1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Booming Hijaber dan Tren Syariah

24 Mei 2013

Kombinasi antara kemajuan ekonomi dan masyarakat yang semakin Islami, mendorong munculnya tren pakaian muslim dan produk-produk syariah. Inilah cerita tentang kelas menengah baru: Komunitas Hijaber.

https://p.dw.com/p/18cWI
Foto: AP

Seorang pengusaha Event Organizer Risti Rahmadi memakai jilbab, menggunakan lipstik halal dan mengetahui saat shalat lewat aplikasi di Blacberrynya yang mengumandangkan azan lima kali sehari.

Perempuan 37 tahun, yang dulu ketika berumur 20an suka menabung untuk pakaian Guess terbaru dan make-up merk Revlon, kini memilih hanya membeli produk-produk yang menunjukkan dia sebagai orang Indonesia yang bangga menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslim -- dan ia berharap bisa membujuk orang-orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Dia adalah anggota “Komunitas Hijaber“, sebuah jaringan pebisnis perempuan Islam adalah bagian dari boom konsumen Muslim, yang berdesak-desakan berbagi pasar dengan berbagai perusahaan barat yang ingin mengambil untung dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi.

“Saya pikir Indonesia sudah menjadi terlalu barat,” kata Rahmadi, yang mengatakan bahwa bisnisnya kini telah berkembang dan mendapatkan para klien yang ingin menyelenggarakan acara-acara Islami, sejak ia bergabung dengan para Hijaber.

“Anak-anak muda Indonesia menghabiskan sebagian besar waktu mereka nongkrong di mal, dan mereka lupa shalat.”

Booming Syariah

Banyak orang kini setuju dengan pandangan Rahmadi bahwa membujuk sebuah kelas konsumen baru untuk membeli produk Syariah adalah lebih dari sekedar soal kebiasaan belanja -- tapi itu untuk memerangi gelombang pasang pengaruh barat yang mengancam akan mengikis nilai-nilai tradisional Islam.

Mereka melihat konsumerisme barat terkait erat dengan menyebarnya impor penyakit sosial, mulai dari sikap permisif dalam soal seks hingga meningkatnya konsumsi alkohol, dan mereka percaya bahwa konsumerisme Islam bisa menjadi penyeimbang.

Sukses berbagai produk Syariah berkisar mulai dari kesuksekan para pengkhotbah terkenal yang meraup uang lewat acara siaran langsung agama Islam di televisi, hingga layanan pesan SMS yang memberikan berbagai petuah yang menggunakan referensi al-Quran.

Para desainer juga makin banyak muncul dengan pakaian dan permata, dengan sentuhan Islami, menyaingi produk impor seperti Chanel dan Louis Vuitton.

Di kawasan makmur pinggiran selatan Jakarta, desainer perhiasan dan “Hijaber” Reny Feby menunjukkan bros berkilau senilai Rp 5 juta, yang bisa disematkan oleh para perempuan di jilbab mereka, dan juga cincin berlian seharga sekitar setengah milyar rupiah.

“Lima belas tahun lalu, tak ada orang yang mau membeli berlian-berlian saya karena dianggap terlalu Islami, dan juga karena saya dengan bangga menggunakan tagline “dengan bangga dibuat di Indonesia,” kata perempuan 42 tahun, yang mengenakan manik-manik oranye dan jilbab berwarna biru-elektrik.

“Tapi kini orang Indonesia bangga membeli pakaian Islami lokal, dan para elit yang membeli barang saya menggunakannya sebagai symbol status.”

Meningkatnya konsumsi didorong oleh berkembang pesatnya kelas menengah seiring boom ekonomi di Indonesia, yang beberapa tahun terakhir pertumbuhannya mencapai lebih dari 6 persen.

Pendapatan rata-rata per kapita juga naik dari 890 dollar pada 2003, menjadi sekitar 3 ribu dollar, sebagaimana data Bank Dunia -- meski jutaan orang juga masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Menuju Konservatisme

Seiring naiknya daya beli masyarakat, mereka secara literal “mengkonsumsi” ke-Islam-an dengan cara yang “sangat terlihat”, kata Greg Fealy, ahli Indonesia di Australian National University, Canberra.

“Banyak muslim saleh kelas menengah ingin menunjukkan kepada orang-orang di sekitar bahwa mereka bergaya hidup saleh -- melalui pakaian, sekolah, cara belanja dan buku yang mereka baca,” kata dia.

Kini Komunitas Hijaber berharap akan bisa semakin memperbesar meluasnya tren Syariah.

Organisasi nasional ini, mempromosikan berbagai produk seperti berlian Syariah dan barang-barang kecantikan dengan label halal.

Mereka juga ada di garda depan dalam kampanye melawan konsumerisme barat.

Para Hijaber tahun ini menggelar protes atas perayaan “hari Valentine“, yang mereka percaya telah mendorong pasangan muslim untuk lebih menunjukkan kemesraan di muka umum.

Terinspirasi oleh gerakan serupa di Pakistan, Hijaber Indonesia ingin mengganti perayaan Valentine dengan nama “hari Hijab“, dengan membagi-bagikan pamflet di sejumlah kota yang menginstruksikan agar perempuan menutup tubuh mereka.

Fenomena ini menunjukkan sebuah pergeseran menuju bentuk Islam konservatif yang mulai muncul sejak jatuhnya presiden Soeharto 1998.

Namun demikian, gambaran besarnya masih kompleks dan kontradiksi masih terjadi.

Meski banyak orang membeli produk Syariah, namun ada pula ledakan musik dangdut, yang terkenal karena liriknya yang erotis dan gerakan penyanyinya yang dianggap vulgar.

Di sisi lain, orang-orang membeli rumah Syariah. Kompleks perumahan Bukit Az-Zikra, dibangun di sekitar mesjid dan pusat pendidikan yang didanai oleh bekas diktator Libya yang tewas terbunuh dalam revolusi Muamar Gaddafi -- dikenal sebagai wilayah bebas tembakau dan alkohol. Mereka yang tinggal di sana harus berpakaian sesuai hukum Islam.

Itu bertujuan untuk “mengimbangi kehidupan modern, bisnis dan rutinitas yang sering membuat orang acuh tak acuh dan lalai terhadap nilai-nilai agama, demikian tertulis di website permukiman tersebut.

ab/ek (afp/dpa/ap)