1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Berhati-Hatilah Pada Hiburan Ini

22 Agustus 2017

Sepakbola di Indonesia bukanlah sekedar permainan, banyak orang menganggap ini sebagai panggung politik yang harus dikuasai. Kita lupa sepakbola adalah cabang olahraga, permainan indah. Simak opini Andibachtiar Yusuf.

https://p.dw.com/p/2iYvP
International Champions Cup ICC Singapore - Bayern v FC Internzionale
Foto: Getty Images/ICC/St. Chou

"Apakah standar pengamanan seperti ini berlaku untuk kegiatan lainnya seperti konser musik?” tanya saya pada ibu-ibu paruh baya yang sore itu bertugas memeriksa barang bawaan para penonton laga internasional Singapura vs Argentina. Si ibu tegas menjawab "Oh iya sama, entah untuk Coldplay, Britney Spears atau sulap asalkan mendatangkan keramaian selalu begini, tadinya agak di dalam,” ia menunjuk ke arah dalam Stadion "Tetapi sejak kejadian di London Bridge, kami lebih majukan pemeriksaan, untuk jaga-jaga,”

Saya kemudian permisi karena informasi yang ia berikan memang sudah sangat cukup, sembari tersenyum dan mempersilakan ia berkata "Enjoy the show!” saya agak terkesiap, ia menyebut show atau pertunjukan. Ini adalah kali kedua saya mendapat kalimat seperti ini. Pertama, waktu  menyaksikan pertandingan New York Giants melawan Dallas Cowboys di MetLife Stadium, New York. Laga itu adalah salah satu partai big match dari gelaran NFL (National Football League) alias liga sepakbolanya Amerika Serikat. Petugas juga mempersilakan saya masuk sembari mendoakan saya agar menikmati pertunjukan pertandingan yang akan saya saksikan.

Penulis:  Andibachtiar Yusuf
Penulis: Andibachtiar Yusuf Foto: Andibachtiar Yusuf

Dikemas baluran hiburan

Pertandingan olahraga di era modern sejatinya memang adalah yang dikemas dalam baluran hiburan yang kental.  Pertandingan di MetLife yang sebenarnya saya nyaris tidak tahu bagaimana memainkannya menjadi sangat menyenangkan untuk ditonton karena penyelenggara memberi kemasan yang luar biasa padanya. Cheerleaders yang sangat menghibur, atraksi-atraksi yang dipresentasikan saat time out atau saat jeda pertandingan, sampai berbagai hiburan lainnya yang bisa jadi tak terpikirkan oleh kita di Indonesia.

Amerika Serikat mengemas semua kegiatan olahraganya sebagai hiburan yang bisa dinikmati kalangan berbagai usia. Datang ke pertandingan bersama keluarga adalah hal yang lumrah. National Stadium malam itu juga demikian, bedanya disana atmosfer sepakbola sama sekali tidak terasa. Saya lebih mendengar percakapan empat orang yang duduk berjarak 3 kursi di belakang saya ketimbang sorak sorai penonton sepakbola yang sangat khas itu. Tak ada chant, tak ada sorak-sorai meminta seorang pemain bermain lebih bagus lagi, apalagi sorakan cemooh pada lawan….semua tak ada.

Singapura memang bukan negara sepakbola, sebuah laga liga lokalnya yang pernah saya saksikan hanya ditonton sekitar 300 orang. Jelas bukan angka apa-apa dibandingkan dengan rataan jumlah penonton laga di republik ini. Pada soal jumlah mereka menjadi masalah, apalagi soal antusiasme. Stadion yang juga akan menggelar konser Foo Fighters dan pertunjukan Monster Jam ini malam itu diisi sekitar 35.000 orang dari kapasitas total mereka yang 55.000. Dengan jumlah yang sebenarnya relatif banyak itu mereka tak mampu menandingi atmosfer menggila 20.000 penonton yang memenuhi Stadion Maguwoharjo saat tim nasional kita bertanding atau apalagi saat tuan rumah PSS Sleman berlaga.

Mudahkah melumat tim Singapura?

Kita boleh menyebut Singapura sebagai bukan negara sepakbola, atau lebih tepatnya tidak punya atmosfer sepakbola yang heboh, tetapi apakah hal ini menjadi kita bisa dengan mudah melumat mereka? Faktanya mereka selalu menjadi salah satu lawan berat kita, di AFF edisi tahun lalu kita berhasil menang dengan susah payah. Yang paling terbaru adalah mereka mampu melawan si raksasa Argentina dengan cara yang benar.

