1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Mendidik Anak di Jerman?

13 Maret 2012

Luka memar diperlukan setiap anak. Tapi ini tidak seharusnya diakibatkan oleh cara orang tua mendidik, namun hasil petualangan anak-anak sendiri.

https://p.dw.com/p/14Jp7
Foto: Picture-Alliance/dpa

50 tahun lalu masih merupakan hal yang lumrah di Jerman: anak-anak mendapat pukulan di pantat mereka, dengan tangan atau bahkan dengan sabuk kulit. Hal ini dianggap sebagai metode pendidikan agar anak-anak patuh dan mengenal disiplin. Kini semuanya berubah, walaupun tidak sepenuhnya dalam semua keluarga. Bahkan saat ini, empat dari 10 orang tua masih menghukum anak-anak mereka dengan dengan tamparan di pantat, 10 persen pernah menampar pipi anak dan 4 persen memukul pantat anak.

Angka-angka merupakan hasil jajak pendapat yang dikeluarkan, Senin (12/03), oleh institut riset Forsa. Orang tua zaman sekarang memiliki alasan lain untuk menghukum anak mereka dengan ‘kekerasan', dikatakan Oliver Steinbach dari majalah Eltern yang berpartisipasi dalam survey. “Banyak dari orang tua seperti itu merasa kewalahan dan bertindak dengan melakukan reaksi spontan, jika anak bertingkah kasar atau agresif. Orang tua menyesal setelah menampar anak.” Ini juga ditunjukkan dari posting-posting yang ditulis user internet di portal internet majalah keluarga Eltern, ditambahkan pimpinan redaksi Marie-Luise Lewicki. Seringkali tertulis, bahwa orang tua yang memukul anak mereka, merasa malu dan beralasan bahwa mereka melakukan tindakan kasar ini karena tekanan tinggi di tempat kerja mereka.

Hukum Ubah Metode Pendidikan

Hukuman fisik digolongkan kebanyakan orang tua, yang dikutsertakan dalam survey Forsa, sebagai tindakan yang rendah, "Hukuman fisik jelas ditinggalkan,“ dikatakan Marie-Luis Lewicki. Ini juga dapat dilihat dari perbandingan hasil studi yang dilakukan tahun 2006.

Di negara-negara industri barat dan juga di Afrika atau Cina, para orang tua makin jauh meninggalkan kekerasan dalam mendidik anak mereka. Ini terjadi, selain karena tingkat pendidikan mereka yang lebih tinggi, juga karena adanya hukum yang dikeluarkan pemerintah yang melarang kekerasan terhadap anak. Di Jerman, hukum yang mengatur hal ini dikeluarkan pada tahun 2000. Di tatanan internasional, Jerman berada di urutan tengah, dikatakan Oliver Steinbach. Swedia menjadi negara terdepan dalam hukum perlindungan anak. Swedia telah mengeluarkan hukum anti kekerasan terhadap anak pada tahun 1979 dan negara ini memiliki angka kekerasan terendah.

Anak Sekarang Lebih Kritis

Studie Wie geht es Deutschlands Kinder
Dari kiri ke kanan, Axel Dammler, Marie-Luise Lewicki, Manfred Güllner (Forsa-Institut) dan Oliver SteinbachFoto: dapd

Pararel dengan jajak pendapat Forsa, satu hasil studi lain juga dipublikasikan di Berlin. Majalah Eltern ingin mengetahui, apa yang anak zaman sekarang pikirkan, rasakan dan harapkan. Riset digelar oleh lembaga Iconkids & Youth ini mengikutsertakan sekitar 700 anak usia antara 6 sampai 12 tahun.

“Anak-anak terlahir optimis, tapi pandangan mereka  menjadi kritis sejalan pertumbuhan mereka,” Axel Dammler menyimpulkan hasil studi yang dilakukan lembaganya. “71 persen anak mengatakan, banyak orang dewasa yang tidak menyukai anak-anak dan merasa terganggu oleh anak-anak. Dan 68 persen menanggap, bahwa para politisi tidak pernah menepati janji mereka untuk membantu masyarakat. “Anak-anak sekarang tahu lebih banyak apa yang terjadi di dunia,” dikatakan Axel Dammler. “Dan dalam banyak hal mereka merasa dikesampingkan atau ditingalkan sendirian.”

Luka Memar untuk Percaya Diri

Hasil mencengangkan juga didapatkan: 60 persen anak mengidam-idamkan menjadi orang dewasa. "Ini juga merupakan akibat dari perlindungan yang berlebihan,“ dikatakan Dammler.

Apa yang dulu dianggap biasa, misalnya pergi ke sekolah sendiri, jatuh dari sepeda atau pohon, pulang ke rumah dengan luka memar, bermain dengan gaduh bersama anak lain atau berteriak-teriak, kini dilarang para orang tua yang terlalu ketat menjaga anak mereka. Sehingga anak-anak merasa otonominya terampas dan mereka berharap untuk menjadi dewasa lebih cepat.

Anak di Timur Jerman Lebih Optimis

"Kedua hasil studi tidak menunjukkan adanya perbedaan mendasar antara anak anak dari keluarga kelas pekerja atau dari keluarga akademisi,“ dikatakan pemimpin redaksi Eltern, Marie-Luise Lewicki. Perbedaan yang signifikan dapat terlihat berdasarkan dari wilayah mana anak berasal. Walaupun Jerman 22 tahun lamanya telah bersatu kembali, anak-anak di timur Jerman berbeda dengan anak di wilayah barat.  Anak-anak dengan orang tua dari bekas Jerman Timur dianggap lebih optimis dan mampu menilai keadaan serta kemampuan mereka dengan lebih baik.

"Hal ini mungkin dikarenakan adanya sekolah yang dibuka sehari penuh, yang lebih banyak terdapat di timur,“ dikatakan Lewicki. "Anak-anak jadinya bisa belajar lebih banyak untuk mengurus diri sendiri, melatih kemampuan bersosialisasi dan persepsi diri. Kebebasan lebih besar yang diberikan orang tua dapat membuat kepercayaan diri anak lebih tinggi, juga dikatakan Axel Dammler.

Secara keseluruhan, menurut hasil studi, anak-anak di Jerman merasa puas dengan orang tua mereka. Ditanya siapa orang tua yang terbaik, 91 persen anak menganggap, orangtua merekalah yang terbaik.

Kay-Alexander Scholz/Yuniman Farid

Editor: Vidi Legowo-Zipperer