1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

250211 Boeing EADS

25 Februari 2011

Drama panjang itu berakhir juga, Boeing memenangkan tender pengadaan 178 pesawat tanker bernilai 30 Milyar US-Dollar untuk militer AS. Raksasa dirgantara AS itu kembali berhasil mempermalukan pesaingnya dari Eropa, EADS.

https://p.dw.com/p/10PKR
Pesawat tanker Boeing yang berbasis model 767Foto: AP

"Hari ini kami mengumukan, setelah mempertimbangkan semua kriteria dan harga, serta setelah melalui proses pembuatan keputusan yang panjang, bahwa Angkatan Udara AS memilih pesawat tanker dari Boeing," begitu kata Sekretaris Negara urusan Angkatan Udara AS, Michael Donley yang juga mengakhiri drama panjang seputar proses tender pengadaan pesawat tanker untuk militer AS.

Kedua perusahaan telah memenuhi persyaratan teknis, namun pada akhirnya harga lah yang menentukan hasil akhir. Keputusan ini "mencerminkan upaya pemerintah AS untuk menggunakan uang pajak rakyat dengan bijaksana," begitu tandas Ashton Carter yang bertanggungjawab untuk pengadaan alutista di Pentagon.

Menjelang tenggat penutupan proses tender, kedua perusahaan kembali bersaing memberikan penawaran termurah. EADS pekan lalu bahkan untuk kesekian kalinya menurunkan harga jual pesawat. Namun pada akhirnya Boeing berhasil menawarkan harga satu persen lebih murah dengan dengan begitu memenangkan tender abad ini dengan nilai lebih dari 30 milyar US Dollar atau sekitar 300 trilyun Rupiah.

Sampai 2017 Boeing berkewajiban merampungkan 18 pesawat tanker untuk pengisian bahan bakar di udara. Perusahaan yang bermarkas di Chicago itu berencana membangun pesawat tersebut di negara bagian Kansas dan Washington dengan mengacu pada model 767. 50.000 lapangan kerja akan disiapkan khusus untuk memproduksi total 179 pesawat tanker yang dibutuhkan oleh militer AMerika Serikat.

Melalui Tiga Putaran

Konflik seputar pengadaan pesawat tanker oleh Pentagon ini sudah berlangsung sejak sepuluh tahun terakhir dan baru berakhir setelah melampaui tiga putaran. Proses tender pertama tahun 2003 lalu dimenangkan oleh Boeing, namun dicabut oleh Pentagon setelah perusahaan tersebut ketahuan mendapatkan informasi dari orang dalam militer secara ilegal.



Di putaran kedua sebaliknya EADS yang menang. Saat itu induk perusahaan dirgantara Eropa, Airbus itu menggandeng perusahaan AS, Northrop Grumman. Namun di menit-menit terakhir Boeing berhasil membatalkan keputusan tersebut melalui loby politik dan gugatan pengadilan.

Tankflugzeug / KC-45 / EADS / Northrop Grumman / NO-FLASH
Pesawat tanker KC-45 buatan anak perusaahn EADS, Airbus yang dibuat atas kerjasama dengan Northrop GrummanFoto: Northrop

Kali ini EADS mencoba sendirian dan hanya melibatkan perusahaan-perusahaan AS sebagai penyedia suku cadang yang sedianya akan diproduksi di negara bagian Alabama. Tapi rencana itu urung menjadi kenyataan.

Sebaliknya buat Boeing kemenangan ini sekaligus menjamin eksistensi perusahaan dalam beberapa dekade ke depan. Meski pengumuman pemenang tender sengaja dilakukan setelah penutupan lantai bursa, saham Boeing langsung melonjak sebesar empat persen.


Dibayangi konflik dan insiden memalukan

Proses tender ini sejak awal telah dibayang-bayangi oleh konflik dan insiden memalukan. Eropa dan Amerika Serikat sempat bertikai dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) soal subsidi pemerintah yang didapat oleh kedua perusahaan.

Skandal termutakhir terjadi pada November tahun lalu. Akibat kesalahaan ketik, surat penawaran dari kedua perusahaan tanpa sengaja terkirim ke masing-masing pesaing. Dua pegawai Angkatan Udara AS dipecat akibat insiden tersebut. Pentagon kemudian berdalih, kejadian itu tidak serta merta memberikan kemudahan buat kedua perusahaan dalam proses tender ini.

EADS memang sejak jauh-jauh hari telah menyatakan tidak akan menggugat prosedur pembuatan keputusan oleh Pentagon. Lagipula Wakil Menteri Pertahanan William Lynn berulangkali menekankan, proses tender telah berjalan secara terbuka, fair dan bebas.

Pentagon nyatanya berkepentingan besar untuk tidak lagi mengulangi proses tender dari awal karena mereka membutuhkan pesawat tanker baru dalam waktu dekat ini. Pasalnya armada udara yang saat ini dipakai berasal dari dekade 50-an.

Christina Bergmann/Nugraha Rizki
Editor: Ayu Purwaningsih