1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masalah Sanitasi di Asia

Gabriel Dominguez / Suci Sekarwati7 Desember 2014

Sanitasi yang baik sangat penting bagi kesehatan warga, selain itu juga bisa menunjang sektor pariwisata. Asia masih kekurangan fasilitas sanitasi. Wawancara DW dengan Jingmin Huang dari ADB.

https://p.dw.com/p/1DzmX
Bildergalerie Indien Hygiene
Foto: PRAKASH SINGH/AFP/Getty Images

Asia perlu sanitasi yang lebih baik. Apalagi jika ingin menjaring lebih banyak wisatawan. Jingmin Huang, pakar pembangunan dari Asian Development Bank (ADB) mengatakan, kurangnya fasilitas sanitasi punya dampak cukup besar, tidak hanya bagi kesehatan melainkan juga bagi martabat manusia. Menurut ADB, kurangnya fasilitas sanitasi yang layak menjadi salah satu penyebab kematian. Berikut petikan wawancara DW dengan Jingmin Huang.

DW : Seberapa mendesaknya kebutuhan sistem sanitasi yang layak di Asia?

Jingmin Huang: Kami memperkirakan ada sekitar 1,7 miliar penduduk di Asia yang tidak memiliki akses langsung terhadap fasilitas sanitasi. Dari jumlah itu, sekitar 540 juta orang menggunakan fasilitas WC umum, sedangkan 397 juta menggunakan fasilitas sanitasi yang dibawah standard kebersihan. Sisanya, 758 juta orang terpaksa buang hajat di tempat terbuka.

Negara-negara yang paling menderita karena minimnya fasilitas sanitasi adalah India dan Cina. Sedangkan India dan Indonesia merupakan dua negara di kawasan Asia dengan angka tertinggi dalam jumlah orang yang sering buang hajat di tempat terbuka.

DW: Seberapa besar kerugian akibat sistem sanitasi yang tidak memadai ini?

Sulit untuk menghitungnya, karena dampak biaya kesehatan yang ditimbulkan jauh lebih besar. Murid menjadi sering tidak masuk sekolah karena sanitasi yang tak memadai, atau karyawan terpaksa tidak masuk kerja. Yang pasti, ongkos untuk membangun fasilitas sanitasi yang memenuhi standar di setiap negara berbeda-beda. Sebagai contoh, riset Bank Dunia yang bernama Water and Sanitation Program menemukan, India harus merogoh kocek sekitar 54 miliar dollar AS atau jumlah yang setara dengan 6,4 persen dari PDB nya. Sedangkan Vietnam membutuhkan anggaran sekitar 780 juta dollar AS pertahun untuk membangun sanitasi baru.

DW: Akankah dengan membangun toilet baru bisa meningkatkan kesehatan masyarakat?

Hal ini tentu saja dapat membantu, tetapi membangun toilet saja tidak cukup. Penting juga untuk memiliki sistem yang bisa mengurai limbah sanitasi sehingga membuatnya menjadi bermanfaat bagi lingkungan. Itu semua harus diusahakan.

Millennium Development Goals (MDG) diantaranya menargetkan peningkatan fasilitas sanitasi seiring dengan upaya mengurangi angka kematian anak-anak di bawah lima tahun akibat ancaman pencemaran limbah manusia. Jadi, jangan hanya fokus pada fasilitas sanitasi dasar saja.

Sekarang ini, sekitar 2,7 miliar orang diseluruh dunia masih buang hajat di fasilitas sanitasi umum. Dari jumlah itu, 1 miliar orang hidup di wilayah pinggiran di kawasan Afrika, Asia dan Amerika Latin.

Fasilitas sanitasi yang tidak ramah lingkungan akan membuat tersumbatnya saluran air, termasuk mencemari air tanah. Manajemen pengelolaan tinja dan limbah yang keliru akan mencemari air, dan itu menjadi sumber terbesar penularan penyakit.

Ketika fasilitas sanitasi sudah dibuat, maka langkah penting selanjutnya adalah bekerja sama dengan komunitas setempat untuk memastikan mereka paham arti kesehatan dan nilai-nilai menjaga lingkungan dengan cara membuang air besar di WC, bukan di tempat terbuka.

DW: Bagaimana investasi di bidang sanitasi bisa ekonomis dan terjangkau bagi orang yang hidup dengan penghasilan kurang dari 1 dollar AS per hari?

Imbal hasil investasi bidang sanitasi bagi siapapun akan tetap tinggi. Riset yang dilakukan 2004 oleh badan kesehatan dunia WHO menyebutkan, investasi 1 dollar AS pada sanitasi akan memberikan imbal hasil sekitar 3 hingga 34 dollar AS, tergantung dari intervensi dan wilayahnya.

Investasi harus dilakukan tidak hanya oleh pemerintah, melainkan juga lembaga-lembaga pembangunan dan perusahaan swasta. Masyarakat harus jadi bagian dari program itu, dan pengalaman menunjukkan bahwa makin banyak keluarga akhirnya jadi paham tentang sanitasi yang lebih baik. Orang jadi tidak gampang sakit, dan anak-anak bisa pergi ke sekolah, begitu juga dengan orang tua mereka yang bisa beraktifitas tanpa kendala.

Yang tidak kalah penting, mereka tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk biaya perawatan kesehatan. Berinvestasi pada sektor sanitasi sangat penting dan ikut menciptakan sistem yang berkelanjutan.

DW: Apa lagi yang harus pemerintah lakukan untuk mengatasi masalah ini?

Ada banyak hal yang harus dilakukan dan dibutuhkan peran besar dari berbagai pihak. Diperlukan teknologi dan inovasi baru, begitu juga model-model bisnis baru yang mempertimbankan keterlibatan sektor swasta.

Kunci dari semua ini, tentu saja mengubah cara pandang para pembuat keputusan. Mereka harus mengerti bahwa langkah nyata sangat diperlukan untuk sanitasi yang lebih baik. Sebab menunda-nunda hanya akan menambah kerugian yang lebih besar.

DW : Bagaimana dengan negara-negara di kawasan Asia?

Langkah inisiatif di tiap daerah berbeda-beda, tergantung pada kondisinya. Yang paling umum adalah upaya mendidik masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menangani sanitasi.

Contohnya Bangladesh dan Nepal. Dua negara itu berhasil mengurangi secara signifikan jumlah orang yang buang hajat ditempat terbuka dengan membangun sarana WC umum. Pemerintah Bangladesh bahkan khusus menargetkan sejumlah wilayah kumuh. Cinadan Vietnam juga sukses dalam meningkatkan sistem sanitasi bagi penduduknya, termasuk membersihkan sungai-sungai dan kota dengan membangun pengolahan air limbah raksasa.

Jingmin Huang adalah Senior Urban Development Specialist dari South Asia Department, Asian Development Bank (ABD). Wawancara untuk DW dilakukan oleh Gabriel Domínguez

LINK: http://www.dw.de/dw/article/0,,17999471,00.html