1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dan Ormas-ormas Pun Bermutasi ...

25 Juli 2017

Dan pada waktunya, Anda pun bisa yakin, perppu ormas tidak akan benar-benar mengganggu mereka yang berpihak kepada penguasa. Simak opini Geger Riyanto

https://p.dw.com/p/2h7E5
Indonesien | Proteste in Jakarta
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry

Episode ini mungkin sudah samar dalam ingatan kita. Tapi, sesungguhnya, ada hari-hari di mana presiden kita dapat mengatakan dengan enteng, ia dapat menghilangkan anggota MPR bila menginginkannya. Suharto menyampaikan hal ini dalam pembukaan Rapat Pimpinan ABRI pada 1980 di Pekanbaru.

"Dua per tiga daripada anggota (MPR) dapat, jika mereka menghendaki, mengubah konstitusi,” tegasnya saat itu. "Daripada menggunakan senjata dalam menghadapi perubahan UUD 1945 dan Pancasila, kami lebih baik menculik seorang dari dua per tiga anggota yang menghendaki perubahan.”

Penulis: Geger Riyanto
Penulis: Geger RiyantoFoto: Privat

Pada tahun yang sama, kalau Anda juga ingat, sejumlah tokoh terkemuka bergabung membacakan Petisi 50 di depan para anggota DPR. Petisi tersebut merupakan tanggapan terhadap pernyataan-pernyataan Presiden yang mengancam secara terbuka lawan politiknya.

Apa yang terjadi selanjutnya?

Suharto menggolongkan mereka dalam ceruk yang sama. Mereka adalah para pembangkang Pancasila. Para penandatangan Petisi 50, ibarat kata, menandatangani surat pencabutan hak-hak sosial-politik mereka sendiri. Nasution, Ali Sadikin, Hoegeng, tokoh-tokoh yang tergabung di dalamnya, tak bisa memperoleh pinjaman bank, kontrak pemerintahan, kehilangan hak perjalanan.

Hari-hari tersebut kini mungkin terasa sangat jauh. Bagaimana presiden kita sekarang dibandingkan presiden yang kita miliki saat itu? Keduanya adalah sosok yang berbeda jauh, saya yakin. Kita saat ini memiliki presiden yang relatif lebih terbuka dengan kritik—dan, tentu saja, bukan semata karena beliau pada dirinya sendiri lebih melainkan juga karena kondisi zaman yang juga berbeda.

Namun, peristiwa ini adalah pengingat yang tepat waktu. Pancasila, yang kini menjadi patokan untuk memberangus ormas yang satu dan membiarkan ormas yang lain, adalah teks yang senantiasa berwatak multitafsir. Dan apa yang didemonstrasikan oleh Suharto dengan sangat telanjang pada saat itu adalah tafsir Pancasila yang dibekingi kekuatan tanpa pengawasan adalah tafsir yang rawan korup.

Semua yang menentang Suharto adalah lawan Pancasila. Para pendukungnya, dengan sendirinya, adalah pendukung Pancasila.

Dakwaan: komunis

Dan jangan lupa, pada hari-hari yang sama, apa yang dilakukan Suharto menjadi suri teladan bagi kesewenangan-kesewenangan di berbagai lini dan tempat. Suharto menjadi pengejewantahan yang semena-mena untuk Pancasila. Akan tetapi, Pancasila juga menjadi perkakas para penenteng senjata untuk menyerobot hak hidup orang-orang di mana-mana.

Lembaga bantuan hukum, dari waktu ke waktu, menerima laporan tanah para petani diserobot tentara. Cara untuk membungkam para petani ini dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu? Dakwaan komunis. Dengan menyandangkan label musuh Pancasila tersebut, tentara serta-merta saja memiliki semua kekuatan untuk melucuti hak mereka sebagai warga negara.

Dan, pada kenyataannya, cara tersebut masih menjadi siasat yang awet mematahkan tuntutan-tuntutan masyarakat akan hak mereka. Jauh sebelum para petani Kendeng menghampiri pusat kekuasaan di Jakarta untuk menyuarakan keresahan mereka, mereka sudah bolak-balik bertanya ke pemerintahan desa, kantor bupati, serta menyelenggarakan istigasah di desa-desa. Hasilnya? Tuduhan komunis menghinggapi mereka dari preman hingga polisi.

Salah satu kecaman yang mereka terima: "Hanya orang-orang komunis yang melawan pemerintah.”

Tetapi, Anda tak perlu jauh-jauh menelisik ke bawah—ke konflik-konflik agraria yang jauh dari sorotan media massa maupun media sosial—untuk mengetahui Pancasila menjadi cara yang tak seberadab namanya guna, ironisnya, melumpuhkan keadilan sosial. Ada sosok vokal nan bersemangat bernama Kivlan Zen yang berulang kali menandaskan keyakinannya bahwa di setiap seluk beluk kehidupan kita, komunisme sudah menyiapkan kebangkitannya, dan pihaknya siap berperang menghancurkannya.

Apakah Anda percaya Kivlan Zen sendiri?

Entah mengapa, saya tidak. Tak hanya sekali-dua kali saya mendengar cerita, dalam seminar yang digelar angkatan darat teori-teori konspirasi tersebut berlalu-lalang dengan sangat bebas dan mencekam para pendengarnya hingga siap mengangkat senjata.

Dan pada waktunya, Anda pun bisa yakin, perppu ormas tidak akan benar-benar mengganggu mereka yang berpihak kepada penguasa. Pada kurun puncak dari penerapan asas tunggal Pancasila, kita justru menemukan Pemuda Pancasila, nama untuk satu ormas yang giat dalam menarik uang keamanan, mengintimidasi musuh politik penyewanya, di puncak kejayaannya.

Di pengujung penerapan perppu ormas, karenanya, Anda tak akan menemukan ormas-ormas merunduk dari pantauan negara seperti di saga-saga perlawanan yang romantis. Anda akan menemukan ormas-ormas bermutasi menjadi ganjil dan meriah—beramai-ramai menaruh Islam dan Pancasila di nama dan dasar organisasinya. Tak lupa, mereka akan kian giat melibatkan dewan pengawas yang terdiri dari para purnawirawan yang bisa menjamin mereka.

Kita, toh, hidup di masa yang demikian. Ini bukan soal prinsip. Ini soal kemanutan dengan penguasa.

Penulis:

Geger Riyanto (ap/hp)

Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.