1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
MigrasiJerman

Bangkitnya AfD di Jerman Hambat Kedatangan Pekerja Terampil

Ben Knight
7 Juli 2023

Jerman sangat ingin menarik lebih banyak imigran untuk meningkatkan jumlah tenaga kerja. Namun rasisme dalam masyarakat Jerman dan kebangkitan ultra kanan AfD mempersulit hal ini.

https://p.dw.com/p/4TaGR
Ilustrasi pekerja migran terampil di Jerman
Jerman perlu menarik puluhan ribu pekerja terampil setiap tahunFoto: Rupert Oberhäuser/picture alliance

Pemerintah Jerman saat ini tengah menangani dua tantangan paling mendesak, dan keduanya ternyata saling berhubungan: pertumbuhan partai ultra kanan dan penurunan jumlah penduduk yang berlangsung dalam jangka panjang.

Tantangan pertama tumbuh lebih cepat: Alternatif untuk Jerman (AfD), partai antiimigrasi berhaluan kanan, saat ini merupakan kekuatan politik terbesar di beberapa negara bagian di Jerman bagian timur dan populismenya menjangkau para pemilih pemula.

Tantangan kedua bersifat jangka panjang, dan menurut para ekonom, hal itu dapat mengancam kemakmuran Jerman. Kesenjangan demografis dalam hal tenaga kerja, menurut para pemimpin bisnis, bisa diselesaikan dengan lebih banyak imigrasi.

Pemerintah Jerman baru-baru ini memperkenalkan undang-undang untuk meringankan rintangan birokrasi dalam melamar pekerjaan di Jerman. Namun suasana politik lebih sulit dikendalikan. Menteri Keuangan Jerman, Christian Lindner, menyimpulkan masalah tersebut awal pekan ini.

"Risiko lokasi bisnis terbesar untuk Jerman timur adalah AfD," kata Lindner dalam sebuah acara di wilayah Jerman timur. "Sebuah partai yang ingin menutup negara dan melayani pandangan klise xenofobia adalah butiran pasir di roda perekonomian."

Berita ekstrem kanan Jerman jadi headline di India

Fakta bahwa rasisme adalah masalah di Jerman memang sulit dibantah. Sebuah laporan yang terbit pada bulan lalu dan dipesan oleh pemerintah tentang islamofobia, menyimpulkan bahwa rasisme anti-Muslim "tersebar ke seluruh lapisan masyarakat yang luas dan adalah realitas sehari-hari."

Masih belum jelas sejauh mana kekhawatiran tersebut membuat orang enggan pindah ke Jerman. Ulrich Kober, direktur program Demokrasi dan Kohesi Sosial di wadah pemikir Bertelsmann Foundation, yakin bahwa peringatan Lindner ada benarnya. Meski demikian ia menegaskan bahwa: "Kami tahu dari penelitian bahwa keputusan untuk bermigrasi sangatlah kompleks," katanya kepada DW. "Tidak pernah hanya ada satu faktor: Orang punya prioritas berbeda saat memilih tempat untuk bermigrasi."

Kober mencatat bahwa berita tentang Islamofobia, keberhasilan dan skandal AfD berhasil masuk ke media luar negeri, termasuk Times of India. "Saat kelompok sayap kanan sedang naik daun di Jerman, atau politisi sayap kanan memenangkan jabatan, itu menjadi berita di luar negeri," ujar Kober kepada DW. "Orang-orang menyadari apa yang terjadi di Jerman." 

Hal itu juga disadari oleh Shivam Mehrotra, manajer di suatu perusahaan di bidang teknologi informasi dari India yang telah bekerja selama 5 tahun sebuah perusahaan di Brandenburg (salah satu negara bagian tempat AfD saat ini memimpin dalam jajak pendapat). Mehrotra, yang juga memberikan saran kepada imigran lain tentang cara menavigasi birokrasi Jerman, mengatakan orang India yang berpikir untuk pindah ke luar negeri akan memperhatikan berita-berita macam itu.

"Saya tidak berpikir itu akan menjadi faktor penentu dalam memutuskan apakah akan pindah atau tidak ke Jerman, tetapi arah pergerakan negara akan menjadi pertimbangan," kata Mehrotra kepada DW.

Mehrotra mengatakan dia secara pribadi tidak mengalami banyak rasisme selama berada di Jerman, tetapi kebangkitan populisme sayap kanan benar-benar mengganggunya. "Itu berdampak kepada saya," kata pria berusia 33 tahun itu.

"Ini memecah-belah, di mana pun di dunia, tetapi terutama di Jerman, yang saya sebut negara saya sekarang. Saya ingin percaya bahwa Jerman menghargai nilai-nilai kesetaraan dan keberagaman."

Peluang berkarir dan kualitas hidup

Sejumlah lembaga, mulai dari think tank yang didanai bisnis seperti Bertelsmann Foundation hingga ke organisasi internasional seperti Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), melakukan penelitian rutin tentang apa yang membuat sebuah negara menarik, dan bagi siapa negara itu menarik.

Lembaga-lembaga tersebut menemukan bahwa faktor yang paling penting adalah potensi pendapatan, prospek profesional, dan kualitas hidup. Dalam semua hal itu, kata Kober, posisi Jerman cukup baik. Namun tentu saja bersaing dengan negara kaya lainnya yang membutuhkan tenaga kerja baru. Negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Inggris memiliki keunggulan karena sebagian besar penduduk dunia berbicara bahasa Inggris. 

Sebuah survei oleh OECD yang dirilis 2022 bertanya kepada pekerja terampil dari seluruh dunia apa yang mereka lihat sebagai hambatan terbesar untuk datang ke Jerman. Sekitar 38% menyebutkan kurangnya keterampilan bahasa Jerman, sementara hanya sekitar 18% menyebutkan kekhawatiran tentang diskriminasi dan rasisme.

"Itu memang berperan, tetapi Anda perlu memasukkannya ke dalam konteks faktor lain yang lebih besar," kata Kober. "Saya pikir itu juga karena fakta bahwa kebanyakan orang tahu bahwa tidak ada masyarakat di mana pun yang bebas dari rasisme."

"Negara-negara lain, negara-negara tujuan klasik imigrasi Anglo-Saxon, telah mengembangkan budaya keterbukaan, dan itu masih kurang di banyak tempat di Jerman," tambahnya. "Dan tentu saja AfD, atau lebih tepatnya, pola pikir yang mengarahkan orang untuk memilih AfD, tidak mewakili budaya keterbukaan."

Shivam Mehrotra mengatakan bahwa, bagi dia dan istrinya, ada dua hal yang membuat mereka memutuskan hidup di Jerman. "Salah satunya adalah cara manusiawi dan ekonomis Jerman dalam mengelola COVID. Itu luar biasa. Dan hal lain yang benar-benar menggerakkan kami adalah etika yang menjadi bagian dari negara ini. Saya berasal dari negara yang merupakan koloni Inggris, dan jika Anda melihat penelitian, orang-orang dari generasi kami di Inggris masih percaya bahwa penjajahan adalah hal yang baik. Sementara di Jerman di sekolah-sekolah, anak-anak diajarkan tentang sejarah Nazi. Benar-benar menerima masa lalu adalah hal yang etis. Itu membuat saya benar-benar terhubung dengan Jerman."

(ae/hp)