Argentina bermain dengan pola sangat agresif 2-3-4, negeri Singa meladeninya dengan formula biasa 4-3-2-1. Mereka bertahan dengan cara yang sangat mekanikal dan menyerang dengan skill yang memang tidak merepotkan duet Lucas Biglia ataupun Federico Fazio…..tetapi saya yakin akan mampu merepotkan siapapun pemain bertahan Indonesia yang ditugaskan menjaga lini ini. Argentina yang bermain serius dan terus berusaha menusuk dan mengeksekusi bole dari dalam kotak penalty sempat dibuat kesulitan selama 24 menit pertama permainan.

Sementara itu di waktu yang kurang lebih sama, Indonesia yang Argentina-nya malah memilih untuk datang ke Singapura malah berhadapan dengan Puerto Rico, tim yang saya yakin membuat host dan komentator yang bertugas malam itu untuk banyak membuka internet untuk mengecek keberadaan sepakbola di Puerto Rico. Hasilnya pun kita semua tahu, kita gagal mengalahkan negeri mini jajahan Amerika Serikat itu. Bahkan permainan kita pun jauh dari kata mengesankan.

Atmosfer malam itu di Maguwoharjo saya yakin sungguh bergairah, beberapa teman berangkat dari berbagai kota di republik ini untuk menyaksikan laga yang dianggap penting itu. Bagi saya situasi ini menunjukkan betapa gilanya kita pada sepakbola. Sayangnya semua itu tidak cukup. Atmosfer fanatisme yang luar biasa itu sama sekali tidak mampu menolong kita menjuarai kejuaraan apapun yang terjadi di muka bumi ini. Kita terus berkutat mengagungkan prestasi mentok di final kegiatan festival anak-anak kecil yang disponsori produk air mineral atau terus saja menyebut generasi emas U19 yang menjadi juara di Asia Tenggara.

Kita bagai tak paham U19 adalah sebuah level usia muda dimana turnamen dilakukan untuk memberi level usia itu ruang mengadu kemampuan dan mengukur pencapaian. Sepakbola sebenarnya ada di level yang bisa bermain di hajatan Piala Dunia 4 tahunan, Piala Eropa atau Piala Asia. Tim junior hanyalah sebuah tim yang terus mencoba singgah mengasah kemampuan mereka agar mereka semakin teruji dan semakin baik saat dewasa nanti. Agar di level usia sebenarnya mereka siap untuk menjadi lebih kompetitif dan melakukan pencapaian terbaik dalam hidup mereka.

Di Indonesia, jadi panggung politik

Sepakbola di Indonesia bukanlah sekedar permainan, banyak orang menganggap ini sebagai panggung politik yang harus dikuasai. Permainan yang mampu mengundang massa dan massa tersebut bisa dikuasai. Kita lupa bahwa sepakbola ya cuma sebuah cabang olahraga saja, permainan terindah yang sebenarnya salah satu olahraga yang kebetulan populer di dunia, dikomersialisasi dengan cara yang benar dan menjadi salah satu tontonan yang ditunggu di akhir pekan.

Di Indonesia, sepakbola dipenuhi dengan keributan antar pendukung, kericuhan para petinggi sampai ketidak percayaan kepada situasi terkini di papan atas klasemen. Di manapun di dunia ini—bahkan di Thailand atau Hongaria—ketika orang sadar bahwa saya akan menonton pertandingan liga Sepakbola, mereka akan berkata "Have fun!” atau "Selamat bersenang-senang,” sebuah doa yang sangat menyejukkan dan menyenangkan. Di Singapura 13 Juni 2017 lalu, si ibu berharap saya menikmati pertunjukan Singapura vs Argentina yang akan saya lihat.

Sementara itu di Indonesia—kecuali penonton rutin ke Stadion kita—siapapun itu, seberapa banyaknya jersey tim sepakbola Eropa yang ia punya atau tak peduli seberapa sering ia nonton bareng di kafe atau bar, maka responnya saat ia tahu saya akan pergi ke stadion nonton sepakbola adalah "Hati-hati ya,” atau "Waduh!! Gak takut rusuh?!!”

Penulis: Andibachtiar Yusuf(ap/yf)

@andibachtiar

Filmmaker & Traveller