1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiEropa

Apakah Investasi dari Timur Tengah Ancaman bagi Barat?

12 September 2023

Dari klub sepak bola hingga perusahaan telekomunikasi, negara Timur Tengah sedang jor-joran investasi di Barat karena harga minyak tinggi. Apakah ini ancaman?

https://p.dw.com/p/4WFJB
Pesepak bola Cristiano Ronaldo di Riyadh, Arab Saudi
Negara Teluk dinilai gunakan strategi sportswashing untuk meredam isu HAM merekaFoto: Ahmed Yosri/REUTERS

Saat tidak sedang menggoda pemain bola seperti Cristiano Ronaldo, Neymar dan Karim Benzema ke Riyadh dengan bayaran ratusan juta euro per tahun, Arab Saudi secara teratur mengucurkan investasi mereka untuk menyegarkan bisnis yang sedang lesu di Barat.

Bersama dengan negara tetangganya yakni Uni Emirat Arab (UEA) dan Qatar, Dana Investasi Publik Saudi (PIF) yang sangat besar turun tangan pada puncak krisis keuangan tahun 2008/9 untuk mendukung beberapa bank di Barat, bahkan ketika perekonomian negara-negara itu sendiri tengah terpuruk seiring dengan krisis yang terjadi dan gejolak harga minyak.

"Sovereign Wealth Fund (Dana Kekayaan Negara) negara-negara Teluk dapat berinvestasi dalam jumlah besar dengan cara yang tidak birokratis, terutama ketika saat keadaan sulit. Mereka sering kali terbukti menjadi penyelamat bagi banyak perusahaan," kata Eckart Woertz, Direktur GIGA Institute for Middle East Studies, kepada DW.

Kerajaan Arab Saudi saat ini memiliki saham di Nintendo, Uber, Boeing, dan Newcastle United Football Club. Pada bulan Juni, PGA Tour Golf menyetujui merger kontroversial dengan LIV Golf yang didukung Saudi. Merger ini pun dikecam oleh kelompok hak asasi manusia.

PIF juga menguasai hampir dua pertiga perusahaan mobil yang digadang sebagai calon rival Tesla, Lucid Motors, dengan investasi sekitar $5,4 miliar (sekitar Rp88,9 triliun) selama lima tahun terakhir, untuk perusahaan yang memproduksi kurang dari 10.000 kendaraan per tahun.

Investasi telekomunikasi dalam pengawasan

Investasi terbaru, meski jauh lebih kecil, adalah pengumuman Saudi Telecom (STC) pekan lalu, bahwa mereka telah memiliki 10% saham di raksasa telekomunikasi Spanyol Telefonica, senilai €2,1 miliar (sekitar Rp34,5 triliun).

Selama delapan tahun terakhir, nilai pasar Telefonica menyusut lebih dari 60 persen. Perang harga untuk layanan seluler dan internet, investasi pada teknologi baru, dan ekspansi ke pasar baru telah menyebabkan perusahaan Spanyol tersebut terjerat tumpukan utang yang sangat besar.

Perusahaan telepon UEA e& (sebelumnya Etisalat) tahun ini meningkatkan kepemilikannya di perusahaan telekomunikasi besar Eropa lainnya, Vodafone, dari 10% menjadi hampir 15%. Bulan lalu, e& mengatakan sedang mempertimbangkan kenaikan kepemilikan saham menjadi 20%. 

Kedua investasi tersebut tentu saja memicu kekhawatiran keamanan nasional, karena Barat menilai negara-negara Teluk sebagai rezim otokratis yang memiliki sejarah panjang pelanggaran hak asasi manusia dan merajalelanya pengawasan terhadap penduduknya.

Nadia Calvino, wakil perdana menteri pertama Spanyol pekan lalu  mengatakan, kepemilikan STC di Telefonica perlu diawasi "dengan mempertimbangkan pertahanan kepentingan strategis Spanyol." Pemerintah di Madrid disebutkan sangat mewaspadai hubungan Telefonica dengan sektor pertahanan negaranya.

