1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Berlinale Talent: Dari Isu Perempuan ke Jakarta Tenggelam

Arti Ekawati
8 Maret 2024

Sutradara Andrea Nirmala Widjajanto terpilih menjadi salah satu Berlinale Talent 2024. Perempuan yang kini tinggal di Kanada ini bercerita tentang menjadi perempuan, migran, usaha lebih keras untuk menggapai mimpi.

https://p.dw.com/p/4dI4c
Berlinale Talent 2024, Andrea Nirmala Widjajanto
Sutradara dan penulis naskah Indonesia, Andrea Nirmala Widjajanto, di Berlinale 2024Foto: Arti Ekawati/DW

Hari Perempuan Internasional kembali diperingati setiap 8 Maret setiap tahunnya. Peringatan ini dimulai pada 1857 ketika para pekerja tekstil perempuan kala itu berdemonstrasi untuk memprotes tidak adilnya kondisi kerja dan kesetaraan upah. Sejak itu, tanggal ini diperingati setiap tahunnya dengan berfokus pada isu-isu seperti kesetaraan gender, persamaan hak perempuan, dan hak-hak reproduksi

Tantangan yang dihadapi perempuan saat ini memang masih besar. Sebagai minoritas gender, perempuan kerap harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Tubuh perempuan, tanpa diminta, juga kerap dinilai, dikritik, dan dikomentari oleh masyarakat sekitarnya. Sementara dilihat dari kesetaraan hak, para perempuan juga cenderung dibayar lebih rendah saat melakukan pekerjaan yang sama dengan laki-laki.

Namun ini bukan berarti perempuan menyerah begitu saja. Banyak dari mereka yang berjuang lebih keras untuk bisa meraih apa yang mereka cita-citakan. Andrea Nirmala Widjajanto salah satunya. Perempuan kelahiran Jakarta ini berhasil terpilih menjadi salah satu talent di ajang film internasional Berlinale 2024.

Kepada DW Indonesia, sutradara dan penulis naskah film yang kini tinggal di Kanada ini bercerita bahwa sebagai perempuan migran, dirinya sedari awal telah diberi wejangan bahwa ia harus berusaha lebih keras untuk menggapai impian.

Andrea bercerita bahwa dengan deadline yang begitu mepet, ia harus rela membeli wi-fi di pesawat untuk mengirim aplikasi lamaran ke panitia seleksi Berlinale. Dari hampir 3.800 peserta dari 160 negara yang melamar, yang masuk diseleksi hanya 200 peserta. Jumlah itu pun terus mengerucut.

Berikut perbincangan DW Indonesia dengan Andrea Nirmala Widjajanto tentang pengalaman selama di Festival Berlinale, isu yang ia angkat dalam filmnya, serta perempuan yang menjadi inspirasinya.

DW Indonesia: Hai Andrea, selamat datang di Berlin. Ini kali pertama kamu datang ke kota ini, bagaimana kesanmu tentang Berlin?

Andrea Nirmala Widjajanto: Halo, terima kasih sudah mengundang saya….Menurut saya festivalnya sendiri adalah salah satu festival terbaik yang pernah aku kunjungin. Tapi sebagai kota, mungkin aku belum cukup lama disini buat lebih kenal kotanya. Karena kan selama festival cuma di sini sini aja. Jadi mungkin aku belum terekspos dengan Berlin.

Yang paling berkesan dari pengalaman sebagal salah satu Berlinale Talent?

Aku senang banget karena kebetulan untuk mentor-mentor aku sangat bantu aku buat develop project buat ke langkah berikutnya. Jadi feedback yang mereka itu bagus banget. Tapi secara spesifik kenapa aku mau apply ke short film station karena ada salah satu film maker juga namanya Akosua Adoma Owusu dan dia adalah salah satu inspirasiku sebagai pembuat film juga. Keren banget bisa ketemu dia sebagai mentor dan sekarang kita keep in contact. Semoga untuk seterusnya masih bisa ngobrol dan keep in touch.

Berlinale sangat bersifat politis, pendapatmu tentang festival film ini?

