1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Diplomasi Puspa dan Satwa Indonesia

22 November 2017

Memperkenalkan puspa dan satwa asli Indonesia sebagai hadiah diplomatik adalah sesuatu yang baik. Namun, apakah diikuti dengan upaya untuk memajukan konservasi puspa dan satwa di Indonesia menjadi lebih baik?

https://p.dw.com/p/2npOS
Waran
Foto: Imago/blickwinkel/McPhoto/I. Schulz

Belum lama ini, ketika sentimen anti-komunis dan anti-Tionghoa bernada politis didengungkan keras oleh oknum-oknum radikal di Indonesia, Tiongkok, negara yang diperintah partai komunis terbesar di dunia, justru menjawab huru-hara tersebut dengan menggemaskan: mengirim dua diplomat berbulu lebat bernama Cai Tao dan Hu Chun. Keduanya tiba di Jakarta pada 28 September 2017 untuk selanjutnya ‘berkantor' di Taman Safari Indonesia, Cisarua. Ya, keduanya bukan manusia, namun sepasang panda berusia 7 tahun.

Keduanya sejatinya dipinjamkan oleh Tiongkok kepada Indonesia selama 10 tahun untuk dikembangbiakkan dan dipertunjukkan kepada publik Indonesia. Panda termasuk hewan asli dan ikon budaya Tiongkok yang terancam punah, sehingga pertanggungjawaban diplomatiknya tinggi. Peminjaman ini merupakan bentuk diplomasi Tiongkok terhadap Indonesia, merespon hubungan bilateral yang baik sekaligus meneguhkan citra positif Tiongkok di Indonesia.

Kisah Cai Tao dan Hu Chun adalah sebuah diplomasi satwa, yang bersama dengan diplomasi puspa, termasuk dalam bingkai diplomasi lingkungan, sebuah bentuk komunikasi politik internasional yang lembut (soft power) antar negara-negara dunia. Di masa ini, diplomasi ini tidak sekedar bersifat simbolis, namun biasanya dilanjutkan dengan pembicaraan formal mengenai konservasi lingkungan antar negara yang terlibat. Kini diplomasi lingkungan termasuk dalam wilayah kerja lembaga Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNEP).

Penulis: Rahadian Rundjan
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Indonesia memiliki bentang alam yang luas, kaya, dan unik. Hal tersebut menjadi aset penting bagi pemerintah Indonesia dalam melaksanakan kebijakan diplomasi lingkungannya; suatu hal yang sesungguhnya telah Indonesia lakukan baik di era Sukarno maupun Suharto.

Puspa dan Satwa Tanda Persahabatan

Pada 13 April 1965, Kim Il Sung, pemimpin Korea Utara, dan rombongannya bertandang ke Indonesia untuk memperingati satu dasawarsa Konferensi Asia-Afrika. Sukarno menyambutnya dengan akrab, maklum, keduanya adalah sesama pemimpin revolusioner. Haluan politik Indonesia-Korea Utara saat itu serupa; kiri, anti-Barat, dan konfrontatif. Sukarno ingin merekatkan ikatan kedua negara dengan memberi Kim hadiah spesial, bukan benda yang terkesan militeristik, angker, atau sangar, melainkan sesuatu yang indah dan membumi: bunga.

Kebun Raya Bogor menjadi saksi kala Sukarno mencomblangi Kim dengan Dendrobium Clara Bundt, sebuah anggrek jenis baru hasil eksperimen persilangan C.L. Bundt, botanis keturunan Jerman yang memiliki laboratorium penyilangan bunga di Makassar. Kim menerima hadiah Sukarno tersebut, namun baru pada tahun 1970-an bibit bunga yang telah disempurnakan mulai dikirim ke Korea Utara. Responnya? Publik Korea Utara, dari pembesar sampai rakyat biasanya, jadi tergila-gila dengan anggrek tersebut. Namanya pun kemudian lebih dikenal sebagai Kimilsungia, atau ‘bunga Kim Il Sung'.

Kimilsungia menjadi simbol cinta fanatik orang-orang Korea Utara terhadap pemimpin besarnya, dan pembudidayaannya menjadi kebijakan khusus yang diprioritaskan pemerintah. Semenanjung Korea sebenarnya tidak cocok untuk membudidayakan Kimilsungia yang merupakan tanaman tropis, namun hal itu ditangani pemerintah dengan membuat rumah-rumah kaca khusus. Pada 1979, rumah kaca pertama didirikan di Pyongyang, menyusul di daerah-daerah lainnya sepanjang tahun 1980-an. Praktis, Kimilsungia tumbuh subur di seluruh penjuru Korea Utara dan menjadi bunga kebanggaan warganya.

Musibah krisis ekonomi, energi, dan pangan yang menerpa Korea Utara pada 1990-an tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus membudidayakan Kimilsungia. Andrei Lankov, pengamat politik dan ahli studi Korea yang pernah berkuliah di Universitas Kim Il Sung pada 1985 mengatakan dalam bukunya, North of the DMZ, bahwa walau pasokan energi surut, listrik dan pompa air untuk rumah-rumah kaca masih terus dioperasikan, meski itu berarti pemerintah harus mengambil jatah listrik dari rumah-rumah warganya.

Upaya membudidayakan Kimilsungia mungkin hanya satu dari sedikit hal yang masyarakat dunia apresiasi dari rezim dinasti Kim yang otoriter, dan Indonesia berperan penting dalam membangun citra positif tersebut. Hubungan bilateral kedua negara kini terbilang baik, dan Indonesia terus aktif melobi Korea Utara untuk memperlunak kebijakan senjata nuklirnya, seperti yang terjadi pada bulan September 2017 lalu. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh BBC tahun 2013, 42% penduduk Indonesia memandang Korea Utara secara positif. Rasanya angka tersebut masih belum berubah signifikan di tahun ini.

