1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

AS Ringankan Sanksi Myanmar

18 Mei 2012

Amerika Serikat menghargai reformasi yang berjalan di Myanmar dengan mengurangi larangan investasi di negara ini. Presiden Obama menunjuk duta besar AS pertama bagi Myanmar setelah 22 tahun.

https://p.dw.com/p/14xF6
Foto: AP

Kamis (17/05)), Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton bertemu dengan rekannya dari Myanmar, Wunna Maung Lwin, di Washington. Dalam perbincangan antara keduanya, Clinton menyatakan menyambut reformasi politik yang dilakukan pemerintah Myanmar selama setahun terakhir.

Berbicara kepada wartawan setelah pertemuan tersebut, Clinton menegaskan bahwa pemerintah AS akan memperingan sanksi pembatasan investasi AS di Myanmar selama satu tahun. Namun, dikatakan Clinton, embargo senjata masih dipertahankan.

Pengakuan lainnya atas kemajuan demokrasi di Myanmar adalah penunjukkan duta besar AS bagi Myanmar.  Utusan khusus untuk Myanmar, Derek Mitchell, terpilih untuk mengisi posisi yang telah ditinggalkan selama 22 tahun. Penunjukkan Mitchell ini masih harus disetujui Senat AS. Myanmar juga akan mengirimkan duta besarnya ke Amerika.

Penghargaan Terlalu Dini?

Setelah puluhan tahun berada di bawah kekuasaan militer, pemerintahan sipil baru telah memulai serangkaian reformasi politik dan ekonomi. Masyarakat internasional menyambut baik langkah-langkah demokrasi yang diambil pemerintah Myanmar. Bulan April lalu, Uni Eropa menangguhkan sanksi ekonomi terhadap Myanmar selama satu tahun. Dan seperti AS, Uni Eropa tetap memberlakukan embargo senjata.

Organisasi-organisasi HAM, bagaimanpun, bersikap kritis terhadap penghargaan kepada Myanmar yang mereka anggap terlalu pagi. Mereka juga mengemukakan kekhawatiran tentang kondisi etnis-etnis minoritas, khususnya Kachin, yang tinggal di utara negara itu. Dalam beberapa tahun terakhir, aksi militer Myanmar telah menyebabkan ribuan etnis Kachin mengungsi.

“Meringankan sanksi terhadap Myanmar telah mengabaikan kenyataan situasi di lapangan, termasuk kekejaman yang sedang berlangsung,“ dikatakan Tom Andrews, dari kelompok United to End Genocide. ”Ini merupakan keputusan yang berbahaya, yang kemungkinan akan memperburuk pelanggaran HAM dan dapat menyebabakan hilangnya pengaruh AS.“

yf (rtr/ap/afp)