1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Diperlukan Budaya Media yang Baru

14 Juli 2011

Ditengah-tengah skandal penyadapan konglomerat media asal Australia Rupert Murdoch mengurungkan niatnya untuk memperluas imperiumnya. Langkah yang disambut baik banyak pihak.

https://p.dw.com/p/11vRF
Konglomerat media Rupert Murdoch
Konglomerat media Rupert MurdochFoto: AP

Gagalnya rencana Rupert Murdoch untuk memperluas imperium medianya dengan mengambil alih stasiun pemancar satelit Inggris BSkyB menjadi sorotan harian-harian internasional. Harian Inggris Independent menulis dalam tajuknya: Inggris terbuka bagi investor-investor asing, bahkan jauh lebih terbuka dari negara-negara lain. Tetapi kenyataan bahwa Inggris senang berbisnis bukan berarti bahwa integritas institusi-institusi umumnya bisa dibeli oleh penawar tertinggi, atau bahwa para konglomerat media bisa mendapatkan segala hal yang mereka inginkan, terlepas dari kelakuan perusahaan-perusahaan mereka. Setelah berpuluh-puluh tahun diperlakukan dengan istimewa oleh institusi-institusi Inggris, Rupert Murdoch akhirnya harus menelan pelajaran ini. Bagi sistem demokrasi Inggris, hal ini hanya akan membawa keuntungan .

Hal yang sama juga dikomentari oleh Harian Swiss Neue Zürcher Zeitung. Harian yang terbit di Jenewa ini menulis: Kenapa para politisi Inggris baru sekarang keluar dari bayang-bayang Rupert Murdoch? Semua anggota parlemen Inggris tahu hubungan hangat antara para politisi dan wartawan. Tidak satupun politisi papan atas berani menentang praktek media yang kadang mencurigakan. Bisnis ini hampir tidak diatur dan tidak terkontrol. Memang sehari-harinya jutaan orang Inggris membaca dan mencintai tabloid-tabloid yang berisikan berita agresif tentang bintang-bintang dan politisi terkenal, yang penelitian informasinya sering diragukan. Komisi penyelidikan, yang harus belajar dari skandal penyadapan ini, sekarang menghadapi tugas yang sulit sekali.

Sementara itu harian konservatif Polandia Rzeczpospolita membandingkan skandal penyadapan di Inggris dengan kasus pendiri Wikileaks Julian Assange: Murdoch sekarang menjadi kambing hitamnya. Seorang penguasa media yang menjadi kaya karena ketimpangan orang lain. Seseorang yang tidak takut akan apapun, yang mencari uang dengan menjual darah dan seks. Sebaliknya Julian Assange menjadi simbol kebebasan pers. Seorang pahlawan yang dikejar-kejar oleh Amerika Serikat yang menakutkan, seorang raja kaum anarkis.

Apakah ini tidak terdengar paradoks? Tidak disangkal, memang ada perbedaan diantara kedua kasus, tetapi Murdoch dan Assange merupakan dua sisi dari koin yang sama. Dunia media berada dalam krisis besar, tindakan melewati batas etis hampir menjadi hal yang esensial dalam bisnis ini. Harian The New York Times dan The Guardian naik pitam karena skandal Murdoch. Padahal beberapa bulan lalu harian-harian yang sama menerbitkan dokumen-dokumen Assange. Seorang wartawan yang menyadap pembicaraan telepon adalah seorang penjahat yang harus dikecam. Sebaliknya, seorang hacker, yang menerobos server pemerintahan di Washington, adalah seorang pahlawan yang bersinar.

Krisis hutang di zona mata uang Eropa yang semakin bergejolak juga masih disorot oleh berbagai harian internasional lainnya. Harian Denmark Politiken menulis dalam tajuknya: Uni Eropa sampai sekarang berusaha untuk menghindari masalah Yunani. Tetapi strategi ini tampaknya gagal dengan semakin resahnya situasi mata uang Euro. Saat ini para politisi Uni Eropa sedang memainkan permainan berbahaya dengan kartu terbuka. Desas-desusnya akan diadakan pertemuan istimewa akhir pekan ini. Ini mungkin adalah kesempatan terakhir para politisi Uni Eropa untuk menyelesaikan masalah Yunani. Jalan keluarnya harus lah pemotongan hutang negara, yang memang tidak mungkin bisa dibayar oleh Yunani. Jumlahnya harus dibagi sama rata antara Bank dan pembayar pajak. Saat ini, sikap menunda-nunda adalah musuh terbesar perekonomian Eropa.

Anggatira Gollmer/dpa
Editor: Hendra Pasuhuk