1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Panglima Baru dan Reformasi Keamanan di Indonesia

19 Desember 2017

Setiap pergantian Panglima TNI baru, dua agenda berikut selalu muncul, yaitu soal modernisasi alutsista, kemudian ikhtiar meningkatkan kesejahteraan prajurit. Tapi ada satu yang nyaris terlupa. Apakah itu?

https://p.dw.com/p/2pc4w
Hadi Tjahjanto, Kandidat für den Indonesischen Militärchef
Foto: picture-alliance/dpa/AP Photo/A. Ibrahim

Sebenarnya ada satu lagi agenda yang nyaris terlupakan, yaitu reformasi sektor keamanan (security sector reform) atau RSK. Bisa dipahami bila agenda reformasi sektor keamanan nyaris terlupakan, mengingat konsep ini sedikit abstrak dan terkesan akademis, sehingga menemui kendala dalam sosialisasinya.

Semangat RSK kurang lebih sama dengan konsep good governance dalam kelembagaan sipil, yang lebih dahulu diluncurkan. Dengan kata lain lembaga TNI juga harus siap menjalankan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Akuntabilitas biasanya merujuk pada tataran operasional, bagaimana seluruh tindakan anggota TNI bisa dipertanggungjawabkan, termasuk seandainya melakukan pelanggaran. Sementara transparan biasa dihubungkan dengan implementasi anggaran dalam pengadaan barang dan jasa.

Aris Santoso sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Namun prinsip akuntabel dan transparan, tidak harus dipandang secara dikotomis, dalam praktik keduanya bisa digabungkan. Dalam prosedur pengadaaan alutsista (alat utama sistem persenjataan) misalnya, prinsip akuntabel dan transparansi, sudah dimulai sejak perancanaan hingga eksekusi. Demikian juga bila ada anggota TNI diduga melanggar HAM misalnya, proses hukumnya hendaknya juga akuntabel dan transparan.

Moratorium pasca-UU TNI

Konsep RSK sendiri sebenarnya sangat kompleks, dan  bagi negara berkembang (seperti Indonesia) memiliki variannya sendiri. Dalam konteks Indonesia, agenda RSK memiliki relevansi berdasar kenyataan periode transisional dari sistem kekuasaan militer yang dominan atau satu partai (seperti Golkar) di masa Orde Baru menuju pemerintahan yang lebih demokratis di era reformasi, sebagaimana yang kita lihat sekarang.

Salah satu produk utama dari RSK adalah terbitnya UU TNI tahun 2004, yang menjadi tonggak perilaku militer Indonesia, yaitu tunduk pada otoritas sipil yang dipilih secara demokratis dan tidak terlibat dalam politik praktis. Kemudian satu lagi yang penting dicatat, adalah mulai dihormatinya nilai-nilai HAM, yang di masa lalu sama sekali tidak terbayangkan. Sayangnya setelah lahirnya UU TNI, program RSK seolah terhenti, dan tidak pernah lagi menjadi wacana publik. Bila tujuan akhir dari RSK adalah dijalankannya prinsip akuntabel dan transparansi, cita-cita itu sebenarnya belum selesai. Terbitnya UU TNI sejatinya baru separuh dari agenda RSK.

Baca juga:

Manuver Kilat Jokowi Geser Gatot Nurmantyo

Hadi Tjahjanto, Calon Tunggal Panglima TNI

Mengapa seolah terjadi moratorium dalam RSK?

Setidaknya ada dua sebab. Pertama, bahwa dalam menjalankan RSK diperlukan keterlibatan lembaga pengawas (oversight), yakni lembaga negara  lain di luar TNI, dalam hal ini DPR RI dan Kemenhan. Prasyarat sebagai lembaga pengawas adalah kesiapan dalam menjalankan prinsip akuntabel dan transparansi, sebagaimana yang dituntut pada TNI, persoalannya hal itu tidak terjadi. Ketika lembaga pengawas abai atas dua prinsip tersebut, secara otomatis kehilangan kompetensinya sebagai pengawas.

