1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dampak Bencana Banjir Mulai Dirasakan Warga Pakistan

19 Agustus 2010

Air mulai surut. Kini akibat banjir tampak jelas di Pakistan. Menurut PBB, 5 juta warga terkena dampaknya. Banyak yang kehilangan segala harta bendanya.

https://p.dw.com/p/OrO4
Foto: AP

Lumpur yang sangat bau masih setinggi mata kaki. Padahal Fezel Iqbal dan rekan kerjanya sudah berhari-hari berusaha mengurangi timbunan lumpur dengan mengeluarkannya dari dalam bangunan. Rumah yang sekarang berwarna kecoklatan karena lumpur dulunya berwarna putih. Disanalah Iqbal mengelola restoran yang terkenal di seluruh Pakistan. "Pengunjung restoran datang dari Lahore hingga Karachi. Dulu ini adalah restoran yang luar biasa. Kadang dalam satu malam ada 400 tamu yang datang." Fezel Iqbal tampak bangga saat bercerita.

Banjir datang hanya beberapa jam setelah restoran tutup di tengah malam. Dapur dan ruang makan restoran tidak bisa dikenali lagi. Kotoran berwarna abu-abu yang keras mengering ada dimana-mana. Di kursi, bantal, dan kulkas. Pemanggang dan kompor pada awalnya tidak bisa dimatikan. Iqbal menunjukkan teras restoran yang lebih kotor lagi. Selama 15 tahun fokus utamanya adalah restorannya. "Ayah saya mendirikan restoran ini dan ia selalu duduk disini. Disinilah ia memanggang ikan. Saat ia melihat reruntuhan bangunan, ia mulai menangis."

Di sisi jalan yang lain, Majid Dary tengah meninjau apa yang masih tersisa dari toko perabotannya. Lemari-lemari buatan tangan ada di ruang penjualan. Tetapi ia tidak bisa menjualnya lagi. Air kotor dan lumpur telah merusaknya. "Kami bekerja keras selama 20, 25 tahun. Semua usaha keras kami hancur dalam satu malam. Masih sangat sulit bagi saya untuk menyadarinya."

Tetapi Dary tidak punya pilihan lain. Ia harus memulai lagi dari nol. Beberapa bulan ke depan, ia mau berjualan mebel kembali. Dan ia berharap, suatu saat nanti bisa makan ikan panggang di restoran milik Fezel Iqbal. Iqbal sendiri punya satu rencana. "Pertama-tama, kami harus mengeluarkan semua lumpur. Lalu kami akan berusaha membersihkan kursi dan meja. Kemudian mencuci bersih seluruh bangunan. Entah bagaimana caranya. Lalu dapur baru harus dipesan. Dan kemudian, mungkin kita bisa membuka restoran lalu dan melayani pengunjung."

Bagaimana ia akan membayarnya, ia tidak tahu. Ia tidak memiliki jaminan asuransi. Ia tidak memiliki uang tabungan di bank. Dan dari pihak pemerintah, ia pesimis akan bisa memperoleh ganti rugi walau pun hanya satu sen.

Jürgen Webermann / Vidi Legowo-Zipperer

Editor : Hendra Pasuhuk