1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Disiden Myanmar Ragukan Reformasi Politik

19 Maret 2012

Reformasi politik yang dilancarkan pemerintah Myanmar disambut baik dunia internasional. Namun rakyat Myanmar ternyata masih skeptis terhadap perubahan.

https://p.dw.com/p/14MlE
Anak-anak Myanmar yang menjadi pengungsi dekat perbatasan Thailand
Anak-anak Myanmar yang menjadi pengungsi dekat perbatasan ThailandFoto: DW/Robert Tofani

Kaum intelektual muda Myanmar sejak November lalu mendirikan Sekolah Ilmu Politik Yangon. Sebuah inisiatif yang cukup menguji kebebasan baru di Myanmar sejak berakhirnya kediktatoran militer. Lokasinya tidak elit. Terletak di gedung apartemen, diantara binatu dan warung internet. Namun sekolah semacam ini dapat menyeret pendirinya ke penjara atas tuduhan perilaku subversif jika didirikan 18 bulan lalu.

Tetap saja para pendirinya mengaku belum mempercayai semangat reformasi yang dikobarkan pemerintah baru menggantikan kepemimpinan militer selama hampir 50 tahun. Menurut mereka, skeptisisme pantas dipegang teguh meski ikon demokrasi Aung San Suu Kyi mungkin saja terpilih sebagai anggota parlemen dalam pemilihan umum tanggal 1 April mendatang.

"Kami perlu mempertahankan cara berpikir kritis," tegas Win Nyi Nyi Zaw, salah satu pendiri sekolah yang dulunya seorang tahanan politik. "Kami tidak dapat mengharapkan panduan demokratis dari sebuah pemerintahan yang penuh eks-jenderal yang selama ini selalu keras terhadap kami. Sekolah ini tidak terdaftar, jadi situasinya sedikit tidak tenang. Ini wilayah yang sangat abu-abu. Tapi sampai sekarang belum ada yang mengganggu kami."

Aung San Suu Kyi disambut para pendukungnya saat kampanye
Aung San Suu Kyi disambut para pendukungnya saat kampanyeFoto: REUTERS

Euforia yang melanda dunia internasional atas reformasi di Myanmar tidak begitu kentara di Yangon. Warga Myanmar seakan masih ragu-ragu setelah berdekade lamanya berada di bawah kepemimpinan militer.

Demokrasi atas bawah

Ko Sai bekerja bagi Komunitas Layanan Pemakaman Gratis yang mengatur pemakaman bagi warga miskin. "Tidak ada kediktatoran yang memberikan kebebasan kepada rakyatnya," ujar Ko Sai. "Warga harus dipaksa. Di negara kami, perubahan datang dari atas, tapi harus datang dari bawah juga."

Menurut Ko Sai, banyak hal yang terlihat lebih baik di atas kertas ketimbang kenyataan. "Kami punya 'dewan kebebasan,' namun kami masih harus melapor setiap merencanakan pertemuan. Berapa banyak pesertanya, apa yang akan dibahas dan sebagainya," jelasnya. "Apa ini bisa membuat negara menjadi lebih demokratis? Kini penindasan melegitimasi. 'Iblis'nya kini lebih pintar."

Presiden Thein Sein, seorang pensiunan jenderal, mengejutkan banyak orang dengan percepatan reformasi. Ia telah membebaskan ratusan tahanan politik, bertemu dengan Suu Kyi, membentuk komisi HAM dan mengajak pemberontak etnis minoritas berdamai. Ia juga mendatangkan penasehat finansial dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Hari Senin (19/3), pemerintah Myanmar memberi amnesti bagi komandan gerakan pemberontak Persatuan Nasional Karen (KNU) yang diganjar hukuman penjara seumur hidup karena didakwa berkhianat kepada negara. Mahn Nyein Maung tergolong ke dalam ratusan tahanan politik yang mendapat amnesti bulan Januari lalu.

Junta militer merekrut bocah mulai dari usia 10 tahun sebagai tentara
Junta militer merekrut bocah mulai dari usia 10 tahun sebagai tentaraFoto: AP

Jalan masih panjang

Pemerintah Myanmar menandatangani kesepakatan gencatan senjata tanggal 12 Januari 2012 dengan KNU, sebuah pemberontakan etnis minoritas yang memperjuangkan otonomi di negara bagian Karen selama 63 tahun. Pemerintahan Sein juga menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan lima pemberontakan etnis minoritas lainnya dalam 3 bulan terakhir.

Negara-negara barat menuntut Presiden Thein Sein menghentikan kekerasan dengan kaum etnis minoritas sebagai prasyarat perbaikan hubungan diplomatik serta pencabutan sanksi ekonomi yang telah berlaku selama 2 dekade.

Namun Myanmar masih jauh dari demokrasi. Junta masih mencadangkan seperempat kursi di parlemen bagi militer dan memastikan para pendukung mereka mendapatkan tigaperempat sisa kursi melalui Partai Solidaritas Buruh dan Pembangunan.

Ko Ko Gyi (50) yang dibebaskan Januari lalu setelah mendekam dan disiksa di penjara selama 18 tahun berupaya meyakini masa depan yang lebih baik. "Kami butuh waktu untuk membangun kepercayaan antara pemerintah dengan rakyat," tandasnya. "Mari tinggalkan masa lalu dan konsentrasi dengan masa depan yang lebih cerah. Kami harus mengungkapkan kebenaran. Kami tidak boleh lupa, namun harus memaafkan. Saya bisa melakukannya dalam hati."

Carissa Paramita/dpa

Editor: Renata Permadi