1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bahrain dan Yaman Terus Memanas

18 Februari 2011

Pergolakan di Tunisia dan Mesir menjalar ke negara-negara Arab lainnya. Polisi bentrok dengan demonstran di Bahrain dan Yaman. Korban tewas terus bertambah dan unjuk rasa yang lebih besar digelar usai salat Jumat (18/2).

https://p.dw.com/p/10JWS
Upacara pemakaman korban tewas dalam aksi demonstrasi di BahrainFoto: dapd

Warga Syiah di Bahrain memakamkan para korban kekerasan polisi terhadap pengunjuk rasa anti-rezim. Militer dengan tank dan tentaranya terus berjaga-jaga di berbagai penjuru ibukota Manama hari Jumat (18/02). Sekitar seribu warga berkumpul di sekitar masjid di Sitra, selatan Manama. Warga menutupi jasad Ali Mansour Khudeir dan Mahmoud Abu Taki dengan bendera Bahrain. Mereka meneriakkan slogan persatuan antara Syiah dan Sunni. Syiah merupakan mayoritas di bawah kekuasaan dinasti al-Khalifa yang Sunni. Warga juga meneriakkan "Gulingkan rezim". Slogan anti-rezim yang digunakan di negara-negara Arab, terinspirasi oleh pergolakan di Tunisia dan Mesir.

Pemerintah melaporkan, tiga orang tewas akibat serangan di Lapangan Mutiara hari Kamis (17/02), namun oposisi menyebutkan empat warga tewas. Lebih dari 230 orang terluka, dan puluhan lainnya ditangkap. Pemimpin kelompok oposisi dari partai Syiah al-Wefak, Abed al Jalil Khalil, mengatakan, "Banyak cara untuk menghindari konfrontasi dan pembunuhan. Siapapun yang memerintahkan jelas ingin membunuh."

Pengunjuk rasa berkemah di Lapangan Mutiara sejak hari Selasa (15/02) setelah dua orang demonstran tewas pekan sebelumnya. Kekerasan polisi menjadi yang terparah dalam beberapa dekade terakhir, menunjukkan kepanikan yang dirasakan keluarga kerajaan al-Khalifa. Sekjen PBB Ban Ki Moon menyatakan prihatin. "Kekerasan tidak boleh digunakan terhadap pengunjuk rasa damai dan wartawan. Harus dihentikan! Dan semua yang bertanggung jawab harus diadili. Saya mengimbau berbagai pihak untuk menahan diri. PBB telah mendesak para pemimpin di wilayah Arab untuk mendengarkan warga dan merespon aspirasi mereka," serunya.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton mendesak pemerintah monarki Bahrain untuk menahan diri. Namun Menlu Bahrain mengatakan aksi polisi diperlukan karena negaranya tengah berada di ambang konflik sektarian. Bahrain sebagai sekutu Amerika Serikat dan Arab Saudi menjadi semacam benteng kedua negara terhadap kaum Syiah Iran. Arab Saudi khawatir konflik akan menjalar ke komunitas Syiah di negara mereka.

Kerusuhan yang menggulingkan pemimpin di Mesir dan Tunisia juga meluas ke negara-negara Arab lainnya. Di kota pelabuhan Aden di Yaman, bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa anti-rezim menewaskan 3 orang dan melukai 19 lainnya. Unjuk rasa yang lebih besar digelar usai salat Jumat di ibukota Sana'a.

Polisi menembaki ribuan demonstran yang turun ke jalanan di Aden hari Kamis (17/02). Para demonstran menuntut pengunduran diri Presiden Ali Abdullah Saleh yang telah berkuasa selama 32 tahun. Pengunjuk rasa merusak toko, membakar ban dan memblokade jalan. Total korban tewas sejak kerusuhan dimulai di Yaman mencapai lima orang. Sementara, unjuk rasa berdarah di Sana'a telah memasuki hari ke tujuh.

Mengomentari perkembangan di wilayah Arab yang terus memanas, pengamat bidang keamanan, Walid Walaji, mengatakan, "Pengunjuk rasa belajar dari pengalaman negara-negara lain. Sekarang rezim juga belajar dari pengalaman Tunisia dan Mesir, sehingga mengambil tindakan lebih dulu. Wilayah Arab tengah mengalami rangkaian kejadian dengan konsekuensi yang belum diketahui namun berdampak internasional."

Carissa Paramita/rtr/afp

Editor: Hendra Pasuhuk