1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Keterlibatan Keluarga Bisa Jadi Tren dalam Bom Bunuh Diri

14 Mei 2018

Satu keluarga dan simpatisan ISIS, ini fakta yang terungkap mengenai pelaku teror bom bunuh diri Surabaya. Kenapa perempuan dan anak bisa menjadi pelaku aksi teror? Kepada DW, Direktur Deradikalisasi BNPT berbicara.

https://p.dw.com/p/2xglI
Anschlagsserie auf Kirchen in Indonesien
Foto: picture-alliance/AP Photo/Trisnadi

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya berasal dari satu keluarga, simpatisan ISIS. Meski keluarga tersebut tidak pernah ke Suriah namun keluarga tersebut memiliki hubungan dengan sebuah keluarga yang pernah dideportasi oleh pemerintah Turki beberapa waktu lalu. Kepala keluarga yang dianggap berperan sebagai ideolog dalam jaringan teror yang dibangun keluarga pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, hingga berita ini diturunkan masih dalam pencarian.

Deutsche Welle berbincang dengan Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris, apakah program deradikalisasi gagal untuk mencegah aksi-aksi teror di Indonesia?

Irfan Idris
Irfan Idris, Direktur Deradikalisasi BNPTFoto: Privat

DW: Apakah ada motif khusus kenapa dalam perisitiwa bom bunuh diri di Surayaba keluarga yang terlibat?

Irfan Idris:  Melibatkan keluarga bukan sesuatu yang baru, karena sebelumnya kita memulangkan sebanyak 18 orang deportan, satu keluarga besar, dengan anak-anak, yang pernah muncul membakar paspor dan melakukan pelatihan penembakan.  Anak itu kami bina di sebuah pesantren tetapi pesan yang disampaikan bahwasanya jika melibatkan perempuan, maka anaknya pasti ikut. Kalau laki-lakinya itu hal biasa. Tapi kalau perempuan yang dilibatkan pasti ikut anak-anaknya, yang membawa pengaruh psikologis yang sangat besar kepada masyarakat yang tidak memahami apa hakekat kejahatan yang dianggap perjuangan dan jihad.

DW: Apakah ada alasan khusus kenapa perempuan yang menjadi sasaran radikalisasi?

Irfan Idris : Itu bukan sesuatu yang baru. Karena pada saat kita memulangkan, menjemput 18 warga negara Indonesia, 15 di antaranya anak-anak dan perempuan. Pelibatan perempuan itu lebih besar pengaruhnya, karena bisa menggugah perasaan masyarakat. Karena perempuan, saya kira, lebih dominan emosionalnya. Nah, "perjuangan" itu membutuhkan sisi emosional yang tinggi. Perempuan memiliki hal itu, dan sekali dia terlibat, dia bisa melibatkan semua keluarganya, seperti Joko Wiwoho.

Saat dia terlibat (ISIS red), dia adalah pejabat eselon II di Batam. Jadi kalau dikatakan orang radikal karena kemiskinan, tidak juga. Pada saat saya wawancarai, dia tidak mengerti konteks jihad, dan ikut hanya karena pengaruh istri dan ketiga putrinya. Artinya dia dengan mudah luluh meninggalkan jabatannya yang begitu mahal, dan mengorbankan kebersamaan dengan keluarga lainnya, hanya karena pengaruh istrinya, yang juga dipengaruhi keluarga lainnya. Begitu besar pengaruhnya kalau perempuan yang ikut terjun didalamnya.

DW: Pelaku bom bunuh gereja dan polrestabes di Surabaya dilakukan anggota keluarga. Apakah ini akan menjadi modus baru yang mempengaruhi aksi-aksi berikutnya?

Irfan Idris: Bisa jadi tren, bisa juga justru membangunkan awareness masyarakat, menjaga anak-anak mereka agar jangan sampai terpapar atau anak-anak mereka diculik untuk dijadikan martir atau pelaku bom bunuh  diri. Kalau misalnya dikatakan menjadi pendorong, menjadi pemicu untuk yang lainnya, mungkin bisa saja bagi sel-sel yang tertidur. Yang sudah ‘ngebet‘, yang sudah tidak sabar lagi untuk menuju surga, mewujudkan keinginan mereka hanya menunggu waktu saja, bisa lebih cepat dia lakukan, makanya kewaspadaan perlu ditingkatkan. Tetapi bagi masyarakat yang memiliki anak-anak tentunya ini pelajaran besar untuk dijadikan bahan pendidikan bahwasanya ada contoh anak-anak menjadi korban.

DW: Pelaku bom bunuh di Surabaya diduga terkait dengan jaringan yang kembali dari Suriah. Apakah mereka tidak terpantau radar BNPT untuk ikut program deradikalisasi?

