1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakAsia

Apa Rencana Arab Saudi Pimpin Komisi Perempuan PBB?

Cathrin Schaer
3 April 2024

Arab Saudi baru-baru ini terpilih mengepalai komisi perempuan PBB, kendati catatan pelanggaran HAM yang tinggi. Dipertanyakan, bagaimana kepemimpinan Saudi akan mendorong pemberdayaan hak perempuan di dalam negeri.

https://p.dw.com/p/4eNZd
Piala Dunia Qatar
Penonton perempuan bercadar di stadion sepak bola QatarFoto: Ulmer/Teamfoto/IMAGO

Pekan lalu, Arab Saudi terpilih mengepalai Komisi Status Perempuan, sebuah forum kesetaraan gender terpenting di PBB. Kritik organisasi Hak Asasi Manusia sudah berhamburan bahkan sebelum pemilihan dimulai.

Dunia internasional "harus menentang pencalonan Arab Saudi, yang memiliki catatan buruk mengenai hak-hak perempuan,” tulis kelompok hak asasi manusia Human Rights Watch, HRW, seminggu sebelumnya.

Kedongkolan organisasi HAM memuncak usai pemilihan pada 28 Maret lalu. "Siapapun yang menjabat sebagai ketua komisi, yang sekarang adalah Arab Saudi, mempunyai posisi penting untuk mempengaruhi perencanaan, pengambilan keputusan dan visi ke depan, justru di tahun yang kritis bagi komisi perempuan PBB,” kata Sherine Tadros, direktur Amnesty International di New York, AS, kepada harian Inggris The Guardian. "Arab Saudi kini memimpin, namun catatan Arab Saudi sendiri mengenai hak-hak perempuan sangat buruk dan jauh dari mandat Komisi.”

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wedn​​esday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Bagaimana Saudi bisa terpilih?

Komisi Status Perempuan, atau CSW, terdiri dari 45 negara anggota PBB. Untuk memastikan keterwakilan yang adil, anggota CSW dipilih berdasarkan geografi sehingga terdapat 13 anggota dari Afrika, 11 dari Asia, sembilan dari Amerika Latin dan Karibia, delapan dari Eropa Barat dan empat dari Eropa Timur. Setiap negara anggota bertugas selama empat tahun. Arab Saudi, bagian dari blok Asia, menjadi anggota hingga tahun 2027.

Setiap tahun, CSW mengadakan konferensi yang dihadiri oleh ribuan delegasi, di mana progres menuju kesetaraan gender dievaluasi dan pernyataan akhir dinegosiasikan.

CSW juga memiliki "biro" kepemimpinan yang terdiri dari anggota dari setiap blok. Ada juga kursi kepemimpinan bergilir, dengan masing-masing blok mendapat jatah dua tahun di dalamnya.

Baru-baru ini, giliran Asia yang menunjuk Filipina sebagai kepala biro CSW. Namun, karena hanya menjadi anggota CSW hingga tahun 2024, Manila berencana membagi masa tugas, agar negara Asia lain dapat mengambil alih kepemimpinan pada tahun terakhir. Jatah itu akhirnya menjadi milik Arab Saudi.

Perempuan-perempuan Saudi Mulai Meninggalkan Abaya

Tidak ada penolakan?

Biasanya anggota setiap kelompok geografis mengonfirmasi pemilihan dengan suara bulat, tanpa melalui pemungutan suara.

Anggota CSW lainnya, termasuk Belanda, Portugal atau Swiss, bisa melakukan protes, menurut Human Rights Watch, ketika melobi negara Eropa untuk menentang pemilihan Arab Saudi. Pada tahun 2022, negara-negara Barat berkolaborasi mengeluarkan Iran dari CSW, menyusul brutalitas aparat keamanan terhadap aksi protes perempuan, menurut HRW.

"Diplomat dari kelompok regional Barat di PBB sudah mengakui polemik pencalonan Saudi,” Louis Charbonneau, direktur PBB di HRW, sesaat sebelum pemilihan berakhir. "Tetapi mereka tidak berniat menentang atau menyerukan diadakannya pemungutan suara, karena mereka tidak ingin menciptakan preseden.”

