1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bangsa Kuli, Mental Inlander?

Sumanto al Qurtuby22 Agustus 2016

Apa ada yang salah dengan “menjadi Barat “ atau “menjadi Arab”? Menjadi intelek tidak harus menjadi Barat dan menjadi alim-saleh tidak perlu menjadi Arab. Berikut opini Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/1JjZb
Berliner Fashion Week - Sadak
Foto: picture-alliance/dpa/S. Stache

Sudah tidak terhitung lagi berapa kali Presiden Soekarno atau Bung Karno, sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, dalam berbagai pidatonya yang khas menggelegar dan bergemuruh mengingatkan agar bangsa Indonesia jangan mau menjadi “bangsa kuli” dan menjadi kuli bangsa-bangsa lain (a nation of coolies and a coolie amongst nations).

Kini, sudah lebih dari tujuh puluh tahun Indonesia merdeka sejak Sang Proklamator berpidato berapi-api pada 17 Agustus 1945. Tetapi apa lacur, sampai setua ini, Bangsa Indonesia masih menjadi “bangsa kuli” dan “bermental inlander”. Bangsa yang hanya bisa “menyusu” kepada bangsa-bangsa lain. Bangsa yang hanya bisa membeo dan membebek terhadap bangsa-bangsa lain—baik “bangsa Barat” maupun “bangsa Timur”. Inikah “kutukan Bung Karno?”

Entahlah saya tidak tahu. Yang jelas hingga dewasa ini, bangsa yang yang sangat kaya raya dengan sumber alam yang melimpah-ruah, dengan warisan tradisi dan budaya leluhur yang beraneka ragam, dan dengan peninggalan sejarah yang menggunung dan “meng-samudra” ini belum juga mampu “naik kelas” menjadi “bangsa majikan”.

Mengidolakan bangsa lain

Alih-alih beranjak menjadi “bangsa majikan”, bangsa ini ironisnya malah bangga menyandang status sebagai “bangsa kuli” yang membanggakan dan mengidolakan bangsa-bangsa lain, sekaligus merendahkan martabat, sejarah, budaya, tradisi, bahasa, dan bangsanya sendiri. Lihatlah bagaimana tingkah-polah para anak-bangsa Indonesia yang merasa gagah-perkasa menjadi “kuli” bangsa-bangsa lain itu.

Saudi Arabien Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby.Foto: S. al Qurtuby

Satu sisi, ada segolongan masyarakat kita yang merasa gagah-perkasa “menjadi Barat” dengan membanggakan dan mengagung-agungkan sistem politiknya, struktur masyarakatnya, sistem budayanya, perekonomiannya, pendidikannya, tata-busananya, bahasanya, cara menyapa dan berkomunikasinya, dan sebagainya.

Sementara itu di sisi lain, ada sekelompok masyarakat yang juga tidak kalah fanatiknya dalam “mendewakan” Arab dan Timur Tengah. Para “Arab mania” ini, sebagaimana para “pecinta Barat”, juga cinta mati dengan hal-ikhwal yang berkaitan dengan dunia Arab: budayanya, bahasanya, busananya dan seterusnya.

Jika para “Barat lovers” merasa diri lebih intelek kalau sudah meniru-niru Barat, maka para “Arab cheerleaders” merasa diri lebih agamis, lebih alim, dan lebih Islami kalau sudah bergaya dan “berdandan” ala Arab. Para fans Arab ini selalu mengklaim apa yang mereka lakukan itu sebagai “nyunah Nabi” (yakni mengikuti praktek kehidupan keseharian Nabi Muhammad) meskipun pada praktekknya sebetulnya mereka itu mengikuti “sunah Arab”.

Bahkan memuja diktator

Ada lagi sekelompok masyarakat yang begitu mengelu-elukan Turki, lebih khusus lagi Recep Tayyip Erdogan: sang presiden diktator yang gila jabatan sekaligus bekas Perdana Menteri Turki dan walikota Istanbul. Bahkan ada pula yang gandrung (“cinta buta”) dengan budaya Korea Selatan misalnya “gaya joget” Gangnam, sebuah senam model K-pop ciptaan Psy (Park Jae-sang), seorang penyanyi, penulis lagu sekaligus produser, yang hitsnya sempat meledak di Indonesia.

Contoh lain lagi sebagai bukti kalau bangsa ini tidak lebih sebagai “kelas jongos” bangsa-bangsa lain misalnya dengan pendirian berbagai ormas keagamaan transnasional di Indonesia seperti Hizbut Tahrir, Jama'ah Tabligh, Ikhwanul Muslimin dan masih banyak lagi. Sebagian lagi rela menjadi “penyambung lidah“ para “ulama asing”.

Mengapa mengkafirsesatkan budaya sendiri?

Apakah ada yang salah dengan “menjadi Barat” atau “menjadi Arab”? Apakah ada yang keliru dengan mengidolakan bangsa-bangsa lain?

Tentu saja tidak ada yang salah. Setiap individu bebas untuk memilih dan menentukan pilihannya. Setiap individu juga memiliki hak untuk “menjadi Barat”, “menjadi Arab” atau menjadi bangsa lain. Masalahnya adalah mereka bukan hanya sekedar mengidolakan Barat atau mengkultuskan Arab tetapi sikap fanatisme mereka terhadap bangsa lain itu diiringi dengan tindakan menafikan dan bahkan merendahkan bangsanya sendiri.

Bahkan tragisnya para pengasong budaya Arab khususnya tidak segan-segan menggunakan idiom-idiom keislaman untuk membid'ahkan dan mengkafir-sesatkan berbagai warisan tradisi dan budaya lokal Indonesia warisan nenek-moyang dan para leluhur bangsa..

Tidak sebatas itu, mereka juga dengan gencarnya mengkampanyekan berbagai “budaya asing” itu di Indonesia. Sebagian kelompok “Arab mania” juga dengan gigihnya merendahkan dan bahkan mengkafir-sesatkan para ulama dan kiyai Indonesia yang begitu alim, sementara pada saat yang bersamaan mereka rela menjadi “budak pemikiran” para ulama Arab

Hargai bangsa sendiri

Padahal, jika kita sedikit cerdas mengamati dan menganalisa, meskipun dengan susah-payah kita berusaha sekuat tenaga “menjadi Barat” atau “menjadi Arab”, mereka—bangsa Arab dan bangsa Barat itu—tidak pernah melirik sedikitpun terhadap Indonesia.

Sepanjang perekonomian Indonesia belum membaik dan sepanjang mentalitas bangsa ini masih bermental inlander, maka selama itu pula bangsa ini akan menjadi obyek bukan subyek, penonton bukan pemain, kuli bukan majikan.

Oleh karena itu ketimbang menjadi “pelayan” Arab (atau Barat), maka kita akan jauh menjadi “makhluk bermartabat” di mata bangsa-bangsa lain, jika kita mengapresiasi produk-produk kebudayaan sendiri dengan tetap menghargai produk-produk kebudayaan asing. Menjadi intelek tidak harus menjadi Barat dan menjadi alim-saleh tidak perlu menjadi Arab.

Penulis:

Sumanto al Qurtuby, Senior Research Scholar, Middle East Institute, National University of Singapore, dan Dosen di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.