1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

111111 Iranisch-deutsches Theater

21 November 2011

Jarang sekali dinas rahasia Iran tertarik pada program teater di Jerman. Namun beberapa intel Iran mendatangi Theater Krefeld-Mönchengladbach. Alasannya adalah sebuah produksi teater berjudul Bahman-Bagdad.

https://p.dw.com/p/13DEy
.
Foto: Matthias Stutte

Bahman dan Bagdad adalah dua merek rokok, yang satu dari Iran dan yang satu lagi dari Irak. Dua negara yang pernah berperang satu sama lain selama delapan tahun yang panjang, dan menyebabkan banyak korban jatuh.

Dua orang penulis Iran, menulis drama teater mengenainya, menyoroti nasib para korban perang tersebut. Perang itu sendiri berlangsung lebih dari 20 tahun silam. Namun hingga kini dampaknya terhadap masyarakat masih terasa.

Lari dari Kekerasan

.
Foto: Matthias Stutte

"Tiba-tiba saya melihat di ujung galian itu ada yang bergerak. Saya mengangkat Kalaschnikow dan berteriak, hey, siapa kamu? Ia mengangkat tangan sambil berseru: La! La! Ya. Ternyata ia orang Irak! La itu artinya tidak, dalam bahasa mereka." "Betulkah?", tanya Yalda. "Iya betul. Mungkin ia tadi membungkuk untuk mengambil rokok. Puntung yang saya buang tadi, mereknya Bagdad“, begitu cerita si tokoh utama, seorang pemuda belia.

Apakah ini dampak trauma peperangan atau bualan seorang pahlawan? Sulit membedakan apa yang diceritakan pemuda itu kepada perempuan pujaannya.

Yalda, perempuan pujaannya itu, sebenarnya bersembunyi di apartemen seorang sahabat untuk menghindar dari kekerasan yang dilakukan suaminya. Tapi tampaknya bukan rasa damai yang ia temukan, melainkan kunjungan-kunjungan panjang dari pemuda belia itu.

Ketus, Yalda berusaha mengusirnya, "Saya datang ke sini agar bisa tenang. Agar bisa tidur siang, atau bila ingin bermain piano sepanjang malam! Siapa yang mengijinkan kau untuk menerobos masuk dalam kehidupanku."

Namun rasa terganggu akhirnya berubah menjadi rasa ingin tahu. Yalda yang awalnya menikmati ketentraman, mulai menari-nari saat sendiri, mencoba alkohol hingga sedikit mabuk. Lambat laun dengan tersendat, lahir sebuah kisah cinta antara dia dan si pemuda. Bahkan sekali, jari tangan keduanya sekejap bersentuhan.

Menutupi Kenyataan

Trauma kekerasan menghambat terbangunnya kepercayaan antara si pemuda dan perempuan setengah baya, yang sebenarnya ingin lari dari negara itu.

Theaterstück Bahman Bagdad am Theater Krefeld-Mönchengladbach
Shabnam ToloueiFoto: Matthias Stutte

Sementara si pemuda berusaha menutupi epilepsi yang diidapnya dengan kisah-kisah dari masa perang. Keduanya berbohong, juga pada diri sendiri.

Sutradara dan penulis lakon ini, Shabnam Tolouei menjelaskan, "Menurut saya, setiap orang atau masyarakat yang pernah mengalami represi akan berusaha untuk menutupi sebagian identitasnya dan realita hidup yang dihadapinya", begitu ungkapnya.

Menjadikan Perang sebagai Lelucon?

Delapan tahun lalu, Tolouei mencoba mementaskan karya ini di Teheran. Namun menjelang malam perdana, pementasan karya ini dilarang pemerintah, tanpa alasan yang jelas.

Kenyataan ini membuka peluang dugaan bagi banyak pihak, termasuk Shabnam Tolouei, "Saya pernah mendengar, bahwa alasan larangannya adalah karena karya ini bersikap anti perang, dan membuat perang Iran-Irak sebagai bahan tertawaan. Juga bahwa nilai-nilai yang mereka anggap penting, jutsru dijadikan lelucon. Tapi itu tidak benar! Memang, ini karya yang anti perang, tapi tidak menertawakan nilai hidup siapapun."

Sebaliknya, Tolouie berusaha menggambarkan sebuah masyarakat yang terluka, yang hanya berani hidup di dalam ruang pribadi, di balik pintu yang melindungi kedua tokohnya dari serangan dan kekerasan di ruang publik.

Mencari Kebebasan

Theaterstück Bahman Bagdad am Theater Krefeld-Mönchengladbach
Foto: Matthias Stutte

Kedua tokoh utama menjaga keras mimpi mereka untuk bisa hidup bebas. Si perempuan dengan menghindari ancaman dan si pemuda dengan menantang risiko dalam hubungan mereka.

Bagi Shabnam Tolouei, ancaman itu telah dirasakannya secara langsung. Di Iran, pemerintah menjatuhkan larangan bekerja kepada dia. Karena itu, ia melarikan diri dan sejak 2004 menetap di Paris.

"Saya tidak boleh bekerja lagi, karena saya bukan Muslimin, melainkan pemeluk agama Baha'i. Untuk mendapatkan ijin kerja, saya harus menjadi Muslim. Saya tidak menentang Islam, dan juga tidak memusuhi kaum Muslim. Tapi kenapa saya harus mengubah agama? Agama adalah hal yang sangat pribadi. Karena tidak bisa bekerja di mana-mana, saya tak punya pilihan lain!"

Karya Tolouei, Bahman-Bagdad, bukan karya yang mudah dicerna bagi publik Jerman. Masyarakat Iran yang ditampilkan tidak seperti gambaran klise Barat tentang perempuan tertindas dan mullah-mullah kejam. Meskipun ia juga tak menutupi, bahwa di Iran banyak orang tidak bisa hidup normal dan banyak pula yang hidup dalam penjara.

Aya Bach /Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk