1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

APINDO: Pemerintah Lambat Atasi Harga Daging Sapi

Ayu Purwaningsih11 Februari 2013

Impor terbatas disinyalir menjadi faktor tidak wajarnya harga daging sapi impor di Indonesia. Harga daging sapi di Indonesia tergolong lebih mahal bila dibandingkan di negara lain.

https://p.dw.com/p/17c8M
Eine Scheibe rohes Fleisch seitlich von oben © unpict #11115435
Eine Scheibe rohes FleischFoto: unpict - Fotolia.com

Lebih jauh, berbagai kalangan bahkan menuding praktik kartel sebagai biang keladi tingginya harga daging sapi, yang juga terjadi pada komoditas pangan lainnya. Indikasi itu tercium setelah Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar kasus suap impor daging sapi baru-baru ini yang diduga melibatkan petinggi partai.

BSE Rindfleisch, Schlachthof
Ilustrasi tempat pemotongan sapiFoto: AP

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia APINDO, Anton J. Supit mensinyalir kekisruhan impor sapi ini terjadi karena tidak transparannya survei atas kebutuhan daging sapi dan juga penunjukan importir dalam pengadaan pasokannya. Ia pun tak habis pikir, berbulan lamanya tak ada solusi dari pemerintah menyangkut tingginya harga daging sapi. Berikut perbincangannya dengan Deutsche Welle.

DW: Bagaimana gambaran pembagian kuota impor sapi di Indonesia?

Anton J. Supit: Kebutuhan daging sapi Indonesia diperkirakan 450 ribu ton, dengan catatan, diasumsikan terbagi atas 370 ribu ton dipasok dari lokal, sedangkan dari impor 80 ribu ton, yang juga dibagi dua: 32 ribu ton daging beku, dan 48 ribu ton berupa sapi bakalan (anak sapi), yang akan dibesarkan di Indonesia.

Yang diributkan adalah yang berupa 32 ribu ton daging beku tersebut. Kalau tahun 2010, pemainnya di pasar adalah hanya sekitar 20 importir, kini menjadi 67 importir. Pernah ada jatahnya dulu mencapai 120 ribu ton, tapi saat itu pemainnya hanya 20 orang. Sekarang dengan 32 ribu ton pemainnya 67 orang. Sulit juga menyebutnya kartel, karena terjadi persaingan juga di antara para pengusaha impor. Tapi ini jelas memang suatu kuota yang dibagi-bagi dan diperebutkan. Karena kuotanya sedikit, suplainya pun kurang.

Lihat dulu asumsi 370 ribu ton yang disuplai sapi lokal. Artinya kira-kira 2 juta ekor sapi yang harus disembelih. Di samping 2 juta ekor per tahun, terdapat yang 48 ribu ton bakalan sapi, atau 265 ribu ekor sapi yang masuk ke Indonesia. Itu memang dipotong di tahun berikutnya. Berarti keseluruhannya ada 2.265.000 sapi yang dipotong pertahun. Berarti rata-rata sekitar 6000-an lebih sapi yang dipotong setiap hari. Persoalannya, apakah bila jumlah itu ditambah dengan pasokan sapi impor, masih juga tak mencukupi? Bila ternyata masih kurang, berarti pasokannya kurang dan kuotanya harus ditambah. Bila sapinya per hari tak dipotong sesuai perkiraan yakni 6000 ekor lebih, maka hitungan targetnya salah. Karena bisa jadi, sapi-sapi bakalan itu tidak dipotong, karena yang betina masih berusia produktif, dan yang dipotong hanya sapi jantan. Saya yakin angka-angka itu yang harusnya bisa membantu hitungan kebutuhannya. Harus ditinjau lagi, apakah memang jumlahnya sudah tepat sesuai sensus atau malah kita kekurangan pasokan.

Rotes Fleisch
Ilustrasi daging sapi siap dipasarkanFoto: picture-alliance/ dpa

DW: Menurut Anda pembagian kuota impor itu sudah cukup adil dan transparan?

Anton J. Supit: Memang penetapan kuota dibicarakan bersama di tingkat menteri koordinator perekonomian, namun pihak kementerian pertanian mendominasi, termasuk penunjukan importir. Kenapa begitu sulit untuk menyebut nama-nama para importir itu? Jika memang sesuai aturan, dibuka saja namanya, siapa-siapa saja yang mendapatkan jatah kuota impor daging sapi itu, ke-67 impor itu?