Seberapa besar pengaruh ketua CSW?

Duta Besar Arab Saudi untuk PBB, Abdulaziz bin Mohamed al-Wasel, direncanakan memimpin biro CSW hingga tahun 2025 dan menjadi diplomat Saudi pertama yang memimpin sejak CSW dibentuk pada tahun 1946.

"Ketua CSW yang terpilih diharapkan bakal meneruskan pekerjaan para pendahulunya dalam memimpin Komisi,” tutur seorang juru bicara UN Women kepada DW. Komitmen ini mencakup memajukan tujuan Deklarasi Beijing, sebuah resolusi yang diadopsi oleh 189 negara pada bulan September 1995. Deklarasi itu dianggap sebagai tonggak penting dalam kesetaraan gender.

Sebab itu, Arab Saudi dikhawatirkan dapat memberikan pengaruh negatif terhadap upaya PBB mendorong kesetaraan gender, misalnya pada konferensi CSW tahun depan.

Konferensi CSW tahun ini "mengungkap perpecahan budaya dan agama yang mendalam antara negara-negara konservatif dan progresif mengenai hak-hak seksual dan reproduksi serta perlindungan LGBTQ,” lapor Devex, sebuah perusahaan sosial AS dalam publikasinya bulan lalu.

Tahun ini, Arab Saudi bekerja sama dengan negara-negara lain, termasuk Belarus, Nigeria, Turki, Indonesia dan Rusia, serta Vatikan untuk mempromosikan nilai-nilai keluarga yang konservatif dan memastikan bahwa bahasa yang ada, misalnya, hak-hak LGBTQ atau perlindungan terhadap kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender, diabaikan atau tidak disertakan dalam pernyataan akhir CSW, kata para pengamat.

"Memberikan sebuah platform, memberikan akses dan memberikan suara dan kekuatan kepada orang-orang yang sebenarnya mencoba untuk melakukan kemunduran terhadap isu-isu keadilan gender dan hak-hak perempuan, adalah sebuah jebakan dan hal ini melemahkan diksi seputar isu-isu utama yang sebenarnya ingin kita dorong,” kata kepala hak dan keadilan gender Oxfam International, Amina Hersi, kepada Devex.

Kemajuan positif atau pencitraan?

Kedutaan Besar Saudi di Berlin tidak menanggapi pertanyaan DW tentang status hak-hak perempuan dan kesetaraan gender di negaranya.

"Kepemimpinan Saudi di CSW sudah sejalan dengan pencapaian kualitatif yang dicapai kerajaan di bidang ini, berkat perhatian dan perhatian khusus yang diberikan raja terhadap pemberdayaan dan hak-hak perempuan,” tulis pemerintah di Riyadh seperti dilansir kantor berita Saudi Press Agency. Ditambahkan, Saudi giat menjalankan Visi 2030 untuk mendukung lebih banyak partisipasi perempuan dalam perekonomian Saudi.

Potensi perubahan yang positif ke arah kesetaraan di Saudi diakui Lina al-Hathloul, kepala advokasi organisasi ALQST untuk Hak Asasi Manusia yang berbasis di London. "Kami yakin bahwa keterlibatan dan kolaborasi internasional dapat membawa perubahan positif, dan kesediaan Arab Saudi untuk terlibat dapat memberikan insentif,” katanya kepada DW.

Namun, al-Hathloul memperingatkan betapa reformasi di Arab Saudi tidak akan banyak berarti jika kaum perempuan masih dikiriminalisasi karena tidak berperilaku atau berpakaian sesuai aturan, tidak mematuhi "wali” laki-laki mereka atau karena mengekspresikan pendapat politik secara damai.

 "Wacana pemberdayaan perempuan di Saudi yang kita lihat dalam beberapa tahun terakhir masih hanya sekedar pencitraan,” ujarnya. Menuru al-Hathloul,  tujuan terbesar kerajaan al-Saud adalah membuka ekonomi demi menjaring lebih banyak investor dan wisatawan Barat.

rzn/as