1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cantik Tak Harus Berkulit Putih

Ayu Purwaningsih7 Maret 2016

Sebuah kajian mendalam tentang mitos kecantikan perempuan di Indonesia yang kerapkali diidentikkan dengan warna kulit putih, menjadi topik perbincangan dengan peneliti masalah ini, Luh Ayu Saraswati.

https://p.dw.com/p/1I5Sp
Gambar ilustrasi
Foto: Colourbox

Kulit putih mulus dan kenyal bagai pantat bayi, sering menjadi istilah untuk menggambarkan mitos kecantikan ideal perempuan di Indonesia. Tidak sedikit perempuan menghabiskan jutaan rupiah demi mendapatkan gambaran yang digadang-gadang sebagai kulit ideal ini. Seorang peneliti dari Departemen Kajian Perempuan, Universitas Hawaii, Luh Ayu Saraswati melakukan riset dalam tema ini.

Dari penelitiannya, ia menerbitkan sebuah buku mengenai mitos kecantikan ideal berkulit putih yang marak di Indonesia. Mengapa orang lebih suka dengan warna kulit putih atau terang, persamaan serta perbedaan pandangan di dunia barat, dan bagaimana dunia advertising memanfaatkannya untuk mendongkrak pasar produk, dikupas tuntas dalam bukunya yang bertajuk: "Seeing Beauty, Sensing Race“.

DW: Apa pokok yang ingin dipaparkan dari penelitian soal warna kulit yang kemudian Anda terbitkan menjadi buku?

Luh Ayu Saraswati: Yang penting dalam riset ini adalah sejarah tentang bagaimana kebanyakan orang di Indonesia memandang warna kulit. Kedua, bagaimana kita memproduksi gagasan soal warna kulit, bukan hanya lewat pengetahuan, namun juga emosi. Maksudnya, kalau kita duduk di bangku kuliah selalu diajarkan menganalisa lewat pengetahuan, dituntut menjadi aktor rasional dengan mengabaikan emosi. Nah, dalam buku ini saya sebaliknya mengajak orang untuk memahami sesuatu dengan memakai emosi. Bukan saja membangun sejarah berdasarkan analisa literatur, namun emosi apa yang disentuh oleh karakter-karakter yang menjadi bagian dalam sejarah itu.

Dalam hal ini, gagasan soal warna kulit itu sendiri, bisa dilihat dari sudut pandang ras dan gender, mulai dari jaman pra-kolonial hingga kontemporer. Biasanya orang berasumsi bahwa keinginan memiliki warna kulit putih disebabkan karena kita dulu dijajah Belanda. Namun riset ini membuktikan bahwa sejak sebelum dijajah Belanda, kita sudah punya acuan bahwa orang lebih suka warna kulit yang lebih terang.

DW: Bagaimana menganalisa gagasan warna kulit itu dengan menggabungkan literatur sejarah dan emosi?

Luh Ayu Saraswati: Misalnya dalam epos Ramayana. Karakter-karakter para tokoh berkulit gelap diasosiasikan dengan perasaan yang menakutkan. Atau masih dalam epik itu, terdapat analogi atau metafora menakutkan, misalnya awan gelap itu akan diasumsikan dengan hal menakutkan. Kalau hal yang terang, diasumsikan dengan sesuatu yang menyenangkan.

Seeing Beauty Sensing Race, karya Luh Ayu Saraswati

Epos Ramayana, diadaptasi oleh Jawa dan kemudian Indonesia. Tokoh Sinta digambarkan cantik seperti bulan. Kita tahu bulan itu terang. Jadi terang dan putih, dianggap sebagai sesuatu yang positif, cantik. Karakter Raja Dasarata digambarkan bagaikan awan hitam, sementara Rahwana digambarkan berkulit gelap, dan itu membuat orang takut. Hitam, gelap, dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya.

DW: Epos Ramayana bukan asli Indonesia, berarti gagasan dari Asia Selatan juga terbawa ke Indonesia, maksud Anda?

Luh Ayu Saraswati: Tentu saja. Di dalam buku ini ditekankan bagaimana gagasan atau konsep mengenai warna kulit itu sifatnya trans-nasional. Gagasan kecantikan berkelana lalu masuk dari India ke Indonesia, dari Belanda ke Indonesia, dan menjadi bagian dari sejarah transnasional.

DW: Tapi kalau kita bandingkan di dunia barat, banyak produk malah untuk membuat kulit lebih gelap atau tanning, bukan?

Luh Ayu Saraswati: Orang ingin mengakses gagasan “kosmopolitan“, atau kemampuan untuk menjelajahi dunia. Artinya pula, orang-orang ingin punya akses pada dunia. Kulit warna tan atau kecoklatan, menunjukan status kosmopolitan ketimbang memang keinginan menjadikan kulit berwarna gelap.

Mari kita lihat perbandingannya. Di Indonesia, kita menemukan produk-produk pemutih kulit dengan slogan: “WHITE“ , “Ponds Fair and Lovely“, “Cyber White“, “White Detox“. Kata white, secara harfiah artinya memang warna “putih“. Sebaliknya, di banyak produk yang menjadikan warna kulit menjadi agak gelap, atau tan, di slogannya tak menggunakan kata “hitam“. Mereka menyebutnya “bronze“ artinya perunggu, atau “tanning“ atau agak coklat karena mandi matahari alias habis berlibur. Liburan merupakan salah satu bentuk status, kemewahan. Dengan demikian berkulit tan, juga menunjukan status.

DW: Jika di barat warna kulit gelap atau tan diasosiasikan dengan status, bagaimana dengan keinginan warna kulit menjadi putih, apa juga semata karena menunjukan status seperti di dunia barat?

Luh Ayu Saraswati: Tidak. Itulah letak perbedaannya. Jika di barat mereka ingin punya warna kulit agak gelap, karena untuk menunjukan status kosmopolitan, punya akses pada dunia, di Indonesia tujuannya pada akses akan sumber daya tertentu, atau upaya untuk bertahan hidup. Maksudnya begini, banyak orang berasumsi, bahwa perempuan berkulit terang, lebih mudah mendapat kerja, karena mitos-mitos yang saya sebut tadi – putih dianggap cantik dan positif --, rata-rata berpendapatan sekitar dua puluh juta sebulan, menikah, dan lain sebagainya. Ini lebih pada upaya survive atau bertahan hidup.

Misalnya waktu saya SMP, iklan krim pemutih yang saya ingat, disebutkan kulit terang itu desirable. Itu kan asosiasinya hasrat seksual dan bertahan hidup atau perbaikan ekonomi.

DW: Namun siapa yang bertanggung jawab atas terbentuknya gagasan putih itu cantik?

Luh Ayu Saraswati: Meski sudah dirunut dari sejarahnya, itu tetap menjadi misteri. Persoalannya adalah bagaimana kemudian konsep “putih itu cantik“ tersebut dibentuk dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan. Yang saya lakukan dengan riset ini adalah melihat siapa yang punya kekuasaan pada periode sejarahnya. Bagaimana orang berusaha menjadi bagian dari dunia? Siapa yang menentukan idealitas atas kecantikan? Siapa lagi kalau bukan pasar/market dan kapitalisme. Produksi, komoditas, dan bagaimana mengubah semuanya menjadi komoditas. Industri menciptakan iklan, yang kemudian menciptakan hasrat, misalnya untuk memiliki kulit terang. Bagaimana mempertahankan gagasan itu agar produk bisa dijual, dan supaya orang tetap berlomba-lomba membeli produk mereka.

Penulis Indonesia yang berdomisili di Hawaii, Luh Ayu Saraswati
Luh Ayu Saraswati, penulis Indonesia yang berdomisili di Hawaii.Foto: privat

Industri advertising dan pasar begitu cerdas mengetahui apa hasrat konsumen. Mereka melakukan riset pasar dan membuat orang senang dengan produk itu di banyak periode.

Hegemoni bekerja, selalu bergerak sesuai dengan perkembangan jaman. Gagasan kecantikan itu berubah sesuai perkembangan jaman, tapi yang digemari tetap warna kulit putih.

DW: Apakah kegemaran itu hanya di perkotaan atau juga pedesaan?

Luh Ayu Saraswati: Selain melakukan riset literatur, saya melakukan wawancara dengan perempuan-perempuan yang tinggal di Amerika Serikat, Kanada dan Indonesia. Di Indonesia saya mewawancarai responden di Jakarta dan Balikpapan. Tapi banyak di antara mereka yang merupakan pendatang. Misalnya dari Maluku dan lain-lain. Di daerah-daerah terpencil, juga menyebar gagasan bahwa kulit terang atau putih itu cantik. Nah kalau orang-orang yang tinggal di luar negeri, mereka menyadari bahwa kulit mereka yang agak gelap punya daya tarik tersendiri. Itupun saya alami sendiri, orang-orang barat menyebut kita punya kulit eksotis. Sebenarnya saya sendiri kurang suka dibilang eksotik, memangnya saya hewan langka? Hahahaha... Tapi ya itu tadi, jadi berkulit gelap pun ada pasarnya tersendiri...

DW: Anda sudah sebutkan bahwa hingga kini gagasan itu tetap ada, namun apakah mungkin ada sedikit pergeseran gagasan, paling tidak?

Luh Ayu Saraswati: Buku ini mendokumentasikan bagaimana perempuan punya rekomendasi sendiri bagi perempuan lain. Misalnya mereka pun mulai mendobrak gagasan itu, tak terlalu mendewakan kulit putih. Ada yang tak mengijinkan anak lelakinya terus menerus nonton saluran televisi asing, karena takut anaknya jika sudah besar, maunya hanya dengan perempuan berkulit putih. Ada lagi responden lain yang cerita dulunya selalu pakai krim pemutih, lalu bosan sendiri, tak putih-putih. Ketika mendapat kerja dia betul-betul berhenti membeli krim pemutih dan tahu bahwa mereka bisa dapat pekerjaan dengan mengandalkan otak.

Luh Ayu Saraswati, PhD merupakan pengajar di Department Kajian Perempuan, Univeritas Hawaii, Manoa. Feminis yang banyak menghabiskan waktunya di Kanada dan Amerika Serikat ini adalah peneliti feminisme transnasional, gender dan globalisasi, pakar kajian studi perempuan Asia-Amerika.