1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Amok Indonesia

29 Mei 2012

Tiga tewas pasca pertandingan Persija Jakarta dengan Persib Bandung, Minggu (27/05) di Jakarta. Kekerasan yang terjadi di sekitar kita menunjukkan wajah Indonesia yang brutal.

https://p.dw.com/p/153v0
Indonesia memiliki superter olahraga yang fanatikFoto: AP

Kenapa orang Indonesia begitu mudah marah?

Akhir Mei, tiga penonton sepakbola tewas, usai pertandingan antara Persija Jakarta dengan Persib Bandung.

Pertandingan sepakbola, cabang olahraga paling popular yang seharusnya menjadi tontonan keluarga di Indonesia menjadi sebuah tontonan yang bisa berujung maut.

Gawang dibakar, pemain dikejar-kejar penonton, wasit dipukuli pemain dan pelatih, bukan wajah baru sepakbola kita.

Kenapa olahraga yang seharusnya mengutamakan sportivitas ini berubah menjadi ajang kemarahan?

Indonesia selalu menyebut diri sebagai bangsa yang ramah. Kita selalu dicitrakan atau paling tidak mencitrakan diri sebagai bangsa yang murah senyum.

Ironisnya pada saat bersamaan ada begitu banyak kebrutalan bahkan kebiadaban terjadi.

Indonesia tampil menjadi berita utama di dunia karena kekerasan: konflik antar etnis di Sampit lebih sepuluh tahun lalu mengagetkan dunia: ratusan orang dibunuh termasuk dengan cara dipenggal kepalanya.

Dunia juga akan ingat dengan kebrutalan konflik agama di Ambon dan Poso.

Kita juga terbiasa melihat demonstrasi anarkis mahasiswa atau tawuran antar pelajar. Beberapa tahun lalu, juga muncul trend orang yang dituh pencuri yang dibakar ramai-ramai oleh warga.

Lalu, apakah kita masih bisa mengklaim diri sebagai bangsa yang ramah?

Lihat saja sumbangan bahasa Indonesia kepada dunia. Satu-satunya kata Indonesia yang diserap dan dipakai dalam bahasa Inggris adalah: amok. Kamus menggambarkan amuk sebagai prilaku agresif yang tidak terkendali. Ya kita sering menggunakan kata itu: mengamuk!

Setelah melihat apa yang terjadi akhir Mei lalu di depan stadion sepakbola Gelora Bung Karno, atau kekerasan yang terjadi sehari-hari, rasanya penting bagi kita untuk kembali melakukan refleksi: jangan-jangan kita memang bukan bangsa yang ramah.

Andy Budiman