1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Benarkah 'Deinfluencer' TikTok Ingin Kita Batasi Konsumsi?

Manasi Gopalakrishnan
3 Maret 2023

Tren #deinfluencing di TikTok meminta orang berhenti menggunakan terlalu banyak barang. Namun, apakah ini hanya cara lain bagi influencer untuk mendapatkan lebih banyak perhatian — dan uang?

https://p.dw.com/p/4OAPs
Foto ilustrasi Influencer kosmetika
Foto ilustrasi Influencer kosmetikaFoto: Nikita Kobrin/PantherMedia/IMAGO

"Kamu tidak perlu es kopi untuk menjadi produktif. Kamu tidak perlu menata rambutmu untuk tampil di depan umum… tapi yang terpenting, kamu tidak perlu merasa buruk jika telah melakukan ini."

Kata-kata nasihat datang dari Chloe @chloe.chapdelaine, dalam video TikTok baru-baru ini. Influencer ini memiliki hampir 360.000 pengikut dan membuat video tentang kehidupannya di Kanada, perjalanannya, dan tentu saja, produk yang dia gunakan saat menjalankan berbagai proyeknya.

Namun, akhir-akhir ini Chloe tampaknya berubah pikiran: "Saya tahu bahwa saya adalah korban konsumsi berlebihan," katanya, sementara keterangan dalam videonya berbunyi, "Saat ini kita hidup dalam masyarakat, di mana hampir semuanya dirancang dan dipasarkan untuk memengaruhi Anda agar membelinya."

Tren 'deinfluencing'

Membeli lebih sedikit barang terdengar seperti saran yang masuk akal. Itulah yang dipromosikan oleh influencer seperti Chloe akhir-akhir ini di TikTok. Mereka bertujuan untuk menjadi kebalikan dari influencer, yang dalam hal pemasaran dipandang sebagai orang yang memiliki kredibilitas yang diperlukan untuk memengaruhi konsumen potensial membeli produk tertentu.

Ada pendekatan yang berbeda di antara para influencer. Beberapa mengutuk konsumerisme sepenuhnya; yang lain mengevaluasi produk, menyarankan alternatif yang lebih murah atau lebih baik. Influencer lain memberikan saran tentang cara menghemat uang atau menemukan kebahagiaan sejati.

#Deinfluencing kini menjadi tren yang ditonton lebih dari 263 juta kali di TikTok. Seperti yang ditunjukkan oleh berbagai tagar yang terkait dengan tren — seperti #deinfluencingproducts, #deinfluencingmakeup, #deinfluencinghair, #deinfluencingbotox — produk kecantikan tetap menjadi titik lemah bagi banyak deinfluencer.

Tagar populer lainnya termasuk #deinfluencingbooks dan #deinfluencinginfluencing, di mana mantan influencer menyesali hidup mereka sebagai pemasar merek dan mencari pekerjaan asli.

"Keaslian adalah sarana penting bagaimana pembuat konten terhubung dengan penggemar mereka di TikTok," kata Marina Mansour, Wakil Presiden dan anggota pendiri Kyra, sebuah perusahaan pembuat dan pemasaran konten global.

#Deinfluencing, katanya kepada DW, adalah "tanggapan dari penggemar di sekitar kreator yang mempromosikan produk di mana tidak ada advokasi jujur dan transparansi yang membuat platform ini begitu terkenal. Sentimen ini berubah menjadi tren #deinfluencing."

Marina Mansour
Marina MansourFoto: privat

Menentang atau bergabung dengan tren?

Matt Perry, salah satu pendiri dan CEO firma pemasaran The Future Collective, mengatakan hal yang sama dalam postingannya baru-baru ini di LinkedIn tentang tren deinfluencer: "Era deinfluencer sedang mengumpulkan momentum besar saat ini karena pengguna TikTok akhirnya memulai untuk menempatkan keaslian di atas konsumerisme."

Memang, banyak kreator, seperti Chloe, kini mencari hubungan sejati dengan pengikutnya, mengakui bahwa mereka adalah korban produk konsumen yang menjanjikan kehidupan baru, dan sekarang mengubah cara mereka. "Ke depan, mari bersyukur atas apa yang kita miliki," katanya.

Namun, influencer media sosial tidak dapat sepenuhnya melepaskan pemasaran produk, mengingat banyak yang mendapatkan uang dari saluran TikTok mereka.

Menurut Marina Mansour, wakil presiden Kyra, ada opsi berbeda untuk pembuat konten di TikTok. Banyak dari mereka bekerja dengan merek untuk menghasilkan pendapatan, tetapi juga dengan program yang memungkinkan perusahaan menampilkan dan menjual produk mereka secara langsung di platform berbagi video. Sumber pendapatan lainnya termasuk inisiatif bagi hasil atau dana kreator TikTok. "Kreator dapat memperoleh ratusan ribu dolar sebulan di TikTok, tergantung pada ukuran, keterlibatan, dan kualitas konten mereka," kata Mansour.

Oleh karena itu, sebagian besar deinfluencer menggunakan kombinasi antara memberi tahu pengguna produk mana yang tidak boleh dibeli dan juga memberi mereka daftar alternatif. Maja, misalnya, yang menggunakan username @self.skin, mengaku berprofesi sebagai dokter. Dia memberi tahu para pengikutnya produk perawatan kulit mana yang tidak sebanding dengan hype atau biayanya, dan mana yang dapat mereka gunakan sebagai gantinya. Valeria @valerafride juga menguji produk kecantikan dan menawarkan alternatif.

Namun, seberapa tulus deinfluencer itu? Bergabung dengan tren seperti #deinfluencing dapat meningkatkan jumlah penayangan, jumlah pengikut, dan juga jumlah uang yang diperoleh influencer — sebuah fakta yang menimbulkan skeptisisme tentang motif sebenarnya di balik influencer yang bergabung dengan tagar.

"Jelas ada unsur keterlibatan dengan topik yang sedang tren yang berarti pembuat konten diberi insentif untuk berkontribusi pada suatu topik karena populer dan layak diberitakan," kata Mansour.

(hp/vlz)