Aku rasa ini festival yang bagus banget karena DNA dari festival ini sangat peduli dan fokus ke politik. Itu yang mau aku sampaikan lewat film-film aku. Aku ingin film-filmku personal dan political.

Selain itu festival ini marketnya sangat besar. Jadi kalau misalnya aku ke sini mau bawa project, film panjang, mau cari distributor, collaborator sangat bagus karena marketnya sangat besar.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Cerita tentang film terbaru kamu tentang tenggelamnya Jakarta, kenapa tema itu dipilih?

Lebih ke arah personal sih karena aku kan lahir di Jakarta, besar di Jakarta dan Jakarta itu emang rumah banget buat aku. Itu zona nyaman banget buat aku. Teman-teman terdekat aku di situ semua keluarga aku di situ. Di Jakarta itu aku merasa sangat-sangat diterima dan aku bisa jadi diri sendiri kalau di Jakarta. Jadi kalau misalnya Jakarta tenggelam dan itu tidak bisa jadi rumah lagi atau aku tidak bisa tinggal lagi di situ. Itu sesuatu yang aku enggak mau terjadi dan menurut aku itu penting banget buat di omongin.

Sekarang bahkan kita ngomongin pindah ibu kota. Tapi kita tidak address isunya, enggak mikirin solusinya buat kota ini bagaimana. Bagaimana cara kita mencegah Jakarta dari tenggelam itu belum ada. 

Andrea kerap mengangkat soal body image/issue, ada di Sawo Matang, Bawang Merah Bawang Putih, kenapa?

Again, datang dari tempat yang sangat personal. Jadi aku merasatidak masuk ke standar ideal kecantikan Asia. Dan itu selalu datang dari banyak tempat, dari orang-orang terdekat seperti keluarga yang mengatakan sesuatu tapi ini punya dampak aku. Jadi pas pandemi (berat) aku naik 10 kilo (gram). Habis itu aku coba turunin berat bada, nge-gym, makan, diet tapi tidak ada efeknya itu aku mulai stres. Pas pandemi itu aku sempat gangguan makan, aku sempat bulimic. Penyakit itu yang menginspirasikan film aku Bawang Merah Bawang Putih.

Untuk yang sawo matang itu lebih membicarakan tentang perbedaan ras bahwa mungkin kalau dari sisi perspektif perempuan, memang secara konteks lebih besar selalu ada dikotomi antara pribumi dan Chinese Indonesian. Ada juga standar kecantikan bahwa kalau misalnya sawo matang itu enggak cantik. Tapi balik lagi itu lagi itu dari kolonisasi lagi, karena itu standar kecantikan Eropa. Datang dari mana lagi kalau bukan masa penjajahan kalau misalnya yang cantik tuh yang putih yang matanya biru. 

Jadi itu kan turun juga ke generasi dan generasi berikutnya. Pandangan kita tentang kecantikan tuh seperti apa. Aku juga ngerasa punya mentalitas seperti itu.

Sebagai perempuan dan sutradara film, role model yang berpengaruh bagi kamu siapa? Kenapa?

Role model terbesar aku tuh ibu aku, karena ibu aku yang ngajarin aku dari kecil Kalau aku boleh bermimpi dan aku punya hak buat bermimpi. Bahwa aku bisa melakukan apa pun yang seorang laki bisa, malah bisa lebih jauh. Karena aku lihat ibuku sendiri begitu. Dia selalu yang ingatkan aku buat berjuang sendiri. "Namanya hidup harus berjuang… pasti bakal susah dan pasti bakal banyak rintangannya. Kamu sebagai minoritas."

Aku tinggal di Kanada sekarang. Sudahlah imigran, terus perempuan, terus Asia. Jadi pasti banyak tantangannya dibandingkan yang lain. Tapi kamu harus percaya diri kamu sendiri. Dan kepercayaan itu juga datangnya karena ibu saya sudah percaya kepada saya dulu sedari awal. (ae/rs)

Wawancara untuk DW Indonesia dari Berlin dilakukan oleh Arti Ekawati dan telah diedit sesuai konteks.