1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Australia Kerepotan Soal Pengungsi

17 Desember 2013

Australia kelimpungan menata kebijakan anti penyeludupan manusia usai Indonesia membekukan kerjasama imigrasi dengan negeri jiran tersebut. PM Tony Abott didesak untuk mencari solusi baru.

https://p.dw.com/p/1Aaw4
l
Foto: Getty Images

Soal penyeludupan manusia dan imigrasi, pemerintah Australia di bawah PM Tony Abott bisa sangat lantang. Baru-baru ini pemimpin Partai Liberal itu mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar melanjutkan kerjasama di bidang imigrasi. Menanggapi komentar SBY bahwa pihaknya akan berupaya memperbaiki hubungan dengan negeri jiran selambatnya Juli tahun depan, Abott berkata, "Saya mengharapkan kerjasamanya dilanjutkan jauh sebelum itu," ujarnya kepada media.

Chris Bowen, juru bicara oposisi mengritik Abott sedang menjalankan "diplomasi megaphone," karena memilih "berbicara lewat media" ketimbang menggunakan jalur diplomasi langsung ke istana negara di Jakarta. "Bukan begitu caranya berhubungan dengan tetangga," kata Bowen. Abott selama masa kampanye berjanji akan menghindari praktik semacam itu terhadap Indonesia.

Kisruh terkait kebijakan anti penyeludupan di Canberra menggambarkan rasa frustasi pemerintah Australia menyusul keretakan hubungan dengan Indonesia akibat skandal penyadapan beberapa waktu lalu. Abott yang terpilih dengan janji kampanye menghentikan penyeludupan manusia, menghadapi tekanan ketika Jakarta membekukan kerjasama di bidang imigrasi.

Selama ini Australia mengandalkan Papua Nugini untuk menampung pengungsi. Kebijakan yang disebut "Solusi Papua" itu menelan biaya sekitar 1,8 milliar US Dollar dalam waktu empat tahun. Sejak akhir 2012 Australia mengelola kamp pengungsi di pulau Nauru dan Manus.

Gonjang-ganjing soal perahu nelayan

"Lihat, kami akan menghentikan penyeludupan. Sederhana saja," katanya. "Dan pesan saya untuk para penyeludup, waktu kalian sudah habis."

Pemerintah Australia, Senin (16/12/13), membatalkan rencana pembelian perahu nelayan menyusul sikap Indonesia yang menolak kebijakan tersebut. Sebagai gantinya dana sebesar 20 Juta Dollar Australia yang sudah disiapkan pemerintah akan dialihkan untuk kampanye media anti penyeludupan di sejumlah negara.

Pemerintahan Abott juga terpaksa membatalkan kebijakan pemberian imbalan untuk menangkap penyeludup. Indonesia sebelumnya menilai kedua kebijakan itu mencampuri urusan dalam negeri. Hal senada juga dingkapkan oleh pakar imigrasi dari Partai Buruh, "Masalah terbesar kebijakan ini adalah ia membebani hubungan kita dengan Indonesia," kata Richard Marles.

Rencana pembelian perahu untuk mencegah nelayan menjualnya kepada para penyeludup merupakan salah satu janji kampanye Abott jelang pemilihan umum September silam. Abott sendiri bersikukuh, "Kami tetap akan menjalankan kebijakan sesuai dengan janji kampanye," sanggahnya.

Diskriminasi hukum terhadap pengungsi

Pemerintah Australia juga dihujani kritik lantaran memaksa pengungsi untuk menandatangani perjanjian keamanan. Menurut kebijakan tersebut, seorang pengungsi bisa kehilangan izin tinggal jika "berprilaku asosial" atau "berbohong pada pegawai pemerintah."

Sederet aturan soal tata cara berprilaku yang disusun Kementrian Imgrasi untuk pengungsi itu dinilai melanggar konstitusi.

"Kita memiliki aturan bersama yang disebut Konstitusi Australia dan ini berlaku untuk semua orang," kata pakar imigrasi Partai Hijau, Hanson-Young. Menurutnya langkah pemerintah membuat aturan khusus untuk sekelompok orang adalah bentuk "diskriminasi."

Oposisi yang terdiri dari aliansi Buruh dan sejumlah partai lainya berencana menggagalkan kebijakan tersebut lewat parlemen.

Pamela Curr, Koordinator di Asylum Seeker Resource Centre, mengecam, "Pemerintah membuat hukuman tanpa pengadilan sehingga sang menteri bisa memutuskan apakah seseorang pantas dihukum, tanpa berkonsultasi dengan polisi atau lembaga yudikatif."

rzn/yf (rtr,afp,ap)