1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

"Saya beruntung..."

Tristiastini Soetrisno27 September 2013

Bekerja di redaksi Bahasa Indonesia Deutsche Welle sangat berguna untuk karir selanjutnya, setelah kembali ke tanah air. Begitu diceritakan Tristiastini Soetrisno.

https://p.dw.com/p/19pUB
Skyline JakartaFoto: picture-alliance/dpa

Saya termasuk salah satu anggota redaksi Siaran Indonesia DW yang wira-wiri Indonesia – Jerman selain Mbak Dewi Gunawan-Ladener (almh.) dan Pak Asril Ridwan. Selain itu, saya juga anggota redaksi yang dipilih dari ‘Freie Market' – istilah Bung Rudi (alm.) – karena biasanya yang menjadi anggota redaksi Siaran Indonesia DW diambil dari Radio Republik Indonesia (RRI).

Dengan berbekal lulusan Sastra Jerman Universitas Indonesia (UI) dan pengalaman sebagai Jurnalis di Majalah Remaja Hai (Grup Kompas-Gramedia) saya mengikuti program pertukaran jurnalis selama dua tahun (1993-1995) yang diadakan oleh Siaran Indonesia Deutsche Welle dengan tujuan untuk menambah wawasan di bidang Jurnalistik.

Rüdiger Siebert
Rüdiger SiebertFoto: DW

Banyak hal baru yang harus saya pelajari ketika menjadi jurnalis radio yang berbeda dengan ketika bekerja sebagai jurnalis media cetak. Misalnya, untuk penulisan berita, penggunaan kalimat yang singkat namun penuh makna harus dipilih ketimbang kalimat-kalimat yang panjang dan berbelit. Sebab, media radio adalah media yang ‘sekali lewat.' Artinya jika kita tidak menyimak apa yang dibacakan oleh penyiar ya akan ketinggalan. Tidak seperti media cetak yang bisa kita ulang membacanya.

Selain itu, siaran di depan mikrofon di dalam ruang siaran juga tak mudah pada awalnya bagi saya. Apalagi siaran ‘live', yang harus dipersiapkan dengan baik. Tidak boleh keselek atau batuk karena akan sangat mengganggu bagi pendengar. Oleh sebab itu sebagai penyiar baru, mulanya saya dilatih untuk membaca naskah yang direkam dulu di studio. Setelah dinilai oke barulah saya diterjunkan ke siaran ‘live'.

Ternyata sebagai jurnalis radio tidak hanya kesulitan-kesulitan dalam studio siaran yang saya alami. Sebab ketika melakukan wawancara dengan narasumber, tak sedikit narasumber ‘takut' dekat-dekat dengan mikrofon yang saya sodorkan. Mereka cenderung untuk menjauhinya. Seakan mikrofon itu menjadi penghalang. Padahal untuk mendapatkan kualitas wawancara yang baik jarak antara mikrofon dan narasumber tidak boleh terlalu jauh.

Setelah ‘dipinjamkan' selama dua tahun ke Jerman, saya pun kembali bertugas di Majalah Hai, Jakarta.

Tetapi di tahun 1999 saya mendapatkan kesempatan lagi untuk bergabung dengan redaksi Siaran Indonesia DW di Koeln. “Nah, sekarang kamu kembali bergabung dengan rekan-rekan lama di redaksi Siaran Indonesia DW,” begitu kata Bung Rudi yang menjemput saya di bandara Köln. Berbekal ilmu yang sudah saya timba selama dua tahun, penugasan kali ini tidak se ribet penugasan pertama. Saya bisa langsung diterjunkan sebagai jurnalis radio dengan beberapa rubrik tetap yang menjadi tanggungjawab saya setiap minggunya.

