1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Beda Itu Indah

5 Desember 2016

Tiap individu berbeda. Ketika satu kelompok dianggap tak menghargai perbedaan, bisa jadi pula pihak yang mengecam itupun bersikap serupa, tanpa disadari. Ikuti opini Andibachtiar berikut ini.

https://p.dw.com/p/2TkhI
Symbolbild Reformen Legosteine
Foto: picture-alliance/dpa

 

"Beda itu indah!' ujar seorang kawan, persis sama dengan slogan-slogan kebersamaan dan sejenisnya yang beredar di banyak media. Juga sesuai dengan rangkaian iklan yang terus membombardir media kita…..entah dalam bentuk sepatu yang kanan dan kiri nya berbeda "Karena walau berbeda kita tetap sama,” atau berbagai orasi kecil para selebriti yang dibuat bagai mozaik oleh sutradara pembuatnya. Perbedaan yang terus diteriakkan di sini, belakangan bagai sebuah komoditi komunikasi yang luar biasa, bahan brand campaign untuk meningkatkan hasil penjualannya.

Kita memang berbeda, jangankan beda etnis atau agama. Bahkan tak ada rasanya manusia yang punya peta gigi atau sidik jari yang sama, tak peduli semirip apa agama, ras, etnis sampai budaya yang dipunyainya. Tak ada manusia yang sama, karena hal yang seragam menjadi sangat membosankan. Beragam membuat kita jadi jauh lebih menarik, apapun lontaran bisa menjadi bahan diskusi, segala pembicaraan bisa berkembang ke berbagai arah dengan perbedaan-perbedaan itu.

Penulis:  Andibachtiar Yusuf
Penulis: Andibachtiar Yusuf Foto: Andibachtiar Yusuf

Indonesia sudah lama punya Bhinneka Tunggal Ika yang dipajang pada lambang negara ini. Setiap anak SD sampai SMA di kala saya masih bercelana pendek merah, paham betul arti kata itu. Generasi sekarang mungkin tak ingat dengan kalimat yang katanya ciptaan Mpu Tantular itu, tetapi dengan kosakata berbeda, generasi sekarang dijelaskan bahwa "kita berbeda tetapi kita adalah satu”.

Lama sekali bangsa ini bangga pada perbedaan. Seolah tak ada lagi negara di dunia ini yang multikultural, multietnis, multiras atau multitheis selain Indonesia. Kemudian hal yang dibanggakan itu pula yang perlahan semakin meledak perlahan. Kelas sosial (saya sebut seperti ini saja untuk memudahkan kategorisasi versi saya) tertentu menyebut mereka yang fanatik sebagai orang-orang yang tidak menghargai perbedaan. Ketika ratusan ribu atau mungkin sedikit lebih dari sejuta orang berkumpul meminta pengadilan untuk Gubernur Basuki T. Purnama, banyak orang meremehkan.

Lantas, siapa yang tidak bisa menghargai perbedaan?

Sebutan bayaran, bodoh, kolot, tidak memahami ayat yang sebenarnya sampai disebut pasukan onta adalah kata-kata yang disematkan oleh orang-orang yang kebetulan banyak darinya adalah kawan saya. Dengan mudah, kami—anggap demikian, karena suka tak suka saya lebih sering nongkrong dengan kawan-kawan ini daripada yang pergi demo—sinis dan nyinyir pada mereka. Berbagai meme disebarkan, komentar sampai kisah-kisah dengan nada melecehkan dilontarkan.

Lalu siapa yang tidak bisa menghargai perbedaan? Apakah mereka yang awalnya hanya tak setuju jika dipimpin oleh penganut agama lain, yang lalu merasa agamanya dihina dan puncaknya turun ke jalan….ataukah kita-kita ini yang sinis pada mereka yang sebenarnya hanya sedang memperjuangkan apa yang mereka percayai.

Saya datang ke demo besar itu dan dengan yakin akan menyebut 4 November 2016 adalah salah satu demo terasik yang pernah saya datangi. Nuansa damai ada besar di sana, keceriaan, ketaatan pada agama, ibadah massal di berbagai titik demo, masjid portable yang menyebar sampai keluarga yang membangun dapur umum ada semua di sana. Saya datang untuk melihat dan merasakan sendiri aksi apa yang sedang terjadi, karena saya keberatan jika hanya bisa berkomentar hanya karena berbagai pemberitaan yang beredar di media atau masyarakat.

Hargailah perbedaan

Mereka hanya membela keyakinannya, banyak yang datang jauh dari Kalimantan, ujung Pulau Jawa, Sumatra bahkan dari Sulawesi. Mereka datang dengan semangat besar memerangi sosok yang dianggap menghina agamanya. Kemudian kita menertawakan aksi mereka, mungkin kita adalah pihak yang benar, karena kita merasa bahwa mereka sangat tidak sekuler dan berpikiran sempit. Tetapi jika kita harus menghina mereka dengan berbagai cara, lalu apa beda kita dengan mereka? Apakah dengan menertawakan mereka kita jadi jauh lebih memahami dan menghargai perbedaan?

Mungkin bangsa Indonesia tak usahlah jauh-jauh bahas perbedaan agama atau etnis dan ras dulu. Diskusi dulu soal memahami perbedaan pilihan presiden atau kini pilihan politis, baru kita bisa bicara soal agama sampai ras.

Penulis:

Andibachtiar Yusuf (ap/yf)

Filmmaker & Traveller

Twitter & IG @andibachtiar

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.