1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dilema Alkohol Maut Indonesia

13 Februari 2013

Indonesia menghadapi dilema. Upaya mencegah kebiasaan minum alkohol dengan mengenakan pajak yang tinggi justru menciptakan pasar gelap: minuman keras ilegal yang membahayakan nyawa manusia. Sudah banyak jatuh korban.

https://p.dw.com/p/17dGm
Foto: picture-alliance/dpa

Awang, tahun lalu sempat mengalami kritis setelah menenggak minuman keras oplosan yang dia beli di sebuah kios pinggir jalan. Empat kawannya yang juga menenggak minuman sama, mati dua hari kemudian.

“Ada kios baru yang menjual minuman keras murah, jadi kami ingin mencoba,” kata Awang, 30 tahun. Ia hidup dari mengamen di Citeureup, sekitar 30 kilometer sebelah selatan Jakarta. Dia tak mampu membeli minuman alkohol berkualitas baik.

“Saya pikir, saya akan mati ketika merasa dada terbakar dan tidak bisa bernafas,” kata dia.

Puluhan orang Indonesia tewas setiap tahunnya setelah mengkonsumsi minuman beracun seperti methyl alcohol dan bahkan cairan pengusir nyamuk.

Tak ada angka resmi, namun media lokal di Indonesia secara rutin memberitakan kasus seperti itu.

Pajak Tinggi = Pasar Gelap

Minuman alkohol berkualitas adalah subyek pajak yang dikenal cukai hingga 400 persen, dalam undang-undang tahun 2010 yang berlaku.

Pemerintah berpendapat bahwa harga minuman beralkohol yang mahal akan mencegah orang menjadi pemabuk atau peminum berat. Namun para pengkritik mengatakan bahwa kebijakan itu hanya mendorong munculnya pasar gelap bagi minuman keras yang diproduksi secara ilegal.

Para penjual kadang-kadang mencampur tuak lokal dengan ethanol atau methanol. Cairan yang harganya 1 dollar Amerika per liter ini memberi efek lebih keras, produk campurannya lalu diiklankan sebagai ramuan kesehatan tradisional.

“Pemberlakuan pajak yang tinggi atas alkohol telah memaksa orang untuk memproduksi minuman beralkohol sendiri,” kata Ida Bagus Made Wijaya, Ketua Asosiasi Turis Indonesia. “Kreativitas mereka sering berkonsekuensi yang mematikan.”

“Para korban seringkali adalah orang miskin yang ingin mabuk tapi tidak mampu membeli alkohol yang diproduksi secara legal,” kata dia.

Minuman beralkohol yang mahal di Indonesia juga membuat turisme Indonesia kurang kompetitif kata Made Wijaya sambil menambahkan bahwa kebijakan itu juga telah menyebabkan penyelundupan alkohol merajalela.

“Tak ada perlunya memberlakukan pajak yang sangat tinggi pada alkohol untuk mencegah kebiasaan orang minum,” kata dia. ”Pemerintah hanya perlu memperketat pelaksanaan hukum yang mengatur soal produksi, penjualan dan distribusi (minuman beralkohol-red).”

Banyak Korban

Isu minuman keras beracun menjadi sorotan bulan lalu setelah seorang remaja Australia bernama Liam Davies tewas setelah menenggak minuman keras oplosan di Lombok, saat malam pergantian tahun lalu.

Davies bukan orang asing pertama yang tewas akibat mengkonsumsi alkohol beracun.

September 2010, tiga perakit pesawat Sukhoi tewas setelah menenggak minuman keras oplosan. Setahun setelah itu, empat awak kapal asal Rusia juga tewas sementara tiga lainnya sempat mengalami kondisi kritis.

Pada tahun 2011 seorang warga Australia juga tewas dan beberapa lainnya mengalami kerusakan otak setelah menenggak minuman tradisional di Bali.

Kematian orang asing sering menjadi berita utama, namun sebagian besar korban adalah warga Indonesia.

Aturan Lebih Ketat

Setiap tahun polisi menyita ribuan liter minuman keras lokal yang diproduksi secara ilegal, namun sebagian besar perdagangan minuman buatan sendiri itu tidak termonitor, kata anggota parlemen dari partai Islam yakni Partai Keadilan Sejahtera, Mahfudz Siddiq.

“Ini adalah sebuah isu yang penting,” kata dia. ”Di banyak tempat di Indonesia ada minuman keras lokal tapi mereka tidak pernah diperiksa oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.”

Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Dalam tradisi Islam, minuman keras adalah dosa, dan statistik Badan Kesehatan Dunia WHO menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia minum minuman beralkohol kurang dari 1 liter antara tahun 2003 hingga 2005.

Departemen Dalam Negeri tahun lalu mencabut sejumlah aturan lokal yang melarang penjualan minuman beralkohol karena dianggap bertentangan dengan hukum nasional.

Di bawah hukum itu, minuman yang mengandung 5 persen alkohol atau kurang bisa dijual bebas, sementara minuman yang lebih keras hanya bisa dijual di hotel, restoran atau tempat-tempat yang biasa dikunjungi turis.

Parlemen kini sedang menyusun sebuah undang-undang baru yang berusaha untuk lebih mengatur minuman beralkohol, kata Ahmad Yani seorang anggota DPR dari partai Islam yakni Partai Persatuan Pembangunan.

“Minum minuman keras itu buruk, tapi mengkonsumsi minuman keras beracun itu lebih buruk lagi, jadi kami perlu hukum yang lebih ketat yang mengatur berbagai aspek alkohol termasuk soal impor, produksi, penjualan dan distribusi,” kata dia.

“Terlalu banyak orang yang mati karena minuman keras ilegal dan kita perlu mengambil tindakan.“

Dia mengatakan, anggota parlemen sedang mencari masukan dari para ahli dan membantah laporan bahwa aturan itu akan melarang sama sekali penjualan minuman beralkohol di Indonesia.

ab/ ek (DPA/ AP/ AFP)