Irfan Idris: Dia tidak dipantau karena pulangnya juga tidak melalui proses seperti yang lainnya. Kalau mereka jadi deportan itu dikembalikan pemerintah Turki atau Irak. Kita jemput, kita data, kita identifikasi, kita dampingi dan kita berdayakan ekonominya. Tapi kalau pulang ke Indonesia sama dengan turis-turis lainnya tapi di benaknya sudah sangat radikal, nanti setelah beraksi baru ketahuan. Kalau dia belum beraksi belum diketahui.

DW: Apakah BNPT tidak bisa mendeteksi sel-sel radikal yang perlu dideradikalisasi?

Irfan Idris: BNPT badan koordinasi hanya bisa mengingatkan kepada stakeholder luar negeri, dan negara-negara sahabat yang ada WNI mau berangkat ke Indonesia, tingkatkan komunikasi dan sharing informasi. Imigrasi di bandara-bandara, jangan dengan mudah kalau sudah menyebut dari negara itu harus diwanti-wanti berapa lama dia di sana. Bukan kompetensi imigrasi untuk mewawancarai, yang penting administrasi lengkap, paspor dan lengkap data dirinya. Ini perlu jadi catatan, diambil alamatnya, diinstrikusikan kepada pemda, RT, aparat kemanan, polisi, koramil sebagai early warning dan early response. Alamatnya diambil dan disampaikan kepada tetangga-tetangganya. Mereka tidak langsung beraksi, pasti butuh proses, merangkai bom, kemudian merancang kapan sasarannya. Pasti dipantau dulu objek ledakannya. Ada proses tentunya setelah dia kembali dari sana (Suriah red). Tidak tertutup kemungkinan ada juga keluarga lainnya ynag menyusun aksi seperti itu.

Inilah Pengakuan Bekas Jihadis ISIS

DW: Sejauh ini, apa yang sudah dilakukan BNPT untuk keluarga yang sudah kembali dari Suriah agar tidak terlibat gerakan radikal?

Irfan Idris: Kata kuncinya,  pembinaan, pendampingan dan pemberdayaan. Pembinaan itu mengajak mereka berdialog, dengan menggandeng tokoh agama atau ulama. Lalu psikolog secara bergilir menjumpai mereka. Anak-anaknya diperhatikan. Keluarga juga dibina, agar menerima mereka. Jangan dikucilkan, karena kalau dikucilkan bisa saja mereka berpikir singkat dan potong kompas untuk melakukan aksi. Kalau pembinaan pendidikan, kalau pendampingan itu artinya tokoh-tokoh masyarakat menerima mereka. Jangan ada stigma bahwa ini adalah anak-anak teroris sehingga tidak bisa sekolah. Kementerian pendidikan hadir untuk menyiapkan beasiswa bagi anaknya untuk bisa kuliah. Terakhir pemberdayaan keterampilan yang mereka miliki. Intinya bagaimana mereka dibuat sibuk, karena kalau dia tidak sibuk, disitu ia bisa kembali lagi, berpikiran pendek dan bunuh diri dan merasa dia bisa sampai ke surga.

DW: Apa yang menjadi parameter BNPT untuk memastikan mereka yang kembali dari Suriah tidak radikal lagi?

Irfan Idris: Bisa diukur berubah atau tidak, jika dia mengikuti semua program, dan tidak ada lagi kata-kata nya menyalahkan pemerintah, atau tidak ada lagi kata-kata yang mengafirkan orang lain, tidak lagi berbicara jihad. Bahkan mereka ikut membuka dan membongkar rahasia jaringan mereka. Saya dulu di sini, ini yang dulu terlibat, dia keluar dari engangement. Dia mau mendengarkan dan mau berdialog dengan siapapun.

DW: Apakah 100 persen dari mereka yang dideportasi terlibat dalam program deradikalisasi itu?

Irfan Idris: Yang kooperatif semua ikut. Belum maksimal. Karena kementerian dan lembaga yang kita gandeng, masih menyiapkan datanya. BNPT sudah melakukan program-program. BNPT mendengarkan pengaduan salah seorang deportan berinisial L, bahwa suaminya IS dipukuli oleh narapida pendukung ISIS. Narapidana teroris di dalam lapas, karena IS ini menjelek-jelekkan ISIS karena dia sudah merasakan, sudah kecewa di Suriah. Napi teroris yang mendukung ISIS tapi tidak pernah ke Suriah dani masih bersimpati, akhirnya marah dan mengeroyok IS. Istrinya mengadu ke BNPT, maka kepala BNPT langsung memerintahkan agar ia dipindahkan dan memberi sanksi kepada napi yang memukul.

Pewawancara: Tonggie Siregar(as)