1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Beragama dengan Rileks

15 Januari 2018

"Ada babi di surga?", "Kenapa ada cinta beda agama?", "Apakah memilih Ahok masuk neraka?", pertanyaan-pertanyaan ini muncul dari masyarakat. Feby Indirani mengajak masyarakat menjadi lebih rileks dalam beragama.

https://p.dw.com/p/2qZ4c
Fit und gesund (Symbolbild)
Foto: Colourbox/Kuzma

Sejak lama orang menyebut tahun 2018 sebagai tahun pemanasan politik. Sejak pemilihan presiden 2014, terlebih pada pilkada DKI Jakarta 2017, semua orang seperti sudah bersiap-siap menjelang pemilu presiden di 2019. Tahun 2018, Indonesia akan melaksanakan pilkada serentak, dan dalam segala hajatan politik itu makin terasa bahwa agama menjadi salah satu poros ketegangan dalam kehidupan bermasyarakat kita.

Pada Juli 2017 ketika Basuki Tjahaja Purnama baru saja divonis bersalah dan persekusi marak terjadi dan makan korban beberapa orang sipil, gerakan Relaksasi Beragama (Relax, it's Just Religion) diperkenalkan ke publik. Gerakan ini diperkenalkan melalui buku kumpulan cerita fiksi Bukan Perawan Maria. Pameran Bukan Perawan Maria merupakan tafsir rupa dari cerita-cerita di dalam buku tersebut, dan sesi singkat pelatihan Relaksasi Beragama.

Pada pameran tafsir rupa Bukan Perawan Maria yang berlangsung 10 hari, pengunjung diajak terlibat dengan misalnya menulis pertanyaan yang mereka pikir akan mereka terima dari malaikat di akhirat nanti dan bahasa apa yang akan digunakan untuk menanyakannya. Di bagian lain pameran, pengunjung juga bisa menuliskan pertanyaan tentang agama dan Tuhan yang selama ini mereka takut utarakan. Pertanyaan yang muncul beragam dan kerap mengejutkan. "Apakah ada babi di surga?", "Kenapa harus ada cinta beda agama?", atau "Apakah memilih Ahok-Djarot bakal masuk neraka?", dan sebagainya.

Feby Indirani adalah penulis sejumlah buku fiksi dan nonfiksi. Ia menginisiasi gerakan Relaksasi Beragama (Relax, It’s Just Religion). Buku terbarunya adalah Bukan Perawan Maria (Pabrikultur, 2017), 69 things to be Grateful about being Single (GPU, 2017) dan Made in Prison (KPG, 2017)
Penulis: Feby IndiraniFoto: Feby Indirani

Percakapan baru yang bisa menjadi alternatif

Relaksasi Beragama merupakan tawaran percakapan baru yang bisa menjadi alternatif di tengah ketegangan dalam kehidupan keberagamaan kita saat ini. Pendekatan cerita fiksi dan seni yang menjadi titik berangkat gerakan sepertinya dapat membuka ruang bagi Muslim, khususnya Muslim Milenial, untuk berani mengajukan pertanyaan dan gagasan mereka mengenai keberagamaan. 

Sebagai sebuah gerakan, Relaksasi Beragama terdiri dari orang-orang muda yang sering bercanda menyebut diri, "kami sedang berobat jalan". Demikian gurauan saya bersama antara lain ada Ferlita Sari, Psikolog dari Universitas Indonesia biasa dipanggil Ferli dan Hikmat Darmawan seorang kritikus Budaya pendiri penerbit Pabrikultur. Sebuah gurau yang lahir karena peserta gerakan ini tidak memiliki pretensi lebih baik dari pada orang lain. Tapi, kami meyakini bahwa kita bisa lebih rileks dalam beragama. Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifuddin, yang datang memberikan pidato di salah satu acara pameran, memuji gerakan ini karena sangat kontekstual dan sesuai dengan konteks terkini Indonesia.

Relaksasi Beragama memiiki tiga prinsip dan lima keterampilan yang dibutuhkan untuk menerapkan ketiga prinsip Relaksasi Beragama. Tulisan ini hanya akan memperkenalkan secara garis besar saja, dengan memberikan sedikit latar belakang.

Agama hanyalah jalan, bukan tujuan

Prinsip yang ibaratnya adalah mercusuar yang menjadi penerang, yang mengarahkan kapal-kapal berlayar. Sebagaimana mercusuar, prinsip tidak bisa digeser, diubah, dan dipindahkan. Kita yang harus menyesuaikan diri dengan mercusuar dan bukan sebaliknya. Prinsip pertama adalah Agama hanyalah jalan, bukan tujuan. Saat ini kita menyaksikan bagaimana agama seolah diposisikan sebagai Tuhan itu sendiri. Orang sering lupa bahwa bagaimanapun pentingnya agama hanyalah jalan, bukan Tuhan yang seharusnya menjadi tujuan utama semua orang beragama.

Prinsip kedua, hakikat manusia adalah kesamaan. Ini merupakan suatu prinsip yang sangat penting, karena kita menyaksikan bagaimana kita begitu mahir mencari-cari dan menajamkan perbedaan. Sehingga seakan hakikat manusia adalah perbedaan, bahkan keberlawanan. Padahal, ada lebih banyak persamaan antara sesama manusia daripada perbedaan di antara kita. Sama-sama menggunakan oksigen ketika bernafas, bernaung di bawah matahari dan bulan yang sama, minum ketika dahaga, makan ketika lapar. Kita hidup di bumi yang sama.

Prinsip ketiga adalah mengutamakan welas asih daripada menjadi benar. Kita tahu bahwa begitu banyak perdebatan terjadi karena hasrat yang begitu besar untuk menjadi benar dan diakui bahwa kita benar. Relaksasi Beragama menegaskan bahwa ada yang lebih penting, yaitu mengedepankan welas asih atau compassion. Ini adalah kata yang kami pilih dengan hati-hati. Misalnya, kami tak memilih kata "cinta" untuk prinsip ketiga ini, karena cinta adalah salah satu kata yang paling sering dipakai tapi sekaligus paling sering disalahpahami.

Setelah melalui diskusi mendalam, kami menemukan setidaknya ada lima keterampilan atau kecakapan untuk menerapkan ketiga prinsip di atas.

Lima kecakapan yang dibutuhkan untuk menjadi lebih rileks dalam beragama sepintas tampak sebagai sesuatu yang sederhana, bahkan mudah. Namun bila dipraktikkan sebetulnya dapat memberikan efek yang dasyat. Keterampilan ini bahkan menjadi semakin sulit dilakukan di saat sekarang.

Pertama, menemukan kesamaan. Kelihatan sederhana, namun praktiknya tidak mudah. Mungkin kita sejak kecil akrab dengan permainan menemukan sepuluh perbedaan dari dua gambar yang persis sama. Kita terbiasa menelisik dengan jeli, mencari-cari perbedaan. Di pelatihan ini, kita justru akan berupaya menemukan kesamaan, betapapun sulitnya. Keterampilan ini adalah salah satu yang kami ujikan dan latihkan pada diri sendiri dalam proses persiapan pelatihan versi singkat Relaksasi Beragama.

Saat sedang duduk bersama untuk menggodok gagasan-gagasan dari Relaksasi Beragama, kami tidak berangkat dari saling menyetujui. Bahkan justru Ferli dan saya memiliki sejumlah perbedaan nilai yang tidak pernah berubah hingga kini. Pengalaman itu justru memberikan pengayaan bagi program kami. Ferli kontra LGBT sementara saya pro. Pada titik itu kami kemudian mempraktikkan keterampilan mencari kesamaan.

Ok, kamu tidak setuju LGBT tapi apakah kamu setuju jika mereka disakiti? Tentu tidak. Apakah kemudian hak-hak mereka sebagai warga negara boleh dicederai? Sangat tidak. OK, sampai di sini kita punya kesamaan. Kita punya common ground sebagai titik berangkat. Mencari kesamaan seperti inilah yang seharusnya menjadi titik tolak dari siapapun yang ingin menjadi lebih rileks dalam beragama.

Keterampilan kedua adalah menunda respon, sesuatu yang semakin langka kita lakukan akhir-akhir ini bukan? Segala percepatan arus kata-kata di media sosial yang menyerbu kerap membuat kita tak memberikan waktu untuk jeda. Kita dengan begitu cepat berkomentar, sering kali tanpa tahu persis apa yang sedang kita komentari. Menunda respon menjadi suatu keterampilan yang berharga yang penting kita latih agar tidak cepat terjerumus dalam pusaran ketegangan.

Keterampilan ketiga adalah melihat humor dalam segala sesuatu. Penting di sini untuk menegaskan, bahwa kemampuan tertawa tidak dicampuri dengan tindakan merendahkan orang lain. Humor yang kami maksudkan di sini, tidak berbentuk kegembiraan menghina orang lain. Humor di sini adalah kemampuan menertawakan diri sendiri, atau situasi, merelatifkan yang serba-serius, sekaligus mencairkan ketegangan suasana.

Baca juga:

Islam Kaku Tidak Laku

Berargumen dengan welas asih

Keterampilan keempat, berargumen dengan welas asih—karena prinsipnya menyebutkan demikian. Berargumen boleh, bahkan kerap penting untuk dilakukan. Namun ketika adu argumen memanas, ingatlah untuk mengutamakan welas asih daripada menjadi benar. Mudah dikatakan, mungkin sulit dilakukan. Tapi, perlu. Sebab, keingingan menjadi benar yang terlalu besar akan membuat percakapan bergeser bukan lagi tentang kebenaran tapi jadi tentang kemenangan, menjadi keinginan untuk mengalahkan "lawan" bicara.

Keterampilan kelima adalah menciptakan percakapan baru. Kita tidak bisa menjadi lebih rileks dalam beragama jika hanya berputar-putar di pusaran percakapan dan ketegangan yang sama terus menerus. Jika kita mengatasi radikalisme dengan mendeklarasikan antiradikalisme, kita tidak mengajukan percakapan baru. Kita masih berkutat dan berpusar pada radikalisme dan tidak beranjak pada percakapan baru.

Relaksasi Beragama merupakan tawaran alternatif percakapan yang tidak berpusat pada radikalisme ataupun tema toleransi karena titik beratnya memang berbeda. Menjadi lebih rileks dalam beragama merupakan ajakan terutama untuk pihak-pihak yang merasa tegang terkait agama, apakah dalam menjalani agama, maupun dalam menghindari agama. Dan kita selalu bisa mulai dari langkah-langkah yang sederhana, mulai dari melatih diri kita menemukan kesamaan dengan pihak manapun yang kita temui berikutnya, dan memandangnya dengan sudut pandang berwelas asih.

Penulis: Feby Indirani (ap/vlz) adalah penulis sejumlah buku fiksi dan nonfiksi. Ia menginisiasi gerakan Relaksasi Beragama (Relax, It's Just Religion).

Buku terbarunya adalah Bukan Perawan Maria (Pabrikultur, 2017), 69 things to be Grateful about being Single (GPU, 2017) dan Made in Prison (KPG, 2017)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.