1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Diaspora Indonesia Bantu Pengungsi Ukraina

24 April 2022

Fransiska Fischerauer adalah seorang relawan asal Indonesia yang membantu pengungsi Ukraina di Jerman. Ikuti kisahnya.

https://p.dw.com/p/4AITT
Fransiska Fischerauer, warga Indonesia di Hamburg
Fransiska Fischerauer, warga Indonesia di Hamburg bersama kawannya MarthaFoto: privat

"Memprihatinkan sekali kondisinya. Mereka terlihat sedih, kecewa, lelah. Mereka benar-benar membutuhkan bantuan, baik itu fisik maupun mental,” demikian  diceritakan warga Indonesia Fransiska Fischerauer yang membantu para pengungsi Ukraina di Jerman. "Mereka diselimuti kekhawatiran karena harus meninggalkan suaminya. Suami-suami mereka harus berjuang di Ukraina, di negaranya. Lalu juga harus meninggalkan keluarga, seperi nenek dan kakek yang tidak bisa ikut ke Jerman atau ikut ke negara lain, Polandia, karena kondisi mereka yang tidak memungkinkan, terlalu tua atau sakit. Ada yang membawa koper, baju-baju. Ada juga yang hanya dengan membawa badan saja, yang penting menyelamatkan anak-anak mereka. Kebanyakan mereka perempuan. Jadi istri-istri ini, perempuan, atau remaja perempuan, membawa adik-adik dan anak-anaknya untuk mengungsi ke negara-negara yang lebih aman. Jadi, benar-benar menyedihkan kondisi mereka, memprihatinkan," ungkap Fransiska.

Awal mula ia membantu pengungsi Ukraina adalah karena sempat magang kerja di Kampus HAW, Hamburg. Di sana ia  waktu itu mengorganisir dengan cara melalui situs dan media sosial. "Dengan bantuan teman saya, Martha, kami membuka informasi dalam tiga bahasa: Bahasa Jerman, Inggris, dan Ukraina. Karena ada juga pengungsi-pengungsi yang tinggal di Ukraina, tetapi mereka tidak bisa berbahasa Ukraina. Karena ada juga, misalnya, dari Kedutaan Besar, atau orang-orang asing yang tinggal di Ukraina. Jadi, kita sengaja memakai bahasa Inggris juga. Jadi, dalam tiga bahasa," ungkapnya. Lalu, mereka bisa mendaftarkan diri.

Dari situ Fransiska dan kawan-kawannya tahu jumlah mereka dan kebutuhannya, "Supaya bantuannya tepat Lalu, saya juga ada posting di Facebook, media sosial lainnya. Di Instagram saya juga kirim ke orang-orang, seperti biasa dengan tiga bahasa ini: Inggris, Jerman, dan bahasa Ukraina. Supaya lebih tepat sasaran untuk orang-orang yang ingin membantu dan orang-orang yang membutuhkan bantuan,” tambahnya.

Banyak WNI membantu

Banyak orang Indonesia yang tinggal di Jerman turut membantu, namun sebagian diaspora Indonesia  tidak tahu bagaimana caranya.”Jadi dengan menghubungi saya, mereka lebih tepat sasaran, bisa mengirim barang ke saya atau langsung ke penampungan-penampungan. Saya beri alamat-alamatnya,” kata Fransiska.

Fransiska mengakui banyaknya tantangan dalam menyalurkan bantuan. "Kesulitannya dalam bahasa juga. Hanya beberapa orang yang bisa menerjemahkan. Jadi, ada juga yang bisa bahasa Inggris, mereka lalu menerjemahkan," ujarnya. Kemudian juga dalam pengiriman barang, "Ada barang-barang tertentu yang tidak boleh dikirim lagi, seperti selimut dan baju karena sudah terlalu banyak," katanya lebih lanjut. Banyak kebiasaan orang Jerman, yang ingin mengosongkan lemari baju mereka, demikian menurut Fransiska."Jadi sekalian. Mereka terkadang berpikir: daripada saya mengeluarkan baju-baju yang tidak muat lagi, tidak saya perlukan lagi, tidak pakai, lebih baik saya kasih ke pengungsi. Padahal sebenarnya ini sudah banyak sekali. Mereka lebih membutuhkan makanan, mungkin selimut tidak apa-apa, obat-obatan mereka butuh," tandas perempuan yang bermukim di Hamburg ini.

Bukan pertama kalinya Fransiska ikut dalam kerja sosial. Dulu ia ikut organisasi  relawan yang membantu pengungsi dari Timur Tengah. "Kebanyakan mereka tidak mempunyai baju-baju hangat karena di negaranya panas. Jadi, lebih dibutuhkan yang lebih hangat. Dan juga sepatu, ukuran mereka lebih kecil daripada orang-orang Jerman. Jadi, harus tepat sasaran, bukan sepatu besar-besar dikirim lalu tidak muat ke pengungsi," tandasnya mengingatkan.

"Saya juga pernah membantu juga di penampungan anak-anak pengungsi dari Timur Tengah. Timur Tengah itu banyak sekali, ada Suriah, ada Afganistan juga, ada pengungsi dari Afrika Utara juga. Dan mereka ini datang ke sini benar-benar tidak bisa bahasanya sama sekali. Mereka itu mempunyai huruf yang alfabetnya berbeda dengan latin. Jadi, mereka benar-benar harus belajar ‘abcd' lagi. Dan saya kebetulan terlibat dengan anak-anak imigran yang datang ke Jerman dan harus mengajarkan mereka menulis dengan huruf latin, mengajarkan mereka bahasa Jerman dan bahasa Inggris juga karena hanya sedikit juga yang datang ke sini yang bisa berbahasa Inggris," ungkap Fransiska.

Membantu tanpa pandang bulu

Selain Fransiska, beberapa perempuan asal Indonesia di Jerman juga banyak yang terlibat dalam bantuan sosial. Agnes Winarti misalnya. Saat gelombang pengungsi Suriah memasuki Jerman, ia bahkan menyediakan rumahnya untuk ditampungi anak-anak pengungsi. "Orang tuanya ada yang meninggal (ID): Diaspora Indones... di perang, jadi butuh pertolongan dan kasih sayang. Kami mencarikan rumah-rumah di sini yang bisa menampung mereka," ujar Agnes. Saat itu kesulitannya adalah pengungsi remaja banyak yang mengalami stres."Di situlah kita juga mencari bantuan psikolog untuk membantu mereka. Kita harus mengerti beratnya pengalaman yang mereka alami," ujar Agnes yang mengaku juga mengalami kesulitan beradaptasi ketika tiba di Jerman tahun 2000.

Menjadi migran yang datang dari Indonesia ke Jerman, juga membuat Franssika tergerak menolong sesama migran. "Kita di negara asing sendirian, butuh bantuan. Kamu butuh komunikasi. Kamu butuh seseorang untuk bersandar. Kamu butuh pakaian karena di sini, di Jerman dingin. Tidak tergantung suku, agama, ras, atau pandangan politiknya apa, semuanya kami bantu di sini,” tandas ibu rumah tangga ini.  "Saya pun tidak sendiri, jadi beberapa orang juga yang berjiwa sosial seperti saya juga berpikiran sama dan mari kita membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan terlepas dari agama, suku, ras, politik. Kita bantu semua orang yang kesusahan. Manusia tetap manusia, terlepas dari agama, suku, politik. Di mata kita itu mereka manusia yang membutuhkan bantuan,” pungkasnya.