DW: Dalam kasus suap impor daging sapi baru-baru ini, pengusaha bahkan berani membayar suap hingga milyaran rupiah guna meningkatkan kuota. Apa artinya pengusaha sangat berperan dalam penentuan harga daging sapi?

Anton J. Supit: Tak mengherankan. Kalau kita lihat harga pasar sekarang, pengimpor hanya beli 40 ribu rupiah dan menjualnya bisa sampai 90 ribu rupiah, tentu ini menjadi bisnis yang menggiurkan, maka orang-orang berlomba-lomba mencari jatah. Itu yang menjadi daya tarik sebenarnya.

Kalau supply kurang, demand tinggi, maka harga naik. Demikian sebaliknya. Celakanya -- anehnya, tujuh bulan lamanya harga daging sapi naik, tak ada tindakan dari pemerintah yang melihat dimana persoalannya, apakah supply-nya kurang atau supply betul, tapi ada kebutuhan yang melonjak, harusnya ada antisipasi. Jika kebutuhan naik, maka yang dapat dilakukan adalah melihat apakah dapat menambah pasokan dari dalam negeri, atau bila masih kurang, jatah kuota impornya ditambah. Ini tidak clear sampai sekarang. Pemerintah bilang tidak akan ada penambahan jatah impor. Kalau begitu harus lebih banyak sapi lokal yang dipotong. Persoalannya, ada tidak sapi lokalnya yang siap dipotong.

Jadi tak perlu menunggu sampai tujuh bulan harga sapi melonjak di pasaran, baru mengambil langkah. Harusnya dalam sepekan atau dua pekan sudah diambil tindakan antisipasi. Hitung kebutuhannya betul-betul.

DW : Langkah apa ke depan yang seharusnya diambil pemerintah untuk menjaga stabilitas harga sapi dan pasokannya?

Anton J. Supit: Untuk jangka pendek, jika pasokan lokal tak mampu memenuhi kebutuhan, ya harus ditambah dengan jatah impor. Barulah nanti untuk jangka menengah, tentunya dari sensus yang dilakukan pemerintah, harus dipilah-pilah, berapa sapi jantan dan betina, berapa yang siap dipotong? Juga untuk masalah transportasi pengangkutannya, jika terlalu mahal harus disubsidi untuk transportasi pengangkutannya.

Orang mengatakan yang naik harganya kan sebagian besar di kawasan Jabotabek, sentra konsumen. Tapi kalau dilihat statistiknya, harganya ternyata naik merata dimana-mana.Perkuatlah industri hulu kita. Hal lain lagi adalah banyak peternak yang bukan bermental pebisnis, mereka memelihara sapi sebagai tabungan saja, dan menjual sapinya hanya bila perlu.

Ein Kilogramm Rindfleisch kostet 16000 Liter Wasser ARCHIV - Rinder auf einer Weide (Archivfoto vom 23.06.2008). John Anthony Allan, Wissenschaftler aus London, hat ermittelt, wie viel Wasser etwa in die Fleischproduktion geht: 2 400 Liter «virtuelles» Wasser kostet z.B. die Herstellung eines Hamburgers und 16 000 Liter ein Kilogramm Rindfleisch. Allan hat das Konzept des «virtuellen Wassers» entwickelt, mit dem sich umfassend der Verbrauch der weltweit knappen Ressource für alle nur erdenklichen Verbrauchsgüter errechnen lässt. Die Weltwasserwoche in Stockholm zeichnete ihn dafür am Donnerstag (21.08.2008) mit dem Wasserpreis aus. Foto: Boris Roessler (zu dpa-Korr. "Preis für «virtuelles Wasser»: Tasse Kaffee kostet 140 Liter Wasser" vom 21.08.2008) +++(c) dpa - Bildfunk+++
Ilustrasi beternak sapiFoto: dpa

DW: Bagaimana upaya untuk menghindari korupsi (suap) dalam pengadaan pasokan daging sapi?

Anton J. Supit: Penentuan harus ditender berdasarkan ikatan harga. Ada usul bahwa calon importir yang tertarik, bisa memberi jaminan berapa harga yang dia janjikan.

Kunci pembagian jatahnya harus transparan, antar kementerian, antar stakeholder, sehingga tidak hanya dibagi jatahnya ke kelompok tertentu. Jatah yang sedikit ini harus dibagi secara adil. Pendatang baru ingin meminta lebih, sementara pemain lama ingin bertahan kalau perlu dapat penambahan jatah. Perlu ditegakan komitmen bagi peserta tender, berdasarkan harga yang mereka tawarkan, berapa harga yang akan mereka jual. Jadi ada kepastian.