1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bahan Bakar Masa Depan

Fabian Schmidt23 Januari 2013

Bensin dan diesel masih merupakan bahan bakar kendaraan paling banyak digunakan saat ini. Tapi juga semakin banyak bahan bakar alternatif yang berasal dari tanaman serta berbagai jenis gas.

https://p.dw.com/p/17Q14
Foto: dapd

Bahan bakar hayati selama ini dianggap ramah iklim. Karena pembakarannya hanya mengeluarkan emisi karbon dioksida setara yang diserap selama pertumbuhan. Tapi neraca ini sebenarnya menipu.

Pasalnya untuk memproduksi biomassa secara industrial, para pemilik lahan dan petani menggunakan pupuk dalam jumlah besar. Sementara untuk memproduksi pupuk, juga dibutuhkan energi amat besar, yang kebanyakan berasal dari bahan bakar fosil.

Penelitian yang dilakukan Max-Planck-Insitut untuk Kimia di kota Mainz Jerman, menyebutkan, bahan bakar hayati atau bahan bakar bio, dapat menghasilkan lebih banyak emisi yang merusak iklim dibandingkan bahan bakar fosil murni.

Karena itu Uni Eropa menuntut agar produsen bahan bakar hayati setidaknya membuktikan pengurangan emisi sebesar 35 persen, Hal itu juga hanya berlaku, jika bahan bakar bio bersangkutan dan tidak berasal dari kawasan pembalakan hutan atau rawa yang dikeringkan.

Biodiesel atau bioetanol

Bahan bakar hayati atau biofuel terutama diperoleh dari biji rapa, jagung atau tebu. jadi dari tanaman bahan pangan. Minyak rapa biasanya digunakan sebagai minyak goreng atau sebagai minyak dressing selada.

Tapi minyak dari tanaman sejenis bunga matahari ini, sekarang makin sering digunakan sebagai bahan bakar motor diesel yang dimodifikasi. Masalahnya jika kekentalannya terlalu tinggi, minyak dari biji rapa juga dapat merusak mesin diesel.

Itu terjadi jika minyak biji rapa diproduksi sendiri oleh petani petani. Solusinya adalah biodiesel yang diproduksi dari tanaman yang sama secara industrial di pabrik berteknologi canggih.

Pilihan lain, untuk mesin bakar konvensional tipe Otto yang kita knal sebagai motor bensin, kendaraan bisa memanfaatkan bioetanol. Biasanya dibuat dari tanaman tebu yang lazimnya diproses menjadi gula. Pembuatannya lewat fermentasi dan distilasi.

Di banyak negara, sebagai kompromsi etanol ini dicampurkan dengan bensin. Di Jerman bensin campuran dengan 10 persen bioetanol disebut "Super E10" dan sudah ada di pasaran sejak 2008. Namun para penggunanya banyak yang mengeluh, karena etanol yang merupakan keluarga alkohol ini merusak komponen mesin yang terbuat dari campuran karet atau plastik.

Sejauh ini ada dua negara yang paling banyak menggunakan etanol yakni Brasil dan Amerika Serikat. Keduanya memproduksi 88% dari seluruh volume bahan bakar etanol yang diproduksi di dunia. Sementara di Indonesia, bioetanol baru dalam tahap uji coba.

Ganggang dan Kayu

Ganggang yang secara alami juga menghasilkan minyak juga bisa digunakan sebagai biofuel. Keunggulannya, budidaya ganggang tidak membutuhkan lahan seluas tanaman rapa atau jagung.

Jadi areal budidaya ganggang tidak bersaing dengan lahan tanaman bahan pangan. Karena ganggang memproduksi minyak dalam volume cukup besar, tanaman ini juga ideal untuk menghasilkan kerosin yang merupakan bahan bakar pesawat terbang. Selama ini, biokerosin dibuat dari minyak biji rapa, minyak kelapa sawit atau minyak dari tanaman jarak pagar.

Para peneliti saat ini juga tengah menjajaki kemungkinan memproduksi bioetanol dari kayu atau jerami. Masalahnya, dibutuhkan enzim khusus untuk mengubah serat kayu menjadi jenis gula yang lebih mudah diurai dan difermentasi. Hingga kini teknologi semacam itu belum siap untuk dipasarkan.

Berkendaraan dengan Gas

Kini pom bensin bagi mobil dengan bahan bakar gas (LPG) mudah ditemukan di banyak negara. Khususnya perusahaan pengelola bus kota makin banyak mengunakannya, karena harga gas tetap murah di saat harga bensin dan diesel mengalami kenaikan. Lagipula emisi dari pembakarannya lebih sedikit dibanding bensin.

Gas bumi tidak harus berasal dari fossil tapi juga bisa diperoleh dari biomassa. Sisa sampah organik membusuk, maka akan tercipta biogas dengan kandungan gas methan yang cukup tinggi. Tempat pembuangan sampah yang sudah ditutup juga masih memproduksi biogas setelah puluhan tahun. Ini karena bakteri menguraikan sampah organik tersebut.

Truk dengan mesin khusus sudah bisa menggunakan bahan bakar biogas. Supaya mobil biasa juga bisa menggunakannya, biogas harus dikonversi menjadi biomethan yang lebih "murni". Biomethan juga lebih unggul dari biodiesel atau bioetanol karena hanya sepertiga lahan pertanian yang dibutuhkan oleh biomethan untuk menghasilkan jumlah energi yang sama.

Boom Bahan Bakar Fossil

Tapi tidak hanya bahan bakar hayati yang semakin menguasai pasar. Bahan bakar fossil juga seperti mengalami kebangkitan lagi dalam beberapa tahun terakhir. Lewat metode baru penambangan bahan bakar fosil seperti teknologi hidrolika patahan atau fracking, semakin banyak perusahaan yang mendirikan pertambangan baru.

Khususnya di Kanada, AS dan Estonia, dunia industri berharap banyak pada lokasi penambangan baru. Aktivis lingkungan mengkritik fracking, karena gas diuraikan dari dalam batuan dengan menggunakan air, pasir dan bahan kimia yang diinjeksikan dengan tekanan yang sangat tinggi.

Tren baru ini sepertinya tidak bisa dihentikan lagi. AS kemungkinan bisa mengalahkan Arab Saudi dan menempati posisi pertama produsen bahan bakar fosil di seluruh dunia.