Deutsche Welle Indonesische Redaktion
Dari kiri: Tristiastini Soetrisno, Christa-Saloh-Foerster, Mariana Kwa, Sybille Golte (kepala redaksi Bahasa Indonesia dari tahun 2004-2012), Dr. Said Musa Samimy (kepala redaksi Afghanistan).Foto: DW

Hal mencolok yang saya amati sebagai jurnalis dari sebuah radio besar yang berkedudukan di luar negeri adalah, sangat mudah bagi saya untuk mewawancarai tokoh-tokoh Indonesia, bahkan juga menteri, yang datang ke Jerman, maupun yang saya hubungi melalui sambungan jarak jauh ke Indonesia. Bahkan tokoh-tokoh yang datang ke Jerman sengaja mampir ke redaksi Siaran Indonesia DW untuk diwawancarai. Maklum, ketika itu Indonesia sudah memasuki era kebebasan pers, sehingga tidak takut lagi untuk memberikan pendapat dan pandangannya.

Kegiatan liputan dengan mengunjungi kota-kota di Jerman memberikan pengalaman tersendiri bagi saya. Bayangkan saja, kota-kota bersejarah yang hanya saya pelajari di buku ketika masih di bangku kuliah, dapat saya kunjungi dan telusuri langsung. Saya bisa mengunjungi rumah komponis dunia Beethoven yang sekarang dijadikan museum di Bonn. Saya bisa menelusuri puing-puing bekas Perang Dunia II yang sangat nyata dapat disaksikan di kota Koeln dan Berlin dan di sejumlah kota lainnya.

Ketika melakukan liputan Pameran Buku Internasional di Frankfurt atau ketika meliput kegiatan Bursa Turisme Internasional di Berlin, mungkin hanya saya lah jurnalis Indonesia diantara puluhan jurnalis bule yang datang dari seluruh penjuru dunia. Melakukan liputan, mewawancarai narasumber, sungguh merupakan pengalaman yang membanggakan dan tak terlupakan. Saya merasa menjadi orang paling beruntung di dunia mendapatkan kesempatan untuk bergabung dengan redaksi Siaran Indonesia DW.

Indonesische Redaktion - Tristiastini Soetrisno
Tristiastini SoetrisnoFoto: DW

Setelah enam tahun menjadi bagian dari redaksi Siaran Indonesia DW saya kembali ke tanah air dengan tujuan untuk berbagi ilmu jurnalistik yang sudah saya timba begitu lama di Jerman. Gayung pun bersambut. Saya langsung bergabung dengan Internews Indonesia di Jakarta, sebuah NGO Internasional berpusat di Arkana, AS yang bergerak di bidang Media Development. Internews Indonesia memberikan pelatihan jurnalistik radio kepada lebih dari 200 stasiun radio yang menjadi mitranya di seluruh Indonesia terutama dalam pembuatan feature radio.

Berkat ‘jam terbang' yang tinggi di luar negeri maka tak sulit bagi saya untuk mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Lembaga Dunia seperti UNICEF dan The World Bank, Jakarta tak ragu untuk menempatkan saya pada development project mereka. Tahun 2012 lalu, saya mendapat undangan dari Deutsche Welle untuk ikut ambil bagian dalam acara tahunan Global Media Forum yang bertemakan Culture, Education and Media di Bonn, Jerman. Karena undangan, ya tentu saja semua gratis dari akomodasi hingga transportasi dari Jakarta ke Bonn.

Tentu saja banyak pengetahuan baru yang bisa saya serap dari acara seminar selama tiga hari itu. Tidak hanya berupa materi seminar, namun saya juga dapat bertemu, berdiskusi dan bertukar pikiran dengan para peserta seminar lainnya yang datang dari seluruh penjuru dunia. Sekali lagi saya berkata dalam hati, “Betapa beruntungnya saya..” Terima kasih Deutsche Welle. Selamat merayakan Ulang Tahun Emas yang ke-50. Jasamu tak akan pernah kulupakan dan sudah menjadi bagian dari sejarah karirku di dunia jurnalistik hingga sekarang.

Tristiastini Soetrisno bertugas di DW antara tahun 1993-1995 (Köln) dan 1999-2005 (Koeln & Bonn).