1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dilema Jerman Menghadapi Ketegangan AS-Cina-Taiwan

5 Agustus 2022

Kunjungan Nancy Pelosi ke Taiwan telah meningkatkan ketegangan antara AS dan Cina. Apa dampaknya bagi Jerman, yang menjalin hubungan dengan kedua negara?

https://p.dw.com/p/4FAD1
Dukungan terhadap Nancy Pelosi di Taipei
Dukungan terhadap Nancy Pelosi di TaipeiFoto: Ann Wang/REUTERS

Kantor representasi Taiwan, Shieh Jhy-Wey di Berlin lokasinya tidak jauh dari Kedutaan Besar Cina, kurang dari setengah jam berjalan kaki. Tapi secara politik, keduanya terpisah sangat jauh. Kunjungan ketua parlemen AS Nancy Pelosi ke Taiwan telah meningkatkan ketegangan antara Beijing, Washington dan Taipei. Shieh Jhy-Wey kepada DW mengatakan, ketegangan itu pada garis besarnya tidak hanya berkaitan dengan Taiwan dan Cina, melainkan merupakan ketegangan antara "dua sistem nilai": kediktatoran dan demokrasi.

Kebijakan luar negeri Jerman menghadapi dilema: Cina adalah salah satu mitra dagang terpenting Jerman. Jika Berlin mengambil sikap tegas terhadap upaya Cina untuk merebut kembali Taiwan, ini berisiko memicu konflik serius, terutama dalam hal ekonomi. Namun jika Jerman tetap diam, itu akan meruntuhkan klaimnya dalam politik luar negeri, yaitu "kebijakan luar negeri berbasis nilai-nilai".

Bagaimanapun, akan sulit bagi Jerman untuk menghindar dari konflik yang berkembang antara Cina dan Amerika Serikat.Duta Besar Jerman untuk China, Patricia Flor, pada hari Selasa dipanggil ke Kementerian Luar Negeri di Beijing. Setelah itu, dia menulis di Twitter: "Debat terus terang hari ini! Selama pertemuan saya dengan Wakil Menteri Luar Negeri Deng Li, saya menekankan: Jerman mendukung kebijakan Satu Cina. Komunikasi dengan otoritas Taiwan adalah bagian dari kebijakan ini."

Perihal kebijakan 'Satu Cina'

Patricia Flor memang sengaja menggunakan istilah "otoritas" untuk Taiwan, dan bukan "pemerintah". Jerman secara resmi tidak mengakui Taiwan sebagai negara merdeka. Dalam kebijakan Satu Cina, Taiwan dianggap sebagai bagian dari Cina. Itulah posisi kebanyakan pemerintahan dunia, yang khawatir dengan kemarahan Beijing, seperti juga posisi Indonesia.

Taiwan memang tidak pernah secara resmi menyatakan kemerdekaan dan menyebut dirinya sebagai "Republik Cina." Konstitusinya mengklaim seluruh Cina, sebagaimana juga pemahamanan di Beijing.

Tahun 2005 Beijing mengesahkan sebuah undang-undang "anti-pemisahan", yang akan melihat deklarasi kemerdekaan oleh Taiwan sebagai alasan untuk menggunakan kekuatan militer menyerang negara pulau itu, demi persatuan Cina yang terpecah dua sejak 1949.

Terlepas dari kebijakan Satu Cina, Jerman dan Taiwan tetap memelihara hubungan dekat. Taiwan dan Jerman adalah mitra penting yang "dihubungkan lewat diplomasi ekonomi, budaya dan ilmiah yang erat dan substansial," demikian tertera di situs internet Kementerian Luar Negeri Jerman. Karena itu Jerman juga punya kantor perwakilan di Taipei, yang tidak bisa disebut "kedutaan besar", melainkan memakai nama resmi "Institut Jerman Taipei".

Deutschland Repräsentanten Taiwans im Menschenrechtsausschuss
Representatif Taiwan di Berlin, Shieh Jhy-WeyFoto: Kay Nietfeld/dpa/picture alliance

Mengurangi ketergantungan dari Cina

Pemerintahan koalisi di Berlin yang dibentuk akhir tahun lalu, dalam perjanjian koalisinya juga menyebut tema Taiwan: "Perubahan status quo di Selat Taiwan hanya dapat terjadi secara damai dan dengan kesepakatan bersama. Dalam kerangka kebijakan Satu Cina yabg digariskan Uni Eropa, kami mendukung partisipasi yang relevan dari Taiwan yang demokratis dalam organisasi-organisasi internasional."

Selama beberapa dekade, Jerman menolak penjualan senjata ke Taiwan, tetapi hubungan ekonomi kedua negara tumbuh pesat. Jerman adalah mitra dagang terbesar Taiwan di Eropa, dengan volume perdagangan senilai 22 miliar euro pada tahun 2021. Tapi volume perdagangan Jerman dengan Cina tentu saja jauh lebih besar, 12 kali lipatnya.

Sejak kepresidenan Donald Trump di Gedung Putih, ketika AS terlibat perang dagang sengit dengan Cina, negara-negara Eropa mulai mencari cara untuk mengurangi ketergantungan dari Cina. "Bahkan jika tidak ada konfrontasi militer, negara-negara Eropa dan terutama Jerman akan menjadi pihak yang menderita jika terjadi konflik ekonomi dengan Cina, yang sekarang ini didorong oleh Washington," kata pengamat politik Josef Braml dari yayasan Jerman untuk politik luar negeri DGAP. Jika tidak berhasil mengurangi ketergantungan itu, hasilnya bisa fatal. "Jika kita tidak berhasil dalam hal ini, kita akan menderita kerusakan kolateral dalam konfrontasi besar antara AS dan Cina," kata Braml.

(hp/as)