1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

G 20 Erweiterung

15 Desember 2009

Berkat krisis keuangan, kelompok G8 yang terdiri dari negara industri terbesar dunia tak lagi dapat melecehkan perkembangan ekonomi dinamis negara ambang industri seperti Cina, India dan Brasil.

https://p.dw.com/p/L2uC
Foto bersama para kepala negara anggota G20 dalam KTT di Pittsburgh, Amerika Serikat, September 2009Foto: AP

Kelompok G20 sudah didirikan sepuluh tahun lalu, tapi sebelum krisis keuangan global, kelompok negara ambang infustri tidak memainkan peranan penting. Saat krisis keuangan global melanda, Amerika Serikat dan Eropa tiba-tiba membutuhkan bantuan negara industri baru.

Dalam pertemuan puncak ekonomi di Pittsburgh kelompok eliter delapan negara industri diperluas menjadi 20. Negara industri baru mendapat posisi yang lebih kuat di Dana Moneter internasional (IMF) dan Bank Dunia. Sikap ini diharapkan mencegah Cina, yang merupakan pemberi kredit terbesar Amerika Serikat, melakukan langkah gegabah karena ini dapat menggoyahkan stabilitas mata uang Dollar.

Negara industri membutuhkan Cina sebagai pasar untuk produk konsumsinya. Dan secara tidak langsung, ini berarti mereka membutuhkan pemerintah Cina yang mendongkrak konsumsi dalam negeri dengan paket perangsang ekonomi. Karena negara G20 kini memiliki peran yang lebih besar, India diharapkan bersikap lebih lunak dan siap berkompromi dalam perundingan iklim serta putaran perundingan Doha yang bertujuan meliberalisasi perdagangan dunia. Sementara Arab Saudi diharapkan siap untuk mengalokasi dana miliaran Dollar dari perdagangan minyaknya untuk riset energi terbarukan.

Anggota G20 menghasilkan 90 persen Produk Domestik Bruto dan 80 persen perdagangan dunia. Selain itu, dua per tiga penduduk dunia hidup di ke-20 negara industri baru. Jadi segelintir pengambil keputusan yang duduk di meja perundingan mewakili kepentingan banyak orang.

Dilihat sekilas, situasi ini positif. Tapi kalau ditilik lebih dalam, ini berarti bahwa mayoritas negara dunia, yaitu 172 negara lainnya, sama sekali tidak terlibat perundingan. Dan peluang mereka untuk menjadi anggota klub eksklusif ini semakin tipis karena dari segi ekonomi mereka tak patut diperhitungkan.

Seharusnya, kekuatan ekonomi suatu negara tak menjadi kriteria satu-satunya, apakah suatu negara berhak ikut berunding dan menetapkan topik bahasan atau tidak. Apalagi sekarang merupakan era globalisasi, di mana kesalahan satu negara berimbas pada negara lainnya. Karena negara di luar kelompok G20 justru negara berkembang, di antaranya beberapa negara termiskin dunia. Mereka tidak punya andil dalam memicu krisis keuangan, tapi mereka yang paling parah terkena imbasnya. Negara berkembang hanya bisa menunggu keputusan yang diambil tanpa keterlibatan mereka.

Tentu tidak mudah untuk menemukan format ideal bagi perundingan. Kalau terlalu banyak pihak yang terlibat, kemungkinan besar kinerja kelompok menjadi lamban. Dan masalah global seperti kemiskinan, pemanasan global dan krisis keuangan terlalu penting untuk itu. Kalau kelompok perunding kecil, kinerjanya tentu lebih efektif dan keputusan dapat diambil dengan cepat. Tapi di saat sama, kelompok eksklusif beranggota sedikit dipertanyakan legitimitasnya.

Salah satu opsi adalah memberikan suara bagi kelompok regional, seperti Uni Afrika dan ASEAN untuk duduk di meja perundingan. Dalam kelompok G20 misalnya, Uni Eropa terwakili dengan satu suara. Mungkin dengan cara ini, ke-172 negara lainnya mendapat peluang untuk ikut terlibat proses pengambilan keputusan.

Tapi negara G8, negara industri terkuat dan terbesar dunia masih jauh dari pemikiran untuk memperluas kelompok G20. Mungkin situasinya sedikit beda di dalam kelompok G20 sendiri. Seharusnya Sekjen PBB mulai menyadari situasi ini dan mendesak agar debat mengenai perluasan kelompok G20 segera dilakukan.

Jutta Wasserrab/Ziphora Robina

Editor: Yuniman Farid