eropa untuk mengeluarkan uang lebih banyak dalam pembelian senjata. Apakah itu penyebab anggaran militer meningkat secara drastis di Eropa?

Tidak tepat jika kita menganggapnya sebagai efek Trump di sini. Tekanan dari Washington pasti memainkan peran, tapi sejak 2014, sebelum Trump menjabat, anggaran belanja militer di Eropa sudah meningkat. Saya rasa, Eropa menyadari bahwa dunia adalah tempat yang berbahaya. Khususnya dipicu oleh kebijakan luar negeri Rusia yang lebih agresif dan konflik di Ukraina. Tapi meski demikian, orang Eropa tidak membelanjakan lebih banyak di tahun 2017 daripada 2010.

Anda juga menulis tentang "kemungkinan konflik antara negara adidaya" dan modernisasi persenjataan atom. Ini hal yang menakutkan. Apakah kita kembali ke situasi di awal tahun 80-an?

Tidak sepenuhnya. Kemungkinan munculnya konflik semacam ini mungkin lebih besar dibanding waktu lain dalam 20 tahun terakhir. Antara lain karena Cina dan Rusia menantang dominasi Amerika Serikat. Tapi ini tidak berarti bentrokan akan terjadi. Dalam modernisasi senjata nuklir, Cina dan Rusia berfokus pada mengatasi sistem penangkal. Karena itu jugalah Cina mengembangkan senjata supersonik hypersonic glide vehicle (HGV).

Apakah menurut Anda teknologi baru semacam itu akan membuat dunia lebih aman?

Selalu ada siklus aksi dan reaksi. Jika teknologi seperti ini membuat pertahanan melawan serangan nuklir lebih sulit, maka dunia akan menjadi lebih berbahaya. Tapi ini kan juga mengenai inovasi teknologi pertahanan, tidak hanya teknologi serangan. Jika teknologi semacam itu siap beraksi, maka akan terlihat, apakah ini akan menyebabkan negara-negara adidaya menjadi tidak stabil.

Bastian Giegerich adalah pakar pertahanan di lembaga riset militer di London, Inggris IISS (International Institute for Strategic Studies). Wawancara dilakukan oleh reporter DW Peter Hille.

Peter Hille (vlz/hp)