1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

151111 Öl Arabische Länder

Renata Permadi16 November 2011

Puluhan tahun emas hitam menjadi motor pembangunan di dunia Arab. Era itu akan berakhir, seiring menipisnya cadangan minyak dan gas bumi, tapi masyarakat Arab tidak disiapkan beralih ke ekonomi hijau.

https://p.dw.com/p/13BVW
ARCHIV - Erdöl wird mit Hilfe eines Tiefpumpenantriebes ("Pferdekopf") gefördert (Archivfoto vom 21.05.2008, Illustration zum Thema Ölförderung). Die OPEC wird ihre Öl-Förderung ab November um 1,5 Millionen Barrel (je 159 Liter) pro Tag kürzen. Damit will das Kartell den seit Monaten andauernden Preisverfall bei Rohöl stoppen. Dies teilte der iranische Ölminister Gholam-Hossein Nosari am Freitag 24.10.2008 nach einem Treffen der 13 OPEC-Ölminister in Wien mit. Der Preis für Rohöl war in den vergangenen Monaten von seinem historischen Höchststand von etwa 150 Dollar pro Barrel auf rund 60 Dollar gesunken. Foto: Sebastian Widmann dpa +++(c) dpa - Bildfunk+++
Perlindungan lingkungan dikesampingkan dalam produksi dan pemasaran minyak dari ArabFoto: picture alliance/dpa

Minyak bukan hanya mendatangkan uang bagi dunia Arab. Biaya untuk menangani kerusakan lingkungan di kawasan itu juga meningkat. Sementara ini berkisar 95 miliar dolar per tahun. Demikian kata Murad Ahmad al-Faqih dari Organisasi untuk Perlindungan Lingkungan di Yaman.

Ia terutama mengkritik kecilnya arti perlindungan lingkungan dalam produksi dan pemasaran. Tidak lama lagi produk yang dihasilkan di wilayah Arab tidak punya daya saing, begitu kekuatiran al-Faqih.

"Negara-negara Arab tidak punya pilihan. Ini bukan tentang apakah mereka mau atau tidak menerapkan ekonomi hijau. Mereka harus melakukannya. Di satu pihak kita sangat butuh pertumbuhan ekonomi, di lain pihak kita harus melindungi lingkungan", kata al-Faqih.

Kenyataan ini tampaknya belum diterima secara umum di kawasan Arab. Bisa dilihat dari laporan Forum Arab untuk Lingkungan dan Pembangunan (AFED), berkedudukan di Beirut, yang tahun ini mengulas ekonomi hijau secara panjang lebar. Organisasi non pemerintah itu meragukan kemampuan negara-negara Arab untuk mengatasi tantangan dekade mendatang, jika tidak dilakukan reorientasi mendalam.

Istilah asing

Memang ada sejumlah contoh positif bagi ekonomi yang ramah lingkungan. Misalnya Masdar, kota berteknologi tinggi yang netral karbon di Abu Dhabi, proyek pemanfaatan panas bumi di Yordania atau pertanian organik-biologis di Mesir dan Libanon. Tapi prakarsa semacam itu tidak mengubah tren. Pembangunan berkelanjutan tetap merupakan istilah asing di sebagian besar dunia Arab.

Satu contoh tentang politik yang keliru adalah sektor energi. Dalam hal emisi per kepala, Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait dan Bahrain adalah juara dunia karbon dioksida. Ini juga karena kurangnya dorongan untuk menghemat energi, kata Ibrahim Abdel Gelil, pakar manajemen lingkungan di Universitas Manama di Bahrain.

"Negara memberi subsidi sangat besar bagi harga listrik. Konsumen hanya harus menanggung 20% biaya. Tapi memangkas subsidi bukan keputusan yang populer, karenanya tidak dilakukan. Negara-negara Teluk juga mengutamakan cabang industri yang penggunaan energinya sangat tinggi, seperti produksi aluminium atau semen. Sampai kini belum ada reorientasi“, kata Gelil.

Cabut subsidi

Minyak dan gas bumi masih masih merupakan cabang industri terkuat di negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk. Di Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, minyak dan gas bumi menghasilkan 40 sampai 60% produk domestik brutto. Negara-negara ini juga mencatat angka tertinggi dalam penggunaan energi listrik per kepala di dunia Arab, yang secara umum melebihi konsumsi rata-rata dunia.

Menurut Abdel Gelil, pakar manajemen lingkungan Bahrain, sudah saatnya dunia Arab mengubah haluan, mengingat kawasan ini begitu kaya akan sumber energi terbarukan. Investasi harus dialihkan pada penelitian sumber energi alternatif.

Sebagai langkah pertama menuju ekonomi hijau, Forum Arab untuk Lingkungan dan Pembangunan mendesak pencabutan subsidi untuk bahan bakar, listrik dan air. Uang yang dihemat dapat digunakan untuk menciptakan tempat kerja dan mendorong penelitian.

Mona Naggar/ Renata Permadi

Editor: Hendra Pasuhuk