Kedua, lemahnya keterlibatan masyarakat sipil (civil society movement). Pada awalnya, di masa awal era reformasi sekitar tahun 1999-2000, selain ada advokasi di ranah publik, program RSK ini diinisiasi oleh sejumlah akademisi dan pembela HAM, seperti Kusnanto Anggoro (peneliti senior CSIS), Rizal Sukma (mantan Direktur Eksekutif CSIS, kini Dubes di London), Ikrar Nusa Bakti (peneliti senior LIPI, kini Dubes di Tunisia), almarhum Munir (pembela HAM), dan seterusnya. Itu sebabnya mengapa konsep ini terkesan sangat akademis, kalau tidak boleh disebut elitis, sebagamana disebut di awal tulisan ini.

Sebagian dari inisiator ini dengan berbagai alasan kemudian surut, sebagian di antaranya terserap kekuasaan, bahkan ada yang mengalami tragedi seperti Munir. Sementara pegiat masyarakat sipil generasi berikutnya, tampaknya kurang tertarik dengan isu RSK. Dalam pandangan generasi sekarang, isu RSK  dianggap kurang memicu andrenalin.  Pada titik ini terjadi fenomena  unik, ketika TNI bersikap lebih moderat, menjadi tidak menarik lagi untuk disentuh. Bandingkan dengan masa Orde Baru, ketika TNI menjadi alat kekuasaan otoriter, justru banyak anak muda yang merasa tertantang.

Baca juga:

Cita-citaku... Ingin jadi Tentara

Kesiapan alutsista dan kesejahteraan prajurit

Tujuan utama RSK adalah membangun TNI sebagai  aktor keamanan yang profesional, tunduk di bawah kontrol sipil (presiden), sehingga dapat berfungsi dengan baik dalam menjamin dan menciptakan keamanan bagi masyarakat atau negara. Profesionalisme di sini bukan sekadar pada aspek teknis, namun juga mencakup pengembangan doktrin, patuh pada hukum, dan komitmen pada prinsip demokrasi (khususnya tunduk pada otoritas sipil yang dipilih dalam pemilu demokratis).

Pada praktiknya, etos profesionalisme saja ternyata tidak mencukupi,dia harus didukung faktor lain yang berkorelasi langsung, yaitu aspek kesejahteraan dan infrastruktur (peralatan, kurikulum pendidikan, kesempatan pendidikan, dan seterusnya). Untuk itu perlu dukungan anggaran yang memadai, dengan catatan, sekali lagi  pemanfaatannya harus transparan dan akuntabel.

Faktor mendasar seperti kesiapan alutsista, pendidikan dan pelatihan merupakan bagian dari kesejahteraan prajurit. Salah satu contoh kasusnya adalah, bila alutsista kurang prima, akibatnya bisa fatal. Seperti peristiwa yang saya ingat dengan baik, yakni gugurnya Kol Inf Ricky Samuel (Komandan Pusat Pendidikan Pasukan Khusus, Akmil 1986), pada pertengahan tahun 2009, karena kecelakaan helikopter. Saat kecelakan terjadi, Kolonel Ricky sedang bertugas memantau pelatihan anak didiknya.

Dalam kasus yang menimpa Kolonel Ricky, etos profesionalime seolah "dikalahkan” oleh alutsista yang kurang prima, dalam hal ini helikopter, sehingga berakibat fatal. Kecelakaan yang menimpa Kolonel Ricky hanyalah salah satu contoh peristiwa pahit, dari serangkaian insiden lainnya, karena rendahnya kesiapan alutsista.

TNI (juga bangsa ini) telah kehilangan SDM terlatih, dengan begitu, biaya yang pernah dikeluarkan untuk melatih personel tersebut menjadi sia-sia. Kerugian dari tewasnya seorang perwira terlatih seperti Kol. Inf. Ricky Samuel menjadi berlipat ganda, mengingat dia seorang instruktur senior, yang seharusnya bisa mencetak prajurit-prajurit terlatih lain secara berkelanjutan dan dalam jangka panjang.

Penulis: Aris Santoso (ap/vlz), sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.