Pemerintah Orde Baru kemudian juga melakukan pendekatan diplomatik serupa, namun hadiahnya mematikan: komodo. Suharto melakukannya ketika menyambut kunjungan presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan, di Bali tahun 1986. Selwa Roosevelt, kepala protokol presiden yang juga menyeleksi hadiah untuk presiden saat itu, dalam otobiografinya, Keeper of the Gate, mengatakan bahwa tawaran Suharto adalah pengalaman terburuknya, terlebih komodo terbilang buas dan mampu memangsa manusia. Akhirnya tercapai kesepakatan, Suharto saat itu hanya boleh memberikan patung kayu berbentuk komodo kepada Reagan.

Adapun pemberian komodo bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat Amerika. Pada 1955, Kebun Binatang Surabaya memberikan sepasang komodo untuk Kebun Binatang Bronx, bernama Djago dan Tjantik, namun keduanya mati tanpa meninggalkan keturunan; ternyata keduanya berkelamin jantan. Kebun Binatang San Diego menerima sepasang juga pada 1963, dan lagi-lagi keduanya juga jantan. Meskipun begitu, kehadiran singkat mereka di Amerika ternyata menyedot banyak perhatian, terlebih mengingat terkuaknya eksistensi Pulau Komodo pada 1920-an menginspirasi pembuatan film King Kong tahun 1933.

Namun akhirnya, komodo hadiah Suharto berhasil masuk ke Amerika tahun 1990. Keduanya, sepasang jantan dan betina bernama Friendty dan Sobat, ditempatkan di Kebun Binatang Nasional. Anak mereka bernama Kraken lahir pada 1992; komodo pertama kelahiran Amerika. Mengutip the Washington Post, Dale Marcellini, ilmuwan reptil di kebun binatang tersebut mengatakan kelahiran Kraken sama pentingnya seperti momen kelahiran anak Ling-Ling dan Hsing-Hsing, dua panda pemberian Tiongkok untuk Amerika pada 1972, yang menjadi simbol meredanya ketegangan kedua negara.

Suharto juga memberikan sepasang komodo kepada presiden George H.W. Bush pada 1990, namanya Naga dan Wanita; sekali lagi, keduanya ternyata jantan. Naga dan Wanita ditempatkan di Kebun Binatang Cincinnati. Naga, yang tercatat menarik sampai 1 juta pengunjung per tahun, lalu dikawinkan dengan Sobat dan melahirkan 32 anak. Dengan panjang nyaris 3 meter dan berat 90 kg, Naga merupakan komodo terbesar di belahan dunia bagian Barat saat itu. Naga mati di usia 24 tahun pada tahun 2007 silam.

Satu alasan Suharto menghadiahkan komodo agaknya untuk mempromosikan keberhasilan pendirian Taman Nasional Komodo yang dibangun tahun 1980, juga pendaftarannya sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO tahun 1991. Dan bisa diartikan pula, pemberian komodo yang merupakan predator tertinggi di pulaunya tersebut merupakan pengakuan Suharto terhadap kekuatan Amerika yang masih tangguh jika dibandingkan dengan Uni Soviet yang mulai keropos sejak 1980-an. Dan juga, sebagai simbol perekat kemesraan Amerika dengan rezim Orde Baru.

Diplomasi Minus Konservasi

Memperkenalkan puspa dan satwa asli Indonesia melalui serangkaian pemberian hadiah diplomatik adalah sesuatu yang baik. Namun, apakah hal tersebut diikuti dengan upaya untuk memajukan konservasi puspa dan satwa di Indonesia menjadi lebih baik? Sayangnya belum. UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih dianggap oleh banyak pihak belum optimal dalam mengatur masalah lingkungan, terutama untuk urusan pemanfaatan dan pemberdayaannya. Perburuan dan penyeludupan satwa, terutama yang dilindungi, masih begitu marak ditemukan di berbagai daerah.

Riset lingkungan dalam negeri terkadang tertinggal. Misalnya, pada 1955 Sukarno mengirimkan bibit pohon mimba (Azadirachta indica) untuk menghijaukan tanah suci Mekah, hadiah untuk Kerajaan Saudi Arabia. Pohon-pohon itu kini tumbuh subur dengan bantuan teknologi pengairan modern dan berhasil mengurangi kegersangan tanah suci, serta meneduhkan ibadah para jemaah haji. Namun kini, dilaporkan bahwa pohon mimba justru terancam punah di Indonesia, tempat asalnya. Populasi komodo juga tercatat makin menurun. Tehnik budidaya Kimilsungia Korea Utara pun sudah jauh lebih canggih daripada Indonesia.

Desakan untuk merevisi UU nomor 5 tahun 1990 kian gencar dilakukan. Hal itu harus diikuti dengan kesadaran politik yang mumpuni, bahwa sejatinya satwa dan puspa Indonesia bukan sekedar objek berdaya tawar untuk memenuhi kebutuhan kebijakan diplomatik pemerintah semata, tetapi aset hidup yang pemberdayaannya mesti dikedepankan daripada fungsi politiknya. Semoga kehadiran Cai Tao dan Hu Chun di Taman Safari menjadi momen perbaikan diplomasi dan konservasi lingkungan di Indonesia.

Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

@RahadianRundjan

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.