1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Badan Anti Teror Tidak Akan Melakukan Tindak Represif

27 Juli 2010

Selasa (27/07), Menkopolhukam Djoko Suyanto menjelaskan fungsi dan rincian tugas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dibentuk dua pekan lalu.

https://p.dw.com/p/OVXO
Densus 88 saat berusaha menyergap sekelompok orang yang dicurigai sebagai teroris di Sukoharjo, Jawa Tengah, bulan Mei lalu.
Densus 88 saat berusaha menyergap sekelompok orang yang dicurigai sebagai teroris di Sukoharjo, Jawa Tengah, bulan Mei lalu.Foto: AP

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah terbentuk  hampir dua minggu lalu. Hari Selasa (27/07), Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto memberikan penjelasan lengkap mengenai fungsi dan rincian tugas lembaga  ini.

Menurut Djoko Suyanto, sejatinya  BNPT  ini bukan sebuah badan baru,  melainkan  perluasan  fungsi dari Desk Anti Teror yang telah dimiliki Kantor Kementerian Polhukam dengan dukungan  kementerian lain.

"Dulu kan lingkupnya hanya sebatas politik hukum dan keamanan, jadi lebih ditonjolkan represifnya. Oleh karena itu ada ide berkembang bahwasanya ini harus juga melibatkan stakeholder yang lain, karena beberapa kementerian juga terlibat setelah kita mendalami antominya (terorisme) bagaimana penanganan pasca dan sebelumnya.  Kementerian Pendidikan sangat berperan. Kementerian Sosial juga penting untuk penanganan pascanya. Kemudian Kementerian Agama.  Di samping itu  juga  melibatkan stakeholder yang lain LSM, perguruan tinggi," ungkapnya.

BNPT Dikhawatirkan Tumpang Tindih dengan Kepolisian

Betapapun, pembentukan BNPT ini mendapat sorotan dari para pegiat HAM. Mereka khawatir keberadaan lembaga ini akan tumpang tindih dengan lembaga lain, seperti kepolisian.  Ini karena fungsi penanggulangan dan penindakan  terorisme selama ini telah dilakukan oleh sejumlah institusi keamanan dan hukum di bawah kordinasi Desk Anti Teror.  

Menkopolhukam Djoko Suyanto menepis  semua pandangan itu. Dikatakannya, "Meskipun disitu ada Deputi Penindakan dan Pelatihan tapi bukan berarti dia juga melakukan tugas kepolisian.  Karena penegakan hukum itu harus tetap ada. Dia operasional juga. Bagaimana dia memberikan penyadaran kepada masyarakat. Bagaimana  mencegah mereka, bagaimana mereka nanti setelah menjalani hukuman ditangani oleh siapa itu operasional semua. Jadi jangan lalu ada anggapan seolah-olah badan ini akan menjadi badan super. Peningkatan kapasitas yang sangat komphrehensif, penegakan hukum tetap di polisi.  Ini kan badan ini baru terbentuk, deskripsi tugasnya saja belum tersusun, bagaimana kita sudah menjustifikasi seperti itu."

BNPT Dikhawatirkan Bertindak Represif

Dalam pasal 23 Perpres tentang  BNPT disebutkan bahwa satuan TNI akan ikut dilibatkan dalam operasi pemberantasan terorisme. Inilah yang memunculkan kekhawatiran nantinya badan ini akan bertindak represif seperti era militer Orde baru.  

Menkopolhukam Djoko Suyanto  menepis kekhawatiran itu. Namun ia mengakui, pihaknya belum merumuskan sejauh mana peranan TNI nanti dalam operasi anti teror.

Menurut Kepala Desk Anti Teror Kantor Kementerian Polhukam, Ansyad Mbay, pengerahan tentara dalam operasi pemberantasan terorisme, hanya dilakukan pada situasi situasi khusus, melalui keputusan politik.

"Bagaimana kalau terjadi kasus seperti Mumbai? Bagaimana kalau terjadi kasus pembajakan kapal di tengah laut? Apa kita biarkan saja Polri terseok-seok? Bagaimana kalau terjadi pembajakan pesawat? Jadi di badan itu nanti, militer itu bukan terlibat dalam day to day operation seperti Densus 88, tidak.  Mereka di situ statusnya disiapkan. Mereka sudah memantau, sudah memonitor. Di saat terjadi insiden teroris seperti itu badan itu akan berfungsi sebagai lembaga penanganan krisis. Itu adalah fasilitas presiden mengambil keputusan-keputusan di situ. Sebagai contoh apakah itu sudah cukup ditangani Densus atau perlu bantuan militer."

Pemerintah meyakini, pembentukan BNPT adalah cara  efektif untuk menjawab masalah terorisme secara tuntas,  setelah upaya hukum yang ditekankan pemerintah selama ini gagal menjawab akar persoalan terorisme di Indonesia.

Zaki Amrullah

Editor: Luky Setyarini