1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dalai Lama Akan Pensiun Sebagai Pimpinan Politik

10 Maret 2011

Dalai Lama mengumumkan akan mengundurkan diri sebagai pemimpin politik Tibet di pengasingan, namun akan terus melanjutkan perjuangan rakyat Tibet , dalam peranannya sebagai pemimpin spiritual.

https://p.dw.com/p/10Wrh
Dalai LamaFoto: picture-alliance/ dpa

Dalam pidatonya memperingati pemberontakan Tibet tahun 1959, yang jatuh pada hari Kamis (10/03) ini, pemimpin spritual Tibet, Dalai Lama menyatakan akan memulai proses pengalihan otoritasnya, dalam rapat parlemen yang akan digelar pekan depan. Dikatakannya, sejak awal tahun 1960-an, ia telah berulangkali menekankan bahwa rakyat Tibet membutuhkan seorang pemimpin, yang dipilih secara bebas oleh rakyat Tibet -- kepadanya saya akan mengalihkan kekuasaan. Demikian ujar penerima Nobel Perdamaian tersebut, di Dharamshala, yang merupakan lokasi pemerintahan Tibet di pengasingan. Letaknya di utara India.

Dalai Lama baru berusia 15 tahun ketika ditunjuk sebagai „kepala negara „ Tibet, pada tahun 1950, tentara Cina kemudian menguasai kawasan yang terletak di pegunungan Himalaya itu dan mendongkel kekuasaannya. Tahun 1959 , Dalai Lama lolos dari upaya penangkapan tentara merah dan mengungsi dari tanah airnya setelah kegagalan pemberontakan Tibet terhadap Cina. Sejak saat itulah pemerintahan dipimpin di pengasingan, hingga sekarang.

Selama ini kesetiaan rakyat Tibet terhadap tokoh spiritual itu sangatlah besar. Namun hal itu beriringan pula dengan perpecahan dalam gerakan yang dipimpinnya. Beberapa faksi menginginkan langkah yang lebih radikal dan tak setuju dengan kampanye tanpa kekerasan yang dilakukannya, untuk memperjuangkan otonomi seseungguhnya.

Dalam pidatonya kali ini di Dharamshala, Dalai Lama mengatakan, ia tahu akan kesungguhan loyalitas rakyat Tibet yang menginginkan agar ia tetap menjadi pemimpin politik. Namun lelaki berusia 75 tahuh itu, memohon pengertian mereka atas keputusannya. Ujarnya, keinginan untuk memindahkan kekuasaan, bukanlah untuk melalaikan tanggungjawab yang diemban, melainkan demi masa depan Tibet sendiri. Dan bukan pula karena ia merasa kecil hati. Namun dalam pidatonya itu, ia berjanji tak menarik diri sepenuhnya dalam kehidupan kemasyarakatan dan tetap berkomitmen memperjuangkan isu Tibet di dunia internasional.

Dalam peringatan 52 tahun pemberontakan Tibet, jalan-jalan di Dharmasala, dipenuhi oleh orang-orang yang berjualan bendera singa salju Tibet, sementara para aktivis muda menempelkan poster di dinding-dinding. Bagi warga Tibet, 10 Maret menjadi hari paling menyakitkan dimana mereka kehilangan tanah airnya. Namun juga merupakan hari menanamkan optimisme akan masa depan Tibet. Seperti optimisme yang diungkapkan seorang biksu, Palden Gyatso, yang telah berusia sekitar 80 tahun, kepada Deutsche Welle: “Saya sagat yakin, bahwa perjuangan kami akan kebebasan Tibet akan berhasil. Karena kaum muda kami memiliki lebih banyak energi dan tak kenal takut untuk mengajukan protes atau berdemonstrasi. Meski Cina selalu lebih sukses dan berkuasa di dunia, kami tidak akan menyerahkan tanah air kami begitu saja.“

Ayu Purwaningsih/Woltersdorf/afp/dalailama.com/

Editor: Hendra Pasuhuk