Inggris juga khawatir apakah kerja sama Vodafone dengan e& dapat berdampak pada rencana merger Vodafone senilai $19 miliar dengan saingannya Three UK, yang saat ini sedang diteliti oleh pengawas kompetisi negara tersebut.

Kepentingan negara Teluk berbeda dengan Cina

"Arab Saudi tidak mengejar kepentingan yang sama seperti Cina atau Rusia," kata Woertz. "Meskipun Cina sedang mengejar di bidang teknologi yang sudah terpasang di infrastruktur komunikasi yang sangat sensitif, lain halnya dengan Arab Saudi. Mereka tidak memproduksi teknologi canggih seperti Huawei milik Cina."

Woertz mengacu pada sejumlah larangan yang diberlakukan terhadap Huawei dan perusahaan teknologi Cina lainnya oleh Amerika Serikat dan sekutunya dalam beberapa tahun terakhir. Badan-badan intelijen Barat telah menyuarakan kekhawatiran, bahwa peralatan jaringan nirkabel buatan Cina itu dapat memiliki banyak celah yang memungkinkan Beijing memata-matai mereka.

Gelontoran modal untuk chip kualitas top

Di tengah kekurangan semikonduktor kualitas tinggi yang diperlukan untuk menggerakkan model bahasa bagi kecerdasan buatan yang canggih, Arab Saudi dan UEA dilaporkan telah membeli chip yang dibuat oleh perusahaan teknologi AS, NVIDIA.

Kedua negara juga berbicara secara terbuka tentang keinginan untuk menjadi pemimpin dalam teknologi AI, yang diperingatkan oleh banyak pemimpin teknologi dapat disalahgunakan oleh rezim otokratis.

"Pembela hak asasi manusia dan jurnalis sering menjadi sasaran tindakan keras pemerintah (di UEA dan Arab Saudi)," ujar Iverna McGowan, Direktur Kantor Pusat Demokrasi dan Teknologi Eropa, kepada Financial Times bulan lalu. 

"Hal ini ditambah fakta bahwa kita tahu bagaimana AI dapat menimbulkan dampak diskriminatif, atau digunakan untuk meningkatkan pengawasan yang melanggar hukum. Ini adalah pemikiran yang menakutkan."

Negara-negara Teluk baru-baru ini menjadi berita utama karena kecanggihat teknologi mata-mata mereka. Pada tahun 2019, Google dan Apple menghapus aplikasi perpesanan populer ToTok yang berbasis di UEA, setelah New York Times melaporkan bahwa aplikasi tersebut digunakan oleh badan intelijen Emirat untuk memata-matai pengguna.

Strategi sportswashing terus berlangsung

Kelompok hak asasi manusia sering mengecam Arab Saudi karena praktik yang dikenal sebagai sportswashing, atau mengalihkan perhatian dari catatan hak asasi manusia yang buruk dengan kesepakatan-kesepakatan olahraga besar, seperti penggabungan tur PGA Golf dan investasi besar-besaran di liga Saudi yang dipenuhi pemain-pemain top dari Barat.

"Sudah jelas selama beberapa waktu bahwa Arab Saudi siap menggunakan sejumlah besar uang untuk mengembangkan usahanya di permainan golf papan atas," kata Felix Jakens dari Amnesty International Inggris.

Dalam laporan tahunan terbarunya, kelompok hak asasi manusia tersebut menuduh Arab Saudi melakukan pelanggaran hak asasi manusia termasuk pengadilan yang tidak adil, penyiksaan di penjara, eksekusi massal, dan diskriminasi terhadap perempuan.

Meskipun permasalahan hak asasi manusia adalah hal penting, dan ancaman keamanan perlu diselidiki, Woertz dari GIGA mengatakan, pragmatisme sering kali mengalahkan permasalahan lain dalam bisnis, terutama pada saat krisis.

"Bagi perusahaan, hak asasi manusia bukanlah perhatian utama mereka. Yang penting adalah mengembangkan bisnis masing-masing dan sebagai investor, mereka (negara-negara Teluk) sangat berguna," katanya.

(ae/as)

Nik Martin Penulis berita aktual dan berita bisnis, kerap menjadi reporter radio saat bepergian keliling Eropa.