1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bundesliga Menjelang Financial Fair Play

16 November 2012

Menjelang Financial Fair Play, klub-klub Bundesliga sukses membenahi kondisi keuangannya. FC Bayern misalnya meraup keuntungan tertinggi sepanjang sejarah. Berbeda dengan liga-liga besar Eropa yang terlilit utang

https://p.dw.com/p/16kUI
Foto: picture-alliance/M.i.S.-Sportpressefoto

Seakan perayaan natal datang lebih awal bagi FC Bayern München. Gelak tawa dan suasana meriah memenuhi rapat umum pemegang saham, Kamis (15/11) malam lalu di Audi Dome yang disulap dalam lautan warna merah. Nyatanya klub yang kerap dijuluki FC Hollywood itu punya banyak alasan untuk berpesta.

Selama musim 2011/2012 FC Bayern meraup keuntungan sebesar 332,2 juta Euro dengan keuntungan bersih mencapai 11,1 juta Euro. Sementara dana yang tersimpan dan siap dikeluarkan sewaktu-waktu mencapai 127,6 juta Euro. "Situasi keuangan kami luar biasa," kata Karl-Heinz Rumenigge menimpali laporan Uli Hoeness.

"Karena acara ini berlangsung harmonis, kami memutuskan untuk membagi-bagikan bir gratis," kata Hoeness sambil tersenyum.

Buat industri yang menggantungkan nafasnya dari hutang dan suntikan dana konglomerat itu, FC Bayern adalah ibarat setetes air di padang pasir. Sejak beberapa tahun terakhir Bayern menjelma menjadi klub dengan kondisi keuangan paling sehat di Eropa.

Mesin Bisnis Bundesliga

Berulangkali Hoeness berpongah, betapa Bayern mampu membiayai dana transfer Javi Martinez sebesar 40 juta Euro dari kantung sendiri, tanpa utang, tanpa kucuran dana dari taipan-taipan berkantung tebal yang saat ini mendominasi Liga Primer Inggris.

"Kami memiliki basis keuangan yang belum pernah ada sejak 112 tahun klub ini berdiri," kata Direktur Keuangan Karl Hopfner. Keberhasilan Bayern mengiringi kisah sukses klub-klub Bundesliga yang mencatat pertumbuhan sebesar nyaris 20 persen dalam tiga tahun terakhir.

Musim lalu sebanyak 36 klub yang mengantongi lisensi berlaga di Bundesliga I dan II meraup keuntungan kotor sebesar 2,3 milyar Euro atau sekitar 28 trilyun Rupiah.

Kebangkitan Bundesliga berawal dari racikan sederhana: Jauh sebelum Piala Dunia 2006, klub-klub Jerman mulai meremajakan stadion dan menawarkan tiket dengan harga terjangkau. Strategi menjaring lebih banyak penonton ini terbukti jitu. Musim lalu Bundesliga mencatat jumlah penonton sepakbola terbanyak di dunia. Terlebih klub-klub Jerman lebih rasional menakar harga dan gaji pemain, ketimbang liga-liga terbesar di Eropa.

Tersandung Anggaran Belanja Pemain

Gaji pemain adalah batu sandungan terbesar bagi La Liga, Serie A atau Premiere League.

Federasi Sepakbola Eropa (UEFA) melaporkan 2010, lebih dari setengah klub-klub Eropa mencatat kerugian senilai 10,9 Milyar Euro, kebanyakan dari belanja pemain.

Di Spanyol, dua klub papan atas Real Madrid dan Barcelona menjadi klub dengan gaji pemain tertinggi di dunia dengan rata-rata 7,8 juta Euro. Tahun 2010 lalu Universitas Barcelona menghitung utang yang dibebankan terhadap ke-20 klub yang berlaga di La Liga sebesar 4,8 milyar Euro - Lebih dari 80% dipakai untuk membeli dan membayar gaji pemain.

Situasi di Italia tidak jauh berbeda. Dua musim lalu jumlah utang milik klub-klub professional yang berlaga dari Seria A hingga divisi kedua mengalami kenaikan sebesar 14% menjadi 3,26 milyar Euro. Cuma 19 dari 107 klub profesional yang mampu mencatatkan keuntungan.

Kendati begitu, Liga Primer Inggris (EPL) masih dianggap sebagai contoh terbaik, betapa sebuah industri bisa sedemikian gegabah menghamburkan uang. EPL memang masih dianggap sebagai liga sepakbola terkaya di dunia. Namun keberhasilan tersebut diiring oleh risiko tinggi lantaran sebagian besar pemilik klub menggelontorkan uang lebih dari kemampuan finansialnya.

Bayangkan saja, klub-klub Inggris cuma mewakili 2% dari semua klub yang berlaga di liga utama di Eropa, namun mencatat beban hutang sebesar 56% dari total utang klub sepakbola di Eropa.



Utang Menjamin Kesuksesan

Mingguan Times of London melaporkan, sedikitnya separuh klub-klub Inggris jatuh bangkrut sejak konsep Liga Primer pertama kali digunakan dua dekade lalu. Selama itu pula anggaran gaji pemain melonjak sebanyak 1500% menjadi 2,6 milyar Euro. Dan musim lalu, klub-klub di liga utama mengalokasi 70% dari total anggarannya untuk gaji pemain.

Tidak heran jika pemain-pemain kelas dunia lebih memilih berlaga di Liga Inggris atau di La Liga ketimbang Bundesliga dan Seria A Italia. Memang kehadiran pemain-pemain sekelas Lionel Messi, Christiano Ronaldo, Robie van Persie atau Zlatan Ibrahimovic itu terbukti mampu mendongkrak penampilan dan terutama keuntungan klub melalui penjualan tiket, kaus atau hak siar tv. Tapi buat sebagian, risiko yang harus ditanggung oleh klub yang bersangkutan terlampau besar.

Borussia Dortmund adalah contoh terbaik, betapa membeli kesuksesan di lapangan bukan cara paling bijak. Pada era Presiden Gerd Niebaumm dan Michael Maier, BvB menggelontorkan dana puluhan juta Euro untuk mengikat pemain-pemain terbaik Jerman dan Eropa. Pertaruhan Niebaumm awalnya cukup berhasil. Dortmund menggondol dua kali juara Bundesliga dan sekali juara Liga Champions Eropa di bawah pelatih Ottmar Hitzfeld.

Tapi ketika kemenangan menjadi barang langka dan Dortmund terperosok ke papan bawah klasemen, utang semakin menggunung dan kebangkrutan kian mendekat.

Beberapa tahun kemudian Hans-Joachim Watzke berhasil menyelamatkan Dortmund - diantaranya dengan memotong anggaran gaji pemain sebesar 50%. Hingga kini ia masih menyebut keberhasilannya itu lebih bergantung kepada keberuntungan ketimbang kemampuannya sebagai seorang pengusaha.

Dortmund kini berada dalam kondisi yang jauh lebih baik. Empat gelar yang diboyong dalam dua tahun terakhir membantu manajemen klub memperbaiki situasi keuangan. Dalam beberapa tahun kedepan, Watze yakin pihaknya akan mampu membayar lunas utang yang diwariskan Niebaumm 14 tahun lalu.

Financial Fair Play

UEFA berusaha mendorong klub-klub Eropa untuk menjaga stabilitas finansial melalui apa yang disebut sebagai Financial Fair Play (FFP). Kebiijakan tersebut pada dasarnya melarang klub membelanjakan uang lebih dari keuntungan yang dihasilkannya. FFP berpotensi mereformasi struktur bisnis sepakbola Eropa, dengan catatan aturan tersebut ditaati. Inilah yangf menjadi polemik.

Belum apa-apa klub-klub kaya seperti Manchester United atau Chelsea yang ditukangi milyuner Russia, Roman Abramovich sudah membeli belasan pemain belia dengan harga tinggi, dengan harapan tidak perlu belanja pemain besar-besaran lagi ketika FFP mulai berlaku tahun depan. Paris St. German mengklaim mendantangani kontrak seponsoring baju dengan Otoritas Investasi Qatar sebesar 100 juta Euro.

Sementara Manchester City yang musim lalu mencatat kerugian sebesar 240 juta Euro, mendapat 455 juta Euro cuma dengan mengganti nama stadionnya menjadi Etihad Stadium. Kebetulan pemilik City, Sheikh Mansour bin Zayed al Nahyan juga punya saham di maskapai penerbangan Etihad Airways.

UEFA berjanji akan bertindak tegas kepada klub-klub yang "membandel". "Financial Fair Play menyakitkan, karena tidak akan ada pemilik klub yang boleh mengintervensi," kata Direktur AC Milan, Adriano Galliani.

Soal ini Bundesliga sudah selangkah lebih maju. Regulasi 50+1 yang ditanamkan DFL menutup kemungkinan adanya investor yang menguasai sebuah klub. Tak heran jika Karl-Heinz Rumenigge dalam RUP FC Bayern kamis lalu berkelakar, kalau FFP sukses diterapkan, klubnya akan menjadi klub terkaya di dunia.

Rizki Nugraha
Editor: Hendra Pasuhuk