1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Bekas Teroris Rayakan Kemerdekaan RI

17 Agustus 2017

Bekas jihadis yang terlibat dalam serangan bom Bali 2002 membangun sekolah buat merajut damai. Di hari kemerdekaan Indonesia mereka beramai-ramai mengibarkan bendera dan mengucap sumpah setia pada NKRI.

https://p.dw.com/p/2iOpi
Indonesien Unabhängigkeitstag
Suasana upacara kemerdekaan RI di desa Tenggulun, Jawa TimurFoto: Reuters/T. Allard

Limabelas tahun setelah menggeluti dunia teror, Sumarno dan Ali Fauzi kini merajut damai lewat pendidikan. Keduanya membentuk insiatif untuk memerangi terorisme dengan mengajak mantan jihadis dan keluarganya terlibat dalam sekolah Lingkar Perdamaian di desa Tenggulun, Jawa Timur.

Di sekolah itu tiga eks teroris mengibarkan bendera di hari kemerdekaan Indonesia bersama 50 bekas jihadis lain, aparat kepolisian dan TNI. "Ini datang dari lubuk hati yang paling dalam. Acara ini menunjukkan kami ingin menjadi warga negara yang baik," kata Fauzi.

Ia mengakui sejumlah mantan jihadis lain menolak bergabung menghormati bendera. "Masih dalam proses," ujarnya. "Radikalisasi membutuhkan proses, begitu pula dengan deradikalisasi. Mereka belum siap menghadap masyarakat."

Ketika upacara bendera berlangsung di desa Tenggulun, seremoni serupa digelar di Lapas Porong Sidoarjo dengan Umar Patek sebagai pengibar bendera. Terpidana kasus bom Bali itu berinisatif mengajukan diri secara sukarela. "Bukan karena paksaan atau tekanan dari pihak tertentu. Melainkan murni dari keinginan sendiri Umar Patek," kata Kepala Biro Humas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Lilik Bambang kepada Kompas.

Fauzi adalah adik kandung Amrozi dan Ali Imron yang juga terlibat dalam serangan teror di Bali 2002 silam. Dilatih oleh Hambali yang kini mendekam di penjara Guantanamo, ia mengajari Amrozi dan Sumarno tentang cara membuat bom. Sumarno yang akhirnya membawa minibus berisikan bom ke Sari Club dan meledakannya.

"Saya sangat kacau," kisahnya. "Bali adalah tempat yang damai, bukan medan perang."

Fauzi mengaku mulai menyadari kesalahannya ketika bertemu bekas korban bom di hotel J.W. Mariott. "Namanya Max Boon, orang Belanda. Kakinya diamputasi. Dia beragama Katolik. Tapi dia mengampuni saya dan murid-murid saya. Lalu saya berpikir, apakah saya bisa melakukan hal yang sama jika saya berada di posisinya?"

Sebab itu ia kini serius membangun komunitas Linkar Perdamaian, di desa yang sama seperti tempat ia dan saudaranya dibesarkan. "Selama bertahun-tahun kami mengalami terorisme di Indonesia," ujar Fauzi. "Tapi kami juga punya pengalaman panjang menyembuhkan penyakit terorisme."

rzn/yf (Reuters, Kompas)