1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

221111 Technologie Montanindustrie

28 November 2011

Menghasilkan uang dari debu. Mungkinkah itu? Kalau yang dibicarakan adalah debu yang dibersihkan oleh alat penyedot debu, maka hal itu bisa terjadi

https://p.dw.com/p/13I1F
Foto: DMT

Berawal pada masa kejayaan pertambangan batubara di Jerman. Ketika itu lembaga Jerman untuk teknologi batu bara, besi dan baja, DMT, berusaha membatasi bahaya bagi para pekerja tambang, yang kerap terancam kesehatannya karena menghirup partikel debu batu bara halus yang merusak paru-paru. Kini, DMT mengembangkan sistim norma debu untuk produsen alat penyedot debu.

Baik pada lantai maupun karpet, alat penyedot debu pasti akan menghisap seluruh jenis debu yang mengotorinya. Debu yang bisa membuat para pembersih ruangan kesal, bukan sebuah teka-teki bagi Helmut Parr.

Helmut Parr Deutsche Montantechnologie
Helmut ParrFoto: DMT

Peneliti dari lembaga DMT ini mengenai partikel debu yang terhalus, "Partikel debu halus yang kita temukan di jalanan dan di lingkungan kita, berasal dari kikisan kristal, bebatuan dan logam berat dari industri yang melayang kemana-mana mengikuti lalulintas."

Selain itu ada partikel rambut dan kulit, serta debu dari serabut dan serat pakaian, begitu kata ahli debu dari lembaga DMT di Essen itu. Belum lagi ada rambut binatang piaraan, seperti anjing, kucing atau kelinci.

Memproduksi Debu Buatan

Setiap tahunnya Helmut Parr bersama timnya juga memproduksi debu dalam jumlah besar. Tepatnya sekitar 2 ton. Debu yang dibuat merupakan bahan penelitian untuk menetapkan sistim norma untuk debu rumah tangga. Debu ini digunakan oleh semua perusahaan penyedot debu untuk menguji kemampuan produknya.

Staubherstellung Deutsche Montantechnologie
Foto: DMT

Helmut Parr sudah 35 tahun berkutat dengan debu dan cukup bangga telah membantu para pekerja tambang dengan pengembangan teknologi filter debu. Namun setelah bisnis pertambangan batubara di Jerman meredup, lembaganya harus mengubah haluan agar tidak kehilangan lapangan kerja.

Ketika sepuluh tahun silam, industri penyedot debu mencari lembaga yang bisa memasok debu untuk bagian pengembangan dan pengujian produk mereka, Helmut Parr menawarkan lembaganya. Berseloroh, Parr mengenang kembali, "Apa yang baik bagi pekerja tambang di bawah lapisan bumi, bisa juga baik bagi orang –orang di permukaan bumi. Apalagi sekarang, semakin banyak orang yang alergi terhadap berbagai hal, seringkali akibat debu yang terhirup.“

Penelitian Regional

Begitulah, lembaga DMT mulai berbisnis dengan debu rumah tangga. Untuk itu, DMT harus melakukan berbagai penelitian. Parr bercerita, "Awalnya kami menelpon teman, saudara, kenalan, mitra kerja dan memintanya untuk mengirim kantong dari alat penyedot debu di rumahnya. Kemudian penelitiannya kami perluas menjadi se- Eropa, misalnya dengan debu yang dibawa pulang dari liburan, juga dari kantong mesin penyedot di vila-vila sewaan dan hotel-hotel.“

Terbukti bahwa debu di kawasan pedesaan lebih organik dan debu di kawasan perkotaan memiliki kualitas industri, di dalam rumahpun bisa ada debu logam berat. Pada akhir penelitian itu, DMT meracik campuran debu rumah tangga yang resepnya dihak paten. Kemudian menawarkannya secara global ke produsen alat penyedot debu.

Staubherstellung Deutsche Montantechnologie
Foto: DMT

"Di dalam mangkok gelas ini ada bagian dari debu rumah tangga buatan itu, ada mineral seperti pasir, tapi ada juga materi yang lebih halus lagi. Ini misalnya, kapas yang dipetik di Mesir. Kami harus mengolahnya dulu, sampai menjadi bagian dari norma debu yang kami produksi", begitu Parr. Campuran persis debu itu tetap dirahasiakan, yang pasti hanya bahwa benang, rambut, pasir dan segala kotoran rumah tangga dicampur dalam mesin pengaduk besar untuk menghasilkan berbagai jenis dan kualitas.

Tampaknya debu, paling tidak debu buatan yang memenuhi standar noma rumah tangga yang ditetapkan oleh lembaga Jerman untuk teknologi batu bara, besi dan baja, DMT ini, sekarang menjadi komoditas yang memiliki nilai ekspor.

Klaus Deuse/Edith Koesoemawiria
Editor: Agus Setiawan