1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Agama Mengubah Wajah Kota

Aya Bach/Yuniman Farid7 Maret 2012

Tabligh atau misa akbar atau upacara keagamaan lainnya kerap digelar di muka umum. Apa kaitan ekspansi kota dan agama?

https://p.dw.com/p/14GI8
Foto: Fotolia/ProMotion

Nazer Al Sayyad, guru besar University of California, tidak mempercayai apa yang dilihatnya saat mengunjungi Kairo, Mesir. Ratusan jemaah tengah melakukan sholat Jumat di jalanan, menutupi jalan yang akan dilewatinya. Nazer berbalik mencoba mencari jalan lain. Tapi pemandangan sama yang ia dapatkan. Tidak ada pilihan lain baginya, selain menunggu dan ikut begabung, walaupun sebenarnya ia bukanlah seorang Muslim yang taat. Satu bahan bagi para perencana tata kota, arsitek dan juga sejarawan, untuk secara ilmiah mengantisipasi terus meningkatnya keberadaan kelompok keagamaan di wilayah perkotaan.

Kehidupan Sekuler Terancam?

“The Fundamentalist City?” atau "Kota Fundamentalis?", dengan tanda tanya, demikian Nazer Al Sayyad memberikan judul buku yang ditulisnya. Dengan bukunya ini, Nazer hadir dalam konferensi di Berlin tahun 2012. Konferensi Global Prayers itu merupakan bagian dari sebuah proyek penelitian internasional.

Nazer Al Sayyad menggangap pertumbuhan kegiatan keagamaan yang pesat di kota-kota sebagai sesuatu yang harus dicermati. “Saya pikir bahwa masyarakat sekuler di seluruh dunia tidaklah harus menyingkir melihat religiositas yang terus berkembang ini. Tapi mereka harus berjuang untuk dapat mempertahankan kehidupan sekuler di perkotaan.“

Ägypten Freitagsgebet Kairo Mädchen Feier Flash-Galerie
Sholat jumat di satu jalanan di kota Kairo, MesirFoto: AP

Kekhawatiran Nazer akan lenyapnya kehidupan sekuler di perkotaan memang cukup beralasan. Beberapa hasil penelitian menunjukan tendensi ini. Misalnya di Jakarta, warga muda Muslim menciptakan sendiri prinsip flash mob. Dalam waktu sekejap, perhelatan yang digelar berubah menjadi pertunjukan multimedia di depan umum. Jalanan diblokir membuat aktivitas kehidupan terhenti sesaat. Tapi bukan saja umat Muslim yang mengekspresikan praktek keagamaan dengan turun di tempat umum secara massal.

Di pantai Juhu, Mumbai, India, secara berkala umat Hindu pendatang dari India Utara menggelar festival Chhath-Puja, yang dalam setiap penyelenggaraannya dihadiri sekitar dua juta umat. Namun sekitar 15 juta umat Hindu lainnya di Juhu merasa terganggu dengan festival untuk menghormati Dewa Surya ini. Terutama karena, perayaan keagamaan telah menjadi komponen politik dan ekonomi.

Para pendatang yang diangap kelompok yang tersingkirkan di megapolitan, berhasil menunjukkan eksistensi mereka lewat ritual keagamaan. Demikian dikatakan sosiolog George Jose. Tapi bagi mayoritas penduduk lainnya, para pendatang tetaplah “orang kotor yang membuat kota menjadi kotor“.

Lewat Agama Meraih Kesempatan

Migrasi dan pertumbuhan kota yang pesat dianggap sebagai penyebab berkembangnya ekspansi keagamaan. Tidak ada infrastruktur kota yang dapat mengatasinya, jika dalam waktu yang singkat jumlah penduduk bertambah dengan cepat.

Ini menyebabkan timbulnya defisit, setidaknya bahwa perkembangan sebagian dari gerakan agama terhambat. Antropolog budaya Werner Schiffauer, yang turut terlibat dalam proyek penelitan Global Prayers, melihat adanya satu perbedaan utama dari perjuangan yang didominasi gerakan. “Gerakan keagamaan menciptakan satu lingkup dalam komunitas keagamaan, di mana kelompok dari tingkat sosial yang berbeda berkumpul bersama. Inilah yang menjadi daya tarik gerakan semacam ini, terutama bagi warga pendatang di perkotaan. Ini memberi kesempatan bagi mereka untuk menggabungkan nilai kemasyarakatan dengan kemajuan satu individu. Misalnya, jika seseorang berdoa di sebelah orang kaya, ini merupakan kesempatan, untuk misalnya memperoleh pekerjaan atau bahkan tempat tinggal.“

Kesimpulan ini mungkin juga berlaku bagi kota Lagos, Nigeria, di mana misa akbar kerap digelar, dihadiri ratusan ribu orang dan bahkan kadang lebih dari satu juta umat. Johannes Ismaiel-Wendt dari Global Prayers yang pernah menyaksikan misa akbar ini menganggapnya sebagai pengalaman yang spektakuler. “Jalannya misa di gereja dapat di dengar di seluruh kota. Haleluyah yang diteriakkan satu juta umat membuat kita merinding. Sangat menakjubkan!“

Atas Nama Tuhan

Megaphon mit Aufschrift "Jesus will come soon"
Dengan megaphone pendeta sampaikan pesan misa di jalanan kota LagosFoto: Stephan Lanz

Misa-misa di Gereja Pantekosta di Lagos juga dimeriahkan dengan tampilnya Protek. Penyanyi rap gospel yang juga hadir dalam konferensi ini mengatakan ia berutang budi pada gereja dan ingin membalasnya dengan memberikan sesuatu kepada orang lain. “Kami mengurus anak yatim piatu, membawa mereka ke gereja dan memberikan pendidikan dan pelatihan.“ Dan rekan penyanyi rap lainnya, Special Agent Snypa, menambahkan, “Pendeta selalu mengatakan: semua yang kamu perlukan dalam hidup terkandung dalam firman Tuhan. Karenanya apa yang pertama kami ajarkan kepada anak-anak adalah firman Tuhan. Dan kami pastikan bahwa mereka bersih dan kami kirim mereka ke sekolah. Kami memberi mereka makan dan tempat bernaung.“

Gereja-gereja Pantekosta semakin kuat. Gereja yang mulai tumbuh di Amerika Serikat pada awal abad ke 20 ini, terutama semakin berkembang di Afrika dan Amerika Selatan. Di wilayah ini, Gereja Pantekosta membangun sekolah, rumah sakit dan universitas. Mereka membangun wilayah dengan struktur seperti perkotaan; kompleks perumahan, dengan sistem pembangkit listrik dan juga sistem pembuangan sampah sendiri. Fasilitas yang kerap gagal dipenuhi pemerintahan negara-negara berekembang. Seringkali mereka menjadi motor penegakkan moralitas seksual – terutama dalam menentang homoseksualitas, seks di luar nikah dan penggunaan kondom. Juga menempatkan diri dalam posisi radikal lain, seperti menolak teori evolusi.

Integrasi lewat Keterbukaan

Namun kecenderungan fundamentalistis ini tidak saja terjadi di Afrika atau Amerika Selatan. Nazer Al Sayyad mencontohkan kesuksesan Rick Santorum, yang disebut sebagai Yesus nya Partai Republik, dalam persaingan menjadi kandidat presiden. Menurut Nazer, fundamentalis keagamaan mempunyai ciri-ciri umum yang sama: selain moralitas seksual yang dianggap kaku, juga tata cara berpakaian yang keras dan dibatasinya hak perempuan. Nazer mencontohkan satu peristiwa yang terjadi di Beit Shemesh, Israel. Beberapa waktu lalu, seorang gadis diludahi warga dan seorang perempuan dilempari batu, karena dianggap tidak berpakaian semestinya.

Israel ultraorthodoxe Juden
Umat Yahudi Ortodok di Beit Shemesh dengan plakat bertuliskan "perempuan diminta untu tidak diam berlama-lama di daerah ini"Foto: dapd

Apakah dunia kini benar-benar menuju ke arah "Fundamentalist City"? Apakah kehidupan sekuler dalam ancaman? Menurut antropolog budaya Schiffauer, terdapat satu peningkatan penting keagamaan, setidaknya di Jerman. “Secara global, ini merupakan satu pengecualian, juga jika dibandingkan di Amerika Serikat. Saya memang melihat adanya gaung keagamaan yang kuat tapi ini juga diiringi dengan perkembangan dinamis dalam kelompok agama.” Menurut Schiffauer peningkatan ini juga terlihat di kalangan umat Muslim Jerman, yang membuka diri dan terjun dalam kehidupan sosial di lingkungan mereka. “Ini hal yang menggembirakan. Ini berarti adanya kesediaan untuk keluar dari tempurung mereka. Saya melihat terjadinya proses integrasi ke dalam masyarakat.“