1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kriminalitas

Darah Narkoba di Tangan Jokowi

24 November 2017

Perang narkoba yang dilancarkan Presiden Joko Widodo tahun ini telah membuahkan 92 pembunuhan ekstra yudisial. Pemerintah semakin sulit menggunakan kredo darurat narkoba sebagai pembenaran.

https://p.dw.com/p/2oBm2
Indonesien Präsident Joko Widodo im Erdbebengebiet
Foto: Reuters/D. Whiteside

Ketika Presiden Joko Widodo Juli silam berucap agar pengedar narkoba asing dibunuh dan "tidak diberi ampun" jika "sedikit melawan," tidak banyak yang mengira Indonesia serius meniru perang narkoba di Filipina. 

Seperti yang dilaporkan Vice News, polisi sejauh ini telah membunuh 92 tersangka pengedar narkoba. Padahal hingga Juli silam angka kematian dalam perang narkoba yang dilancarkan Jokowi baru berjumlah 55 orang. Vice News mencatat hingga November tahun lalu polisi hanya menewaskan 18 tersangka pengedar narkoba.

Data tersebut membuktikan ucapan sang presiden ditanggapi serius oleh aparat kepolisian. Istana Negara selama ini menggunakan dalih  darurat narkoba untuk membenarkan pembunuhan ekstra yudisial oleh polisi. "Karena betul-betul kita ini ada pada posisi yang darurat di dalam urusan narkoba," ujar Jokowi, Juli lalu.

Ia mendukung kebijakan garis keras yang dianut Kapolri Tito Karnavian dan Kepala Badan Narkotika Nasional Budi Waseso dalam menanggulangi peredaran obat terlarang.

Sejak awal menduduki RI-1, Jokowi menetapkan penanggulangan narkoba sebagai agenda utama.  Ia sejauh ini telah memerintahkan eksekusi mati terhadap 18 terpidana narkoba kelas berat.

Setelah mendapat tekanan besar, pemerintah akhirnya menangguhkan eksekusi terhadap 30 terpidana mati lainnya. Kementerian Hukum dan Ham juga mengkaji opsi pengampunan bersyarat yang menukar hukuman mati dengan penjara seumur hidup.

Namun jika menyimak angka penyalahgunaan narkoba, sejauh ini belum ada indikasi kebijakan garis keras yang dijalankan Jokowi membuahkan hasil. Jika angka pengguna narkoba berkisar 5,1 juta orang pada 2013 silam, tahun ini BNN mencatat kenaikan signifikan menjadi 6 juta orang.

Kepada Vice News, pemerhati HAM dari Amnesty Internasional, Bramantya Basuki menilai kepolisian tidak memiliki alasan yang jelas untuk membenarkan pembunuhan di luar pengadilan tersebut. "Apa yang pasti polisi tidak bisa menjawab pertanyaan dari warga sipil atau intelektual tentang kenapa angka pembunuhan tersangka pengedar narkoba sedemikian tinggi," ujarnya.


"Polisi hanya mengatakan apa yang mereka lakukan sudah sesuai prosedur. Tidak ada jawaban lain."

rzn/yf (vicenews, kompas